“Sejarah
Indonesia”:
Dalam Perspektif
Ruang dan Waktu[1]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 9)
Hampir sebagian besar
historiografi bekas negara-negara jajahan mula-mula digarap oleh para
penjajahnya. Baru setelah kemerdekaan, para sejarawan nasional mengambil
alihnya. Seperti halnya itu juga didapati dalam konteks historiografi
Indonesia.
Namun ada dua
hal yang menarik. Pertama, karya-karya historiografi kolonial tidak bisa tidak
dipisahkan dari kebutuhan sejarawan nasional merekonstruksi sejarah bangsanya.
Kedua, muncul generasi sejarawan Barat yang menaruh perhatian pada rekonstruksi
sejarah bangsa-bangsa eks-jajahan. Di Indonesia, mereka acap disebut sebagai
Indonesianis.
Sekian banyak
Indonesianis yang menaruh perhatian terhadap sejarah Indonesia ini punya
spesialisasinya masing-masing. Namun yang fokus pada sejarah besar Indonesia,
bisa disebut beberapa nama. Salah satunya adalah M.C. Ricklefs. Sejarawan asal
Australia ini menghasilkan karya A History of Modern Indonesia yang diterjemahkan ke Indonesia dan telah direvisi
beberapa kali.
Hal menarik
seputar wacana historiografi Indonesia adalah terkait masalah periodeisasi dan
konteks ke-Indonesia-an. Keduanya bisa diseret ke dalam konteks historis dan
politis, bahkan kedua konteks itu bisa diterapkan sekaligus. Ricklefs sendiri memilih
istilah ”modern Indonesia” dalam
tajuk bukunya. Batas awal periode yang ditentukannya adalan circa 1300. Periode transisi ketika
Islamisasi mulai mengambil alih kedudukan dan pengaruh Hindu – Budha dari ruang
geografis Nusantara. Sebagaimana diterangkan Ricklefs (hal. 14) dalam pengantar
edisi pertama bukunya yang terbit 1981, bahwa masa abad ke 14 yang menjadi awal
studinya ditekankan sebagai sebuah unit sejarah yang padu. Kepaduan itu
dilandasi tiga unsur fundamental. Pertama yaitu unsur kebudayaan dan agama.
Bahwa Islamisasi Indonesia yang dimulai masa sekitar 1300 dan berlanjut hingga
hari ini menjadi alasannya. Dengan kata lain Ricklefs ingin mengatakan bahwa
Islamisasi di Indonesia hingga hari ini adalah sebuah proses yang belum
selesai. Kedua, unsur saling memengaruhi antara orang Indonesia dan orang Barat
yang dimulai sekitar 1500 dan hingga kini pun masih berlanjut. Dan yang ketiga
adalah sumber-sumber primer sepanjang periode ini ditulis hampir secara
ekslusif dalam bahasa-bahasa Indonesia modern (semisal Jawa, Melayu, dan Barat.
Bukan dalam Jawa Kuno atau Melayu Kuno).
Itu masalah
periode. Dalam hal spasial, Ricklefs (hal. 15) pun menjelaskan, bahwa meski
menggunakan label Indonesia, ia katakan bukunya ”mengutamakan sejarah Jawa
lebih besar daripada yang mungkin dianggap sepantasnya.” Pernyataannya ini
menarik. Pasalnya ini kian mengesankan bahwa Jawa adalah representasi Indonesia.
Sebagaimana tiga unsur alasan yang juga ia uraikan, baik itu secara
historiografis sejarah Jawa paling banyak dikaji dari yang luar Jawa; demografi
penduduk Jawa lebih besar dari luar Jawa; dan Jawa sebagai pusat sejarah
politik sepanjang masa.
Memang Ricklefs
dengan jujur mengatakan bahwa karya historiografinya ini semata-mata adalah
repetisi dan menambah kesalahan buku lain. Pun ia membuka peluang untuk
mengkaji wilayah luar Jawa. Pada pokoknya ia bermaksud menjadikan bukunya ini
memudahkan pembaca untuk menarik generalisasi atau membantah generalisasi pihak
lain (hal. 15). Menarik pernyataannya ini, sebab ia tidak eksplisit mengatakan
”membantah generalisasi yang dibuatnya sendiri” terhadap sejarah Indonesia.
Sungguh, ini
adalah soal perspektif. Berbeda halnya dengan model l’histoire totale yang dibuat oleh Denys Lombard (1990) dalam Le
carrefour javanais: Essaie d’histoire globale yang terang-terangan tidak membuat generalisasi seperti
Ricklefs bahwa Indonesia adalah Jawa dan Jawa adalah Indonesia. Lombard tidak
seambisius Ricklefs. Dengan membuat tiga jilid bukunya yang menggunakan pola present to past (baca: Barat à Islam à Hindu), ia
sekedar ingin menunjukkan bahwa Jawa tidak didudukkan sebagai sentrum, tapi
sekedar le carrefour, “persilangan” budaya bagi nusa-nusa di kepulauan Indonesia. Meski begitu
pola unik Lombard tidak terlalu diikuti oleh Indonesianis lainnya. Misalnya
saja Jean Gelman Taylor (sejarawan Australia juga) yang menyusun Indonesia
People and Histories (2003) lebih mengulang pola Ricklefs meski dengan
perspektif lain.
Meskipun
demikian adanya, perspektif Indonesianis seperti Ricklefs dapat dimaklumi.
Pasalnya ia dibingungkan juga dengan konsep sejarah Indonesia secara geopolitik
atau kebudayaan. Hal ini sebenarnya sudah dijawab secara bagus oleh Sartono
Kartodirdjo dalam pengantar bukunya Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900; Dari Emporium sampai Imperium (1999).
Bahwa dikatakan Sartono (hal. xvi): “sejarah Indonesia sebagai suatu konstruk
berlandaskan konsep geopolitik dan bukan
konsep kebudayaan dalam artian Toynbee.” Kedua konsepsi inilah yang
membingungkan secara waktu dan ruang. Lebih-lebih tuntutan “historiografi
Indonesiasentis” mengacaukan caesuur atau pembatasan periode yang seharusnya
dihadirkan bukan justru dibenar-benarkan atau dicocok-cocokan. Maka, berbeda
dengan Ricklefs, perspektif Sartono (hal. xvii) lebih sederhana dan tidak
muluk-muluk, bahwa dalam bukunya: “periodeisasi tidak digunakan seperti
biasanya dalam penulisan sejarah, akan tetapi digunakan sebagai kerangka atau
batasan waktu secara kasar.” Alasannya jelas, bahwa perkembangan dan perubahan
struktural pada umumnya tidak dapat dicakup dengan periodeisasi yang ketat.
Perspektif dan prinsip Sartono ini sebenarnya
bisa menjadi catatan kritis bagi karya Ricklefs. Tapi lebih dari itu, ini
menjadi catatan besar bagi historiografi Indonesiasentris sendiri yang terjebak
dalam ahistorisitas “Sejarah Nasional Indonesia“ sebagai sebuah proyek politik
yang digelorakan rezim penguasa.
[1] Pembacaan atas Sartono
Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500 – 1900; Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta:
Gramedia (bagian kata pengantar); dan M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004. Jakarta: Serambi (bagian
prakata edisi pertama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar