Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata
Kuliah: Historiografi (Review 10)
Di
Indonesia, citra penulisan “sejarah dari atas” sebagai sebentuk sejarah
pembingkai kekuasaan politik masih melekat baik dalam historiografi yang
sifatnya lokal maupun nasional. Bagaimana mendudukkan “sejarah dari bawah” sebagai
sejarah milik yang kecil atau manusia biasa dengan kerenikan hidupnya? Serta,
apa pentingnya?
Menjawab pertanyaan di atas tentu saja
ini menyoal membalikkan pandangan relasi kuasa (yang adikuasa dengan yang
dikuasai). Adakah yang adi melulu menguasai? Atau malah yang dikuasai justru
“menguasai” yang dinilai adi itu dalam bentuk-bentuk keseharian yang halus dan
remeh-temeh?
Jawaban itu sepintas hadir dalam pewacanaan
dua sejarawan, Michael G. Vann (Amerika Serikat) dan Guo Quan Seng (Singapura)
dalam stadium generale di UGM (20/12) lalu. Vann berbagi pengetahuan dan
minatnya terhadap microhistory yang
dipakai dalam menarasikan sejarah Vietnam sebagai studinya. Adapun Seng lebih
melihat persoalan makro melalui studi gerakan sosial yang diminatinya.
Pembacaan Seng atas sejarawan marxis
seperti E.P. Thompson dan Ramachandra Guha membawanya
pada paradigma bagaimana sedianya membaca negara melalui perspektif kelas
pekerja atau petani. Baginya, sejarah dari bawah adalah satu alternatif terbaik
untuk menempatkan history as activism.
Dengan lain kata, ini adalah sebentuk tindakan untuk mencapai tujuan politik
yang mana dalam kerja sejarawan ini sebentuk ikhtiar untuk menandingi grand narrative (baca: kekuasaan).
Aktivisme adalah sebentuk metode atau praktek wacana semisal bagaimana seharusnya
membaca sejarah kolonial atau menilik kesadaran petani dalam gerakan sosial. Di
sini sejarawan mendudukkan dirinya sebagai seorang aktivis tatkala
memperlakukan sejarah sebagai sebuah aktivisme. Sebagaimana dikatakan Seng,
menggarap dan membaca sejarah macam ini adalah sewujud: “the mount of idealization” ketika sejarah ditempatkan sebagai karir
dan sekaligus keingintahuan (curiosity).
Adapun Vann lebih menukikan karir dan
keingintahuan sejarahnya dengan memilih microhistory
atau la petit histoire. Metodologi
sejarah Vann dipengaruhi juga oleh sejarawan macam Carlo Ginzburg dan Robert
Darnton yang berkiblat pada sejarah kecil. Wajar jika sebuah tulisan Vann yang
bertajuk Of Rats, Rice, and Race (2003)
terasa sekali sebuah cara pandang melihat persoalan besar (kota Hanoi yang
disentuh proyek sanitasi kolonial Perancis) dengan persoalan di bawah
(diskriminasi dan rasisme) yang dinarasikan melalui kasus pembunuhan tikus
besar-besaran. Sungguh suatu cara pandang yang tidak terlalu lazim dalam
sejarah konvensional. Sebagaimana hal ini pernah juga dialamatkan aneh ketika karya
The Cheese and the Worms-nya Ginzburg
terbit pertama kali pada 1976. Karya masyhur Ginzburg ini melihat despotisme
gereja masa abad ke-16 dari sudut narasi seorang tukang giling gandum (miller) bernama Menocchio. Melalui bakat
melek aksaranya di tengah kondisi iliterasi masyarakat saat itu, Menocchio menjadi
sosok yang tidak diduga-duga berandil menelanjangi borok-borok gereja.
Sejak masa 1970-an studi sejarah yang
disajikan Ginzburg memang tengah mengembangkan dirinya pada kajian sejarah
kecil (microhistory) sebagai ikhtiar
menulis “sejarah dari bawah.” Kecenderungan
yang mengemuka dari studi sejarah kecil ini adalah menelisik hal-hal seputar peristiwa
tak terpindai karena –lebih dinilai– keremeh-temehannya, hingga kehidupan
manusia-manusia biasa yang dipandang minor dalam peristiwa-peristiwa besar.Tenggelamnya
suara-suara kecil dalam riuhnya sumber arsip dan dokumen resmi pemerintah
menjadi terkuakkan melalui penguatan bukti-bukti meliputi studi sejarah lisan,
telaah sastra, majalah, surat kabar, surat-surat pribadi, buku harian, hingga
catatan perjalanan. Sifat penulisan sejarah ini sendiri di mata microhistorian Italia lainnya bernama Giovanni
Lévi (1971), secara normatif acapkali dinilai kontras dengan penulisan sejarah
konvensional. Sebab, dalam fragmentasinya, selain banyak bertolakbelakang
secara metode dan metodologi, microhistory
juga menunjukkan kemajemukan masalah yang tercakup di dalamnya.
Untuk memperjelas dan memperhalus maksud
Lévi, kiranya terajutkan oleh Sam Wineburg dalam Historical Thinking (2001), bahwa kemajemukan tersebut diurai
melalui kegiatan “merapikan mata jala ikan”. Jika mata jala lebih besar
daripada jenis ikan yang ingin ditangkap, maka yang tertangkap adalah berbagai
jenis ikan besar dan makhluk-makhluk air tidak berguna. Adapun jika mata jala
terlalu kecil, segala jenis ikan kecil dan plankton akan demikian banyak
tertangkap, sehingga jenis ikan lebih besar yang tertangkap tidak tampak.
Melalui analogi merapikan mata jala ikan ini, sejarah kecil akan banyak bermain
pada penentuan definisi yang jelas dari konteks besar-kecilnya sebuah peristiwa
sejarah.
Satu hal yang bisa disikapi adalah
wacana atas kolonialisme yang acap diidentikkan dengan citra kelamnya menindas
nilai-nilai kemanusiaan. Tapi, di balik citra demikian, banyak yang masih
tersembunyikan dari kekuasaan kolonial, salah satunya menyoal hidup keseharian
(everyday life) yang tanpa banyak
disadari masih bertahan hingga kini.
Setidaknya, mendudukkan sejarah kecil
dalam historiografi menjadi penting untuk mengubah persepsi seputar tafsir
sejarah. Berangkat dari penelitian sejarah kecil semisal tema pakaian,
arsitektur, atau makanan, nyata dapat memengaruhi dan mengubah cara pandang
kita memahami kekinian dan masa depan melalui masa lalu yang coba dinarasikan.
Mengamati yang renik pun menggiring kita untuk terus detil, peka, curiga, dan
tidak terjebak atas narasi-narasi sejarah besar. Setidaknya hal itu pernah
dilakoni oleh Asvi Warman Adam selaku sejarawan yang mulanya menulis sejarah
“remeh-temeh” lalu berbelok memberdayakan sejarah kecil dalam menelisik
“suara-suara yang hilang” seputar periode 1965.
Sejarah kecil ini tentu saja diasakan
mengubah kecupetan kolektif (baca: awam) menilai sejarah yang hanya tertumbuk
pada serangkaian perang, konstelasi dan konflik politik, atau kejayaan
penguasa. Itulah bukti rupa penulisan sejarah yang cenderung lekat sebagai
bingkai kekuasaan belaka. Manusia-manusia biasa dengan segala suaranya yang
tercatat dan terekam di antara serakan pasir data dalam sumber lisan, surat
kabar, majalah, surat-surat pribadi, atau buku harian luput dari penelitian.
Padahal, meneliti seksama sumber-sumber
tersebut akan membawa kita pada bangunan lampau citra identitas dan mentalitas
kolektif manusia yang bertahan hingga kini. Menjadi bukti, bahwa hidup sungguh
jalinan yang tidak terputus dari masa lalunya.
Hasil bangunan “sejarah dari atas” patut
dicemaskan hanya mencipta-cipta citra dan sentimen terhadap bangsa atau etnik
tertentu. Pun narasi sejarah yang identik dengan konflik politik, perang,
suksesi kekuasaan yang berdarah-darah mengesankan sejarah tak lebih sebagai
pembingkai kekuasaan. Posisi rakyat biasa dengan ragam kehidupannya, peran kaum
wanita masa lalu dalam sektor rumah tangga hingga politik, dan masalah macam
kesehatan, kejahatan, pendidikan, pangan, hingga budaya makan masih belum
terperhatikan. Padahal terang, secara holistik ilmu sejarah sudah semestinya
mampu merefleksikan banyak persoalan kemanusiaan melalui hidup kesehariannya.
Dari Seng dan Vann kita dapat mengambil
pelajaran perlunya mendudukkan persoalan-persoalan sejarah kecil yang diharapkan
dapat memengaruhi cara pandang dan refleksi hidup keseharian kita. Hal ini
tentu bermakna sekali dalam membentuk kesadaran menghadapi dan memosisikan diri
di tengah tanda-tanda zaman yang terus bergulir. Rasanya ini pun berafiat untuk
membangun sendi-sendi kehidupan, semisal sikap kita menyikapi polemik
kebudayaan atau hakikat terdalam: kesadaran hidup berbangsa yang sesungguhnya. Mendudukkan sejarah kecil ini juga
adalah sebuah ikhtiar menundukkan
citra sejarah yang acap lekat dengan kekuasaan.
[1]
Review atas paparan materi dari Michael G. Vann dan Guo Quan Seng dalam
stadium-generale di Fakultas Ilmu Budaya UGM,
20 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar