Wahyu
Setyaningsih
12/339547/PSA/7317
Buku yang berjudul Sultan, Pahlawan dan Hakim Lima Teks Indonesia Lama yang ditulis
oleh Henri Chambert Loir terdiri dari lima artikel, salah satunya berjudul “Beberapa
Aspek Peradilan Agama Islam di Kesultanan Pontianak Tahun 1880-an”. Artikel ini
ber-genre Melayu. Istilah Melayu
umumnya terbatas untuk menyebut orang-orang yang tinggal di pantai timur
Sumatra serta Kalimantan Barat dan Timur (Wertheim, 1999: 16). Bahasa Melayu
digunakan sebagai lingua-franca (Rickleft, 2008: 76-77). Menurutnya
hal ini sangat menarik karena melalui naskah-naskah proses peradilan di
Kesultanan Pontianak ini dapat memberikan kilasan mendalam tentang masyarakat
Pontianak pada akhir abad ke-XIX dari sisi sejarah lembaga hukum, baik jenis
kasus yang dibawa ke pengadilan agama, pihak-pihak yang berperkara dan
keputusan pengadilan dalam kasus yang spesifik, seperti rakyat yang
bersebrangan dengan sultan. Selain itu, yang melatarbelakanginya karena sumbangan
berharga dalam mencapai tujuan Menteri Agama untuk mengajukan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama ke DPR pada 28 Januari 1989. RUU Peradilan
Agama ini merupakan undang-undang yang akan memperluas kewenangan peradilan
agama, memandirikannya dari pengadilan umum dan menyeragamkan standar peradilan
agama Islam di seluruh negeri.
Henri menggunakan dokumen pengadilan yang
diperoleh dari seorang pemuda yang masih kerabat para penguasa pada masa lampau,
Syarif Muhammad Yusuf. Naskah Pontianak terdiri kurang lebih 185 folio dengan
format 20x35 cm, yang berisi 91 dokumen; tiap dokumen menjadi bagian dari
urusan peradilan; dan hanya merupakan potongan dan kepingan dari teks-teks yang
lebih besar karena dalam setiap teks tidak berisi semua permohonan,
pertimbangan, dan putusan akhir. Dokumen yang diklasifikasikan sebagai arsip
tidak dijilid supaya dapat dibaca, tetapi dokumen lain dijilid tanpa urutan
tematis atau kronologi. Kertas yang digunakan dalam dokumen buatan Eropa
terutama Inggris dan dua pertinganya terdapat cap air berangka tahun (antara
1875-1880). Dokumen-dokumen ini berisi dakwaan yang diajukan warga Pontianak
kepada Mahkamah Agama (Raad Agama), kepada Sultan, atau menteri antara 1872-1882,
terutama 1881. Syarif Yusuf bin Sultan Syarif Hamid yang menjadi sultan pada
1872-1895. Mahkamah agama Pontianak didirikan pada 1867 dan beberapa waktu
lembaga ini menjadi persaingan antara Sultan dan Perdana Menteri (Pangeran
Bendahara).
Penulisan naskah-naskah ini menjunjukan
bahwa di istana telah ada aktivitas pengarsipan. Dakwaan-dakwaan itu diduga
juga ditulis oleh pendakwa sendiri, tetapi ini masih diragukan karena dalam
bagian tanda tangan pembuat dakwaan hanya tertulis tanda silang saja dan bahasa
yang digunakan formal, sehingga kuat dugaan semua itu ditulis oleh juru tulis
istana atau panitera profesional, meskipun tuntutannya berbeda-beda. Di samping
itu juga, pada abad 18 jarang penduduk yang telah melek huruf. Biasanya,
dakwaan itu dibuka dengan “Dipersembahkan menghadap ke bawah kaos Sri Paduka
duli yang maha mulia tuanku Sultan yang bersemayam di atas takhta kerajaan di
dalam negeri Pontianak. Ampun Tuanku.”
Pada umumnya kasus yang ada di mahkamah
agama pada waktu itu adalah 63% kasus warisan dan perceraian, 37% kewenangan
Sultan. Yang menarik adalah tidak ada satu pun kasus yang mengenai wasiat, sedekah dan wakaf, padahal
lazimnya kasus tersebut masuk dalam wewenang mahkamah agama. Sebaliknya, kasus
yang seharusnya bukan wewenang mahkamah agama justru masuk ke mahkamah agama,
kasus permohonan oleh kepala kampung Wajo, di hilir Pontianak yang berisis
seorang pedagang Tionghoa ditempatkan di desanya dengan alasan karena warga
desa tidak mampu lagi ke kota unutk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini
menunjukan bahwa otoritas Sultan sangat dominan dalam pengambil kebijakan, dan
mahkamah yang sudah ada pun tidak bisa netral dalam memutuskan perkara.
Dengan demikian, aspek-aspek peradilan
yang telah ada di Kesultanan Pontianak tahun 1880-an yang ditunjukan oleh Henri
adalah surat-surat dakwaan sebagai salah satu aspek dari prosedur peradilan,
tetapi surat-surat dakwaan itu perlu dikritisi lagi karena tidak mengandung
informasi mengenai acara persidangan, tanya jawab dengan kedua belah pihak yang
berperkara, dengar pendapat pendapat para saksi, pertimbangan para hakim, dan
sebagainya. Menurutnya, kebanyakan dari naskah Melayu sering kali naskah tidak
sesuai dengan teks. Meskipun demikian, naskah peradilan ini menyajikan tilikan
mendalam tentang masyarakat Pontianak pada akhir abad ke-19 yang tidak dapat
ditemukan dalam karya sastra lainnya dari periode yang sama. Selain itu, sultan
sangat memengaruhi setiap keputusan yang dalam peradilan tersebut, sehingga
unsur kekuasaan tetap saja ada dalam pembuatan dokumen. Maka, naskah-naskah
melayu itu tetap saja tidak lepas dari kekuasaan raja, pujangga-pujangga istana
berpihak pada istana dalam menuliskan peristiwa yang terjadi atau istanasentris, meskipun unsur
supranatural sudah tidak dominan seperti pada naskah-naskah Jawa, tulisan yang
ada dalam dokumen juga bertuliskan Arab karena pengaruh dari Islamisasi yang
sudah masuk ke Nusantara, bahasa dalam dokumen pun tidak hanya Melayu, Arab,
Jawa, tetapi Tionghoa pun ada, seperti surat pernyataan oleh Sultan Syarif
Hamid Pontianak dan Tuan Residen tentang pengangkatan seorang matoa Bugis di
Pulau Sapua Laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar