Nama : Latif Kusairi
NIM : 12/340076/PSA/07391
Berbicara tentang jenis kelamin ras dan kontrak dalam kasus yang
dipaparkan dalam tulisan ini berusaha untuk membuat bagaimana peran seorang
laki dalam dunia yang telah menghegemoni, serta keadaan perempuan yang harus
bertahan hidup dengan harapan bisa untuk menciptakan kehidupan yang layak meski
harus ada pengorbanan jiwa dan harga dirinya.
Inilah yang terjadi dalam periode colonial yang ada di Asia Tenggara. Orang
bisa saja menjadikan kaum pribumi dengan semena-mena untuk dijadikan
pekerjanya. Dalam pandangan lain bahwa mereka yang di pekerjakan di dalam
perkebunan, pertanian dan tempat agraris yang ada di Hindia Belanda waktu itu
bukanlah hal yang asing. Justru para pribumi
merasa nyaman ketika mendapat pekerjaan dari orang-orang Belanda. Mereka lebih
punya jaminan hidup dibanding sebagai petani biasa yang selalu berkutat pada
pajak, upeti dan iuran yang lain yang kadang tidak jelas apa peruntukannya.
Ketika orang bekerja di perkebunan mereka mendapatkan bayaran/upah yang dalam
hal ini bisa pribumi merasa lebih nyaman dibandingkan orang biasa yang selalu
ditindas oleh kolonial. Permasalahannya adalah tentang sudut pandang yang
digunakan oleh penulis dengan frame
yang digunakan kaum pribumi. Kaum pribumi merasa ketika bekerja di perkebunan
tersebut bukan suatu penindasan atau perbudakan, tetapi justru penulis
menganggap itu adalah bagian dari perbudakan kolonial. Pelajaran yang bisa saya tangkap mungkin
seperti itu dalam tulisan ini.
Pada kasus selanjutnya,
penulis berusaha menggabungkan teori yang dipakai dalam hukum ekonomi, misalnya
teori dari Adam Smith tentang terkaan sejarah yang ada yaitu dengan ekonomi dan
prediksi kekuatan dengan persamaan nilai dengan buruh. Teori inilah yang
kemudian mencoba menganalisa bahwa kekuatan ekonomi harus mempunyai pekerja
yang kuat.
Pada periodesasi lain juga bisa dilihat ketika tahun1811, yaitu munculnya
perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Inggris. Apakah ini yang dimaksud dengan
teori perbudakan dengan menjual daerah kekuasaannya karena hutang-hutang
Belanda ke Inggris. Kasus lain juga muncul dari perjanjian Inggris dengan
raja-raja yang ada tentang hak kekuasaan raja atas dasar untuk mengurangi
hak-hak kerajaan dengan beberapa petak tanah. Apa yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah bagaimana politik bisa sangat mempengaruhi kehidupan warganya
sehingga mengorbankan warganya untuk diperbudak penjajah. Dalam tulisan ini kata ”equal” rasanya bukan
lagi hubungan sederajat, tetapi bagaimana raja harus tunduk pada aturan
pemerintahan Inggris. Inilah yang dimaksudkan Adam Smith sebagai kuasa
tangan-tangan setan, dalam teori kuasa tangan-tangan yang tak terlihat inilah
yang kadang justru bisa mengorbankan warganya, mereka bisa saja membimbing
adanya penginjakan harga diri dengan kehalusan-kehalusan mobilisasi. Pada
periode lain John Locke justru sangat mengajak agak cerdas memaknai budaya
”patriarkal” ini. Locke memang menghargai apa yang ada dalam benak Smith, tapi
perbudakan itu rupanya justru sebagai pembimbing warga yang diperbudak untuk
mencapai kemerdekaannya. Hal ini sesuai dengan analoginya ketika seorang bapak
yang harus merawat anaknya, namun ketika dewasa anak ini akan bisa menentukan
pilihan tanpa campur tangan si bapak tersebut.
Rupanya yang ada dalam diskusi ini bukan mempertentangkan pada teori
perbudakan, akan tetapi adanya benak dalam memory orang yang diperbudak justru
hidupnya lebih mapan, lebih berkecukupan, lebih bisa disamakan dengan priyayi
dan pastinya makan serba berkecukupan. Meskipun dalam hal lain ini merupakan
bentuk penindasan yang secara tidak sadar telah terjadi. Dengan mengadirkan
fakta baru seperti Raffles dalam History of Java disitu tidak ada
ungkapan perbudakan ataupun justru malah menentang adanya perbudakan, dengan
tidak lagi menggunakan istilah pola penanaman tanaman/taman paksa, tetapi
dengan sewa tanah yang lebih manusiawi. Namun fakta di lapangan hal itu banyak
terjadi perbudakan, dengan terciptanya raja-raja kecilsebagai lintahnya. Disisi
lain penuls juga menghadirkan kemerdekaan yang harus dialami oleh
perempuan-perempuan di Jawa waktu itu, tetapi justru dibelahan wilayah lain
yakni di Burma yang terjadi justru perempuan yang dijadikan komoditi bagi
pribumi untuk mendapatkan sumber ekonomi, tetapi bukan berarti perempuan tidak tersakiti,
tetapi ternyata perempuan juga mempunyai daya jual yang tinggi dibanding
laki-laki. Penulis mencoba menghadirkan
apakah konsepsi tentang perbudakan itu selalu di ibaratkan dengan kesengsaraan,
tapi disini justru budak hidupnya sangat mapan.
Menurut pandangan saya, penulis mencoba menghadirkan arti kebebasan yang
ada dalam masyarakat. Bebas dari raja yang sewenang-wenang, bebas dari penjajah
yang berkuasa, bebas untuk memilih kebebasannya. Namun disini muncul pertanyaan besar bahwa bukan
semata-mata kemapanan ekonomi terbebas dari perbudakan. Sebuah pidato yang
sangat perlu dicerna dalam-dalam untuk dijadikan renungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar