Nama :
Siti Nur Hadisah B Hari/Tgl :
Kamis, 4 Okt 2012
NIM :
12/340216/PSA/07401 Dosen Pengampu : Dr.
Sri Margana
Mata Kuliah :
Historiografi
Dalam
artikel ini, Coolhaas berusaha
menguraikan penulisan sejarah tentang Hindia-Belanda yang menurutnya bahwa seorang sejarawan harus
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai orang pribumi maupun bangsa Belanda
yang menjajah di Hindia-Belanda itu sendiri. Pengetahuan yang dimaksudkan ini tidak lain adalah
mereka yang mempelajari ilmu bahasa, sastra dan purbakala tentang
Hindia-Belanda beserta sejarahnya. Pengetahuan ini akan membuat penulisan
sejarah semakin berwarna. Artikel ini juga berusaha memperlihatkan historiografi
yang ditulis oleh sejarawan lain, seperti De Jonge, pengaruh Entusiasme
Rousseau terhadap Raffles, Hageman, Veth, Brandes, dan sebagainya.
Coolhaas
memaparkan tentang De Jonge (1962) yang menulis sejarah Hindia – Belanda
berdasarkan arsip-arsip Belanda tentang kegiatan orang-orang Belanda di
Indonesia dan menyadari tentang pentingnya dalam penggunaan sumber-sumber
Indonesia. Hal ini dikarenakan, penulisan sejarah Indonesia jauh dari sejarah
orang-orang Indonesia dalam segala pernyataan hidupnya, yangmana menurut De
Jonge bahwa yang harus diketengahkan ialah sejarah kelompok-kelompok manusia
dan bukan hanya organisasi kenegaraannya. De Jonge mengatakan bahwa mereka
dengan mempelajari sejarah peradaban Indonesia lebih lama, akan lebih
menghargai bagian dari Indonesia itu sendiri. Hal perlu digarisbawahi bahwa De Jonge merupakan salah
orang liberal yang mempunyai gambaran tersendiri mengenai cerita yang De Jonge
gambarkan mengenai Indonesia. Cerita secara menyeluruh belum tentu lengkap dan
sebagian tidak selalu benar. Namun, pernyataan De Jonge mengenai pentingnya
penggunaan sumber-sumber pribumi pada waktu itu merupakan suatu pernyataan yang
luar biasa pada abad ke 19.
Lain halnya Hageman, yang menulis tentang “Sejarah Umum tentang Djawa dari
Zaman Dahulu sampai Sekarang” tahun 1860. Tulisan ini lebih banyak menggunakan
sumber-sumber pribumi dan dari sudut pandang yang berbeda. Begitu juga,
karangan-karangan lain yang lebih menonjolkan peranan pribumi daripada
orang-orang Eropa. Hal ini tentu sangat berbeda dengan suasana liberal yang
terjadi waktu itu. Sehingga, Hageman dapat dikatakan seorang penemu kebudayaan
Jawa tetapi tidak terlalu kritis dalam tulisannya. Selanjutnya Veth, seorang sarjana “menara gading” yang mempunyai kritis
tajam meskipun beraliran liberal dengan mengatakan sejarah orang-orang pribumi
sebagai sejarah orang-orang yang terjajah dengan memilih buku standar dalam
menjelaskan mengenai pulau Jawa.
Kern (1857)
merupakan seorang ahli dalam bidang sankskerta,
menerbitkan tulisan yang berjudul “Bahan-bahan Bahasa untuk Menentukan Tanah
Asal dari Bangsa-bangsa Melayu, Polynesia) dalam tahun 1889, yang menjelaskan
kebudayaan Indonesia. Brandes, menangani sumber-sumber sastra Indonesia
menguraikan bahwa Pararaton dan Negarakertagama merupakan dua sumber yang
sangat penting. Berg
juga tergerak untuk menunjukkan bahwa berbagai hasil sastra lama dari Jawa, yang
terkesan sebagai tulisan-tulisan yang bersifat keagamaan atau mistis, juga
roman yang ternyata mengandung bahan-bahan sejarah. Dalam hal ini, Berg lebih
bersikap hati-hati dan tajam dalam berpikir mampu memberi kita suatu studi (suatu karangan mengenai satu hal pokok).
Menurut Berg, mempelajari sejarah didalam kehidupan Jawa yaitu menambah
kekuatan magis daripada suatu dinasti.
Meinsma,
menerbitkan suatu buku sejarah untuk pendidikan indolog-indolog, calon-calon
pegawai pamong praja di Hindia, yang menaruh perhatian kepada lahirnya pemerintah yang cerah, kira-kira tahun
1860-an. Penulis keberatan terhadap buku Meinsme tentang sejarah daerah-daerah
jajahan Belanda di Hindia Timur, Levyssohn Norman dan Hoek menulis tentang masa peralihan 1795—1815,
dimana penulis melihat adanya jurang waktu. Usaha untuk mempelajari sejarah
Jawa mengalami kemajuan yang pesat sekitar tahun 1900 , tetapi yang dimulai
oleh De Jonge “opkomst”-nya mengalami “mandeg’ (berhenti). Penulis menyayangkan
bahwa orang kurang bekerja sistematis, yang pada dasarnya tidak terjadi suatu
kemajuan.
Hoesein
Djajadiningrat (1913) tentang sejarah
Banten secara ilmiah modern memberi sumbangan terhadap sejarah Banten itu sendiri. Begitu
juga, Poerbatjaraka yang pertama—tama adalah ahli bahasa yang memperlihatkan
pentingnya peranan ahli bahasa dalam penulisan sejarah itu sendiri. Bagi Coolhaas,
sejarah orang-orang Belanda tidak hanya di daerah Belanda saja, melainkan di
berbagai bagian dunia. Belanda datang ke suatu tempat, dalam melakukan suatu
perdagangan terdapat segi baik dan jahatnya, bagi keturunannya hendaknya mengikuti
apa yang telah tecapai oleh orang-orang sebelumnya dinegara yang jauh. Mereka
harus mengetahui bahwa banyak generasi sebelum mereka berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan yang sifatnya sama seperti yang akan mereka hadapi. Hendaknya
suatu bangsa menulis sejarahnya sendiri, dengan demikian dapat terlihat di
dalam karya-karya sejarahnya apa yang paling mengharukan.
Kelebihan dalam tulisan ini yang menarik
bahwa Coolhaas ingin memaparkan bahwa suatu historiografi Hindia-Belanda tidak hanya menggunakan sumber-sumber kolonial, tetapi juga menggunakan sumber-sumber pribumi (Indonesia), tanpa mengesampingkan salah satu. Selain itu, Coolhaas memaparkan pentingnya
peran dari ahli bahasa,
sastra, dan purbakala dalam penulisan sejarah untuk mendapatkan suatu historiografi yang menarik dengan gaya penulisan
dan bahasa yang mudah diterima tetapi tetap berdasarkan fakta-fakta pada sumber
yang ada. Coolhas juga menginginkan tidak diabaikannya peranan orang-orang Belanda di tanah
air Indonesia yang setelah 1900 Belanda secara sadar menyebarkan kebudayaannya.
Dengan demikian terlihat jelas dalam
tulisannya juga terdapat adanya suatu perasaan untuk memperbaiki citera VOC
dalam perjalanan sejarah.
Kelemahannya yakni terlalu cenderung terhadap karya De Jonge.
Disadur dari tulisan W.PH. Coolhaas. 1971. Sekitar Sedjarah
Kolonial dan Sedjarah Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Bahasa. Djakarta:
Bharara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar