Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Mendudukkan Sejarah Kecil, Menundukkan Sejarah Besar


Mendudukkan Sejarah Kecil, Menundukkan Sejarah Besar[1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 10)

Di Indonesia, citra penulisan “sejarah dari atas” sebagai sebentuk sejarah pembingkai kekuasaan politik masih melekat baik dalam historiografi yang sifatnya lokal maupun nasional. Bagaimana mendudukkan “sejarah dari bawah” sebagai sejarah milik yang kecil atau manusia biasa dengan kerenikan hidupnya? Serta, apa pentingnya?
Menjawab pertanyaan di atas tentu saja ini menyoal membalikkan pandangan relasi kuasa (yang adikuasa dengan yang dikuasai). Adakah yang adi melulu menguasai? Atau malah yang dikuasai justru “menguasai” yang dinilai adi itu dalam bentuk-bentuk keseharian yang halus dan remeh-temeh?
Jawaban itu sepintas hadir dalam pewacanaan dua sejarawan, Michael G. Vann (Amerika Serikat) dan Guo Quan Seng (Singapura) dalam stadium generale di UGM (20/12) lalu. Vann berbagi pengetahuan dan minatnya terhadap microhistory yang dipakai dalam menarasikan sejarah Vietnam sebagai studinya. Adapun Seng lebih melihat persoalan makro melalui studi gerakan sosial yang diminatinya.
Pembacaan Seng atas sejarawan marxis seperti E.P. Thompson dan Ramachandra Guha membawanya pada paradigma bagaimana sedianya membaca negara melalui perspektif kelas pekerja atau petani. Baginya, sejarah dari bawah adalah satu alternatif terbaik untuk menempatkan history as activism. Dengan lain kata, ini adalah sebentuk tindakan untuk mencapai tujuan politik yang mana dalam kerja sejarawan ini sebentuk ikhtiar untuk menandingi grand narrative (baca: kekuasaan). Aktivisme adalah sebentuk metode atau praktek wacana semisal bagaimana seharusnya membaca sejarah kolonial atau menilik kesadaran petani dalam gerakan sosial. Di sini sejarawan mendudukkan dirinya sebagai seorang aktivis tatkala memperlakukan sejarah sebagai sebuah aktivisme. Sebagaimana dikatakan Seng, menggarap dan membaca sejarah macam ini adalah sewujud: “the mount of idealization” ketika sejarah ditempatkan sebagai karir dan sekaligus keingintahuan (curiosity).
Adapun Vann lebih menukikan karir dan keingintahuan sejarahnya dengan memilih microhistory atau la petit histoire. Metodologi sejarah Vann dipengaruhi juga oleh sejarawan macam Carlo Ginzburg dan Robert Darnton yang berkiblat pada sejarah kecil. Wajar jika sebuah tulisan Vann yang bertajuk Of Rats, Rice, and Race (2003) terasa sekali sebuah cara pandang melihat persoalan besar (kota Hanoi yang disentuh proyek sanitasi kolonial Perancis) dengan persoalan di bawah (diskriminasi dan rasisme) yang dinarasikan melalui kasus pembunuhan tikus besar-besaran. Sungguh suatu cara pandang yang tidak terlalu lazim dalam sejarah konvensional. Sebagaimana hal ini pernah juga dialamatkan aneh ketika karya The Cheese and the Worms-nya Ginzburg terbit pertama kali pada 1976. Karya masyhur Ginzburg ini melihat despotisme gereja masa abad ke-16 dari sudut narasi seorang tukang giling gandum (miller) bernama Menocchio. Melalui bakat melek aksaranya di tengah kondisi iliterasi masyarakat saat itu, Menocchio menjadi sosok yang tidak diduga-duga berandil menelanjangi borok-borok gereja. 
Sejak masa 1970-an studi sejarah yang disajikan Ginzburg memang tengah mengembangkan dirinya pada kajian sejarah kecil (microhistory) sebagai ikhtiar menulis “sejarah dari bawah.” Kecenderungan yang mengemuka dari studi sejarah kecil ini adalah menelisik hal-hal seputar peristiwa tak terpindai karena –lebih dinilai– keremeh-temehannya, hingga kehidupan manusia-manusia biasa yang dipandang minor dalam peristiwa-peristiwa besar.Tenggelamnya suara-suara kecil dalam riuhnya sumber arsip dan dokumen resmi pemerintah menjadi terkuakkan melalui penguatan bukti-bukti meliputi studi sejarah lisan, telaah sastra, majalah, surat kabar, surat-surat pribadi, buku harian, hingga catatan perjalanan. Sifat penulisan sejarah ini sendiri di mata microhistorian Italia lainnya bernama Giovanni Lévi (1971), secara normatif acapkali dinilai kontras dengan penulisan sejarah konvensional. Sebab, dalam fragmentasinya, selain banyak bertolakbelakang secara metode dan metodologi, microhistory juga menunjukkan kemajemukan masalah yang tercakup di dalamnya.
Untuk memperjelas dan memperhalus maksud Lévi, kiranya terajutkan oleh Sam Wineburg dalam Historical Thinking (2001), bahwa kemajemukan tersebut diurai melalui kegiatan “merapikan mata jala ikan”. Jika mata jala lebih besar daripada jenis ikan yang ingin ditangkap, maka yang tertangkap adalah berbagai jenis ikan besar dan makhluk-makhluk air tidak berguna. Adapun jika mata jala terlalu kecil, segala jenis ikan kecil dan plankton akan demikian banyak tertangkap, sehingga jenis ikan lebih besar yang tertangkap tidak tampak. Melalui analogi merapikan mata jala ikan ini, sejarah kecil akan banyak bermain pada penentuan definisi yang jelas dari konteks besar-kecilnya sebuah peristiwa sejarah.
Satu hal yang bisa disikapi adalah wacana atas kolonialisme yang acap diidentikkan dengan citra kelamnya menindas nilai-nilai kemanusiaan. Tapi, di balik citra demikian, banyak yang masih tersembunyikan dari kekuasaan kolonial, salah satunya menyoal hidup keseharian (everyday life) yang tanpa banyak disadari masih bertahan hingga kini.
Setidaknya, mendudukkan sejarah kecil dalam historiografi menjadi penting untuk mengubah persepsi seputar tafsir sejarah. Berangkat dari penelitian sejarah kecil semisal tema pakaian, arsitektur, atau makanan, nyata dapat memengaruhi dan mengubah cara pandang kita memahami kekinian dan masa depan melalui masa lalu yang coba dinarasikan. Mengamati yang renik pun menggiring kita untuk terus detil, peka, curiga, dan tidak terjebak atas narasi-narasi sejarah besar. Setidaknya hal itu pernah dilakoni oleh Asvi Warman Adam selaku sejarawan yang mulanya menulis sejarah “remeh-temeh” lalu berbelok memberdayakan sejarah kecil dalam menelisik “suara-suara yang hilang” seputar periode 1965.
Sejarah kecil ini tentu saja diasakan mengubah kecupetan kolektif (baca: awam) menilai sejarah yang hanya tertumbuk pada serangkaian perang, konstelasi dan konflik politik, atau kejayaan penguasa. Itulah bukti rupa penulisan sejarah yang cenderung lekat sebagai bingkai kekuasaan belaka. Manusia-manusia biasa dengan segala suaranya yang tercatat dan terekam di antara serakan pasir data dalam sumber lisan, surat kabar, majalah, surat-surat pribadi, atau buku harian luput dari penelitian.
Padahal, meneliti seksama sumber-sumber tersebut akan membawa kita pada bangunan lampau citra identitas dan mentalitas kolektif manusia yang bertahan hingga kini. Menjadi bukti, bahwa hidup sungguh jalinan yang tidak terputus dari masa lalunya.
Hasil bangunan “sejarah dari atas” patut dicemaskan hanya mencipta-cipta citra dan sentimen terhadap bangsa atau etnik tertentu. Pun narasi sejarah yang identik dengan konflik politik, perang, suksesi kekuasaan yang berdarah-darah mengesankan sejarah tak lebih sebagai pembingkai kekuasaan. Posisi rakyat biasa dengan ragam kehidupannya, peran kaum wanita masa lalu dalam sektor rumah tangga hingga politik, dan masalah macam kesehatan, kejahatan, pendidikan, pangan, hingga budaya makan masih belum terperhatikan. Padahal terang, secara holistik ilmu sejarah sudah semestinya mampu merefleksikan banyak persoalan kemanusiaan melalui hidup kesehariannya.
Dari Seng dan Vann kita dapat mengambil pelajaran perlunya mendudukkan persoalan-persoalan sejarah kecil yang diharapkan dapat memengaruhi cara pandang dan refleksi hidup keseharian kita. Hal ini tentu bermakna sekali dalam membentuk kesadaran menghadapi dan memosisikan diri di tengah tanda-tanda zaman yang terus bergulir. Rasanya ini pun berafiat untuk membangun sendi-sendi kehidupan, semisal sikap kita menyikapi polemik kebudayaan atau hakikat terdalam: kesadaran hidup berbangsa yang sesungguhnya. Mendudukkan sejarah kecil ini juga adalah sebuah ikhtiar menundukkan citra sejarah yang acap lekat dengan kekuasaan.


[1] Review atas paparan materi dari Michael G. Vann dan Guo Quan Seng dalam stadium-generale di Fakultas Ilmu Budaya UGM,  20 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar