Nama : Siti Nur Hadisah B Hari/Tgl : Kamis, 06 Des 2012
NIM : 12/340216/PSA/07401 Dosen Pengampu : Dr. Sri Margana
Mata
Kuliah : Historiografi
Artikel ini
membahas mengenai Peristiwa Lampung 1989, yang merupakan salah satu konflik
vertikal antara negara dan masyarakat dengan melihat tiga hipotesa yang
berkembang. Artikel ini berusaha mempelihatkan penulisan dari sudut pandang
yang berbeda dari yang biasanya dan melakukan perubahan setelah melakukan
wawancara terhadap pelaku sejarah yang terkait. Hal ini berawal katertarikan
terhadap informasi al-Chaidar tentang keterkaitan antara Warsidi dan tokoh
Darul Islam di Lampung dengan wawancarai orang-orang yang aktif dalam usroh
pimpinan Abdullah Sungkar yang berpusat di Solo dan Jakarta. Hal ini tentu
berbeda dengan apa yang terlihat sebelumnya, seperti adanya pengaruh Abdullah
Sungkar lebih besar daripada Warsidi dalam membentuk pola pikir tentang semangat hidup yang sesuai dengan
syariat Islam dan kebencian mereka terhadap orde baru yang memberlakukan asas
tunggal Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dengan membentuk manusia
pancasilais sejati.
Penulis
memusatkan pembahasannya dengan mempelajari orientasi keagamaan dan sikap politik
Abdullah Sungkar, pola pikir gerakan yang diciptakan untuk menentang pemerintah
orde baru. Dalam hal ini terlihat dengan jelas bahwa suatu konflik ini
dilatarbelakangi oleh pemurnian kembali mengenai penerapan agama Islam dalam
kehidupan sehaari-hari yang dianggap sudah banyak terlalu jauh melenceng. Kemudian
sikap politik Abdullah Sungkar yakni menentang orde baru, hal ini dilakukan dengan
berdakwah sambil bermuatan politik. Penyebaran jaringan di daerah Solo dengan
cara berdakwah yang bermuatan politik tersebut menimbulkan terjadinya
penangkapan secara besar-besaran. Penangkapan inilah yang mengalihkan dari
daerah Solo ke daerah Lampung yang dianggap sebagai tempat yang lebih aman.
Mereka
yang tergabung dalam peristiwa lampung mempunyai kesamaan dalam hal orientasi
keagamaan dan sikap politik terhadap pemerintah. Terkait pemurnian agama,
jaringan mereka mempunyai kesamaan pandangan dengan Muhammadiyah yang mempunyai
visi ke depan yang hampir sama dengan gerakan di Lampung tersebut. Dengan kata
lain, jaringan ini lebih mudah bekerja sama dengan kelompok Muhammadiyah
daripada kelompok yang lain.
Penulis
menyimpulkan bahwa peristiwa Lampung 1989 tidak dapat dimasukkan dalam gerakan
Ratu Adil, sebagaimana yang diajukan oleh Sartono Kartodirdjo. Hal dianggap
penulis sedikit tidak objektif, karena dianggap banyak menggunakan sumber yang
digunakan oleh berita surat kabar tahun 1989. Dalam hal ini penulis melihat
bahwa Warsidi bukanlah pimpinan tertinggi. Apabila kita lihat bahwa Warsidi
merupakan sosok yang lebih melihat pada orietasi keagamaan, dimana Islam menjadi
pegangan langsung merujuk pada Al-qur’an dan hadist. Dalam hal ini, mereka
beranggapan bahwa pemikiran dan praktik kegamaan kalangan Islam tradisionalis
dapat menghancurkan Islam sendiri.
Hal ini
berlanjut, ketika pemerintah Orde Baru menginginkan penerapan ideology
pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang dinggap berbeda dengan Ideologi
Islam murni. Sehingga secara tidak langsung maka terlihat terjadi suatu konflik
vertikal antara pemerintah dengan masyarakat. Meskipun pada awalnya kelompok
Islam tradisionalis maupun pemurnian agama melakukan pertentangan, namun pada
akhirnya menerima asas tunggal Pancasila. Kemudian sebagian besar yang ikut
dalam kelompok ini tidak lain sebagian merupakan tokoh lokal Muhammadiyah.
Penulis
juga melihat bahwa tulisan terdahulu mengenai tentang Warsidi dan kelompoknya
menginginkan untuk mendirikan sebuah negara Islam menganggap hal ini sangat
berlebihan karena tidak mempunyai jaringan nasional, regional, maupun
internasional. Keinginan ini menurut penulis hanyalah menginginkan sebuah
perkampungan yang menjamin warganya menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Serta, menginginkan dibangunnya sekolah Islam dan pesantren yang lebih
banyak untuk mengajarkan agama Islam yang dianggap sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadist yang menunjang menyebarkan dalam pemurnian Islam sendiri.
Kelebihan artikel ini adalah memperlihatkan
sumber-sumber baru dan informan-informan dari masyarakat, yang mana dalam hal
ini terlihat ketika mewanancarai orang yang dari mantan usroh setelah
terjadi pembebasan politik. Selanjutnya, hal menarik lainnya adalah ketika
dapat memperlihatkan bahwa gerakan yang ada di Lampung bukanlah suatu gerakan
Ratu Adil. Namun dalam penulisan artikel ini tidak luput dari kelemahnya yakni bahasanya yang sedikit rumit karena banyak hubungan-hubungan
antara satu dengan yang lain, apabila dibaca tidak cukup dengan membaca satu
kali. Selain itu, penulisan ini lebih cenderung terpengaruh bahwa peristiwa ini
hanya menginginkan perkembangan perkampungan yang berlandaskan syaria’at Islam
karena pada dasarnya dalam hal menginginkan kembali kesemua justru lebih
menginginkan sesuatu yang lebih menerapkan syariat Islam dalam cangkupan yang
lebih besar.
Disadur
dari tulisan
Abdul Syukur. 2008. “Jaringan Lokal Abdullah Sungkar dalam Peristiwa Lampung
1989”, Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar