Wahyu
Setyaningsih
12/339547/PSA/7317
Identitas
Jurnal yang diperbandingkan:
Penulis
|
T.
N. Harper
|
Sue
Nichterlein
|
Judul
|
'Asian Values' and Southeast Asian Histories
|
Historicism and Historiography in Indonesia
|
Diterbitkan
|
The Historical Journal, Vol. 40, No.
2. (Jun., 1997), pp. 507-517.
|
History and Theory, Vol. 13, No.
3. (Oct., 1974), pp. 253-272.
|
T.N. Harper menjelaskan dalam tulisan
yang berjudul 'Asian Values' and
Southeast Asian Histories, mengenai hubungan antara nilai-nilai Asia dan
Sejarah Asia Tenggara. Ia menggunakan teori yang dikemukakan oleh Samuel Huntington
mengenai benturan peradaban. Huntington memberikan beberapa kesimpulan dalam
teorinya, di antaranya adalah peradaban timur sering diidentikan dengan
peradaban yang lebih rendah daripada peradaban barat, suatu ketika peradaban
timur yaitu Islam dan Konghucu mampu mengalahkan peradaban barat. Namun, yang
perlu kita kritisi dari tesisnya Huntington adalah hanya berdasar pada Perang
Teluk saja, ia melupakan tentang perang modern yang berhubungan dengan
kepentingan negara dan kesenjangan budaya yang terjadi di setiap negara.
Huntington juga memberikan kesimpulan bahwa peradaban barat akan mengalami ancaman
tentang keekistensiannya dalam dunia, yang mana ia akan digantikan oleh
peradaban Konghucu dan Islam. Tesis ini mengalami naik daun ketika terjadi
berbagai terorisme yang diidentikan dengan Islam. Hal ini semakin menjadikan
ketakutan bagi Barat, maka tesis Huntington dianggap sebagai peringatan bagi
barat. Maka, dapat dikatakan bahwa tesis Huntington itu lemah tidak dapat
digunakan sebagai teori untuk daerah lain dan waktu lain. Lalu, bagaimanakah
nilai-nilai Asia dan sejarah Asia Tenggara itu juga berindikasi mengalami
benturan atau mempunyai keterkaitan di antara keduannya?
Meminjam pendapatnya Mahatir bahwa nilai-nilai
Asia adalah tantangan bagi neo-imperialisme barat. Selain itu, ia juga
memetakan arus besar peradaban baru di Asia dengan kekuatan ekonomi, sosial,
dan hagemoni ideologi sehingga munculnya peradaban Asia yang mampu meruntuhkan
peradaban barat. Nilai-nilai Asia dalam pandangan sejarah Asia Tenggara ini selalu
mengalami perdebatan, seperti tentang sejarah setiap bangsa di Asia Tenggara
yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Jika kita menarik garis sejarah pada
abad ke XVI sampai XIX yang mana kita tahu bahwa Asia Tenggara menjadi daerah perdagangan
terpenting di dunia. Maka, tidak heran berbagai arus modernisasi mulai
berkembang dan silang budaya terjadi, baik secara akulturasi maupun asimilasi
yang terjadi di negara-negara di Asia Tenggara. Maka, tidak mengherankan jika
sebenaranya benturan peradaban sudah terjadi jauh sebelum abad ke XX awal,
nilai-nilai Asia dan Sejarah Asia Tenggara mengalami benturan, hanya saja di
antara keduanya mempunyai persamaan geografis dan latar belakang historis yang
sama, nilai-nilai moral dan etika, serta adat masih dijujung tinggi. Itulah
nilai-nilai Asia. Lalu, bagaimanakah dengan modernitas memengaruhi tentang
sejarah Asia Tenggara?
Modernitas membawa pada pergeseran
intelektual, maka penulisan sejarah Asia Tenggara pun mengalami perubahan.
Heper memberikan tiga tema dalam perkembangan sejarah Asia Tenggara. Tema
pertama mengenai rekontruksi sejarah Asia Tenggara berdasarkan waktu, maka terdapat
tradisi lisan untuk mengungkap sejarah Asia Tenggara. Tokoh yang mempelopori
ini adalah Clifford Greetz, Siagel, Shelly Errington, Ben Aderson dan
lain-lain. Tema kedua adalah pengaruh dari kolonisasi yang dilakukan bangsa
barat dalam penulisan sejarah, maka ada pengaruh eropa sentris dalam sejarah
Asia Tenggara. Tema ketiga adalah penulis ulang sejarah setiap bangsa yang
sudah tercampur oleh kolonialisme. Maka kesimpulan yang dapat diambil dari
tulisan Herper adalah nilai-nilai asia dalam penulisan sejarah Asia Tenggara
adalah perdebatan tentang bentuk-bentuk sejarah yang memberikan ruang kepada
masyarakat sipil, tidak hanya kaum elit saja yang ditulis dalam sejarah, Di
samping itu juga, dengan adanya benturan peradaban yang ada di setiap
negara-negara di Asia Tenggara menjadikan benturan ideologi yang akan menjadikan
benturan identitas. Maka, siapa yang mampu mempertahankan identitasnya berarti
mampu bertahan dan menjadi penguasa dunia.
Jika kita tarik garis lurus dari posisi
Indonesia yang merupakan bagian Asia Tenggara, dan secara historis Indonesia
juga mempunyai peran penting dalam Sejarah Asia Tenggara, seperti Kerajaan Majaphit, Singasari dan Melayu
mempunyai peran yang penting dalam perkembangan sejarah Asia Tenggara. maka tidak heran jika 'Asian
Values' and Southeast Asian Histories dan Historicism and Historiography
in Indonesia, mempunyai hubungan yang erat. Kolonisasi yang terjadi di
setiap negara, termasuk Indonesia tidak bisa lepas dalam penulisan sejarah
Indonesia. Hal inilah yang menjadi menarik ketika kita mengkaji mengenai pandangan
hidup dari masing-masing bangsa, karena historiografi kolonial tidak relevan
lagi untuk sejarah Indonesia sehingga Indonesia pada tahun 1947 melakukan
Seminar Sejarah Nasional pertama di Yogyakarta. Hasilnya adalah pandangan
Eropasentris sudah dapat diganti menjadi pandangan Indonesiasentris.[1]
Selain itu, pemikiran-pemikiran tentang sejarah Indonesia lebih bersifat
filosofis atau teoritis sehingga menimbulkan pemikiran spekulatif yang tidak
mampu memberikan manfaat dalam penulisan Indonesia. Maka, hal ini menimbulkan
permasalahan baru. Apa sajakah permasalahan baru tersebut?
Dengan
meminjam tulisan Sartono Kartodirjo, maka permasalahan-permasalahan yang
terjadi ketika membuat konsep tentang Sejarah Indonesia, adalah 1) mengenai sejarah
Nasional sebagai unit sejarah; 2) skala dari sejarah nasional sebagai relasi
antara sejarah lokal dan sejarah nasional; 3) perspektif sejarah; 4) penafsiran
multidimensional dalam sejarah nasional; 5) sejarah nasionalis.[2]
Dari kelima masalah itu, yang paling mendasar adalah sejarah nasional sebagai
unit sejarah dan perspektif sejarah. Sejarah sebagai unit historis ini mencakup
skope spatial dan skope temporal, terutama dalam menentukan sejak kapan sejarah
nasional itu dituliskannya. Dengan mengutip pertanyaan Sodjatmoko bahwa
seberapa jauh kategori yang berasal dari perkembangan masyarkat Eropa dapat
digunakan dalam memahami perkembangan sejarah masyarakat Indonesia? Hal ini
merupakan kritik dalam penulisan sejarah Indonesia yang masih Eropasentris,
maka penulisan sejarah harus Indonesiasentris, jika kita kaitkan dengan tulisan
Harper menjadi jelas bahwa hal-hal yang berbau eropa harus segera ditinggalkan
diganti dengan yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada setiap negara. Dalam
hal ini menimbulkan berbagai perdebatan, seperti Resink, Sitorus, R. Moenander,
Moh Yamin, Moh Ali, Kartono Hadi, Sumardjo, Nugroho Notosusanto, Sanusi Pane.[3]
Hal ini juga dialami oleh Chaudhuri dalam menuliskan
sejarah India. Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah kedua tulisan ini saling
berhubungan, penulisan sejarah Indonesia harus Indonesiasentris yang berdasar
pada nilai-nilai Asia sehingga menumbukan nasionalisme dan subyektifitas harus
dikurangi dalam menuliskan sejarah.
[1] Muhammad Yamin, “Tjatur-Sila
Chakduniah”, dan prasaran Soedjatmoko, “Merintis Hari Depan”, keduanya dalam Seminar Sejarah, (Yogyakarta, 1958).
Karangan-karangan G.J. Resink sejak 1950 terkumpul dalam Indonesia’s History between tha Myths, (The Hague, 1968).
[2] Sartono Kartodirjo, Pemikiran
dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia,
1982), hlm. 31-41.
[3] Perdebatan mereka tertulis pada
setiap karya-karya mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar