Historiografi di
Antara Teks, Gambar Hidup, dan Bunyi [1]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 8)
Peter Weir, seorang sutradara
kenamaan Australia memproduksi sebuah film pada 1982. Judul filmnya The Years of Living Dangereously. Pemerannya
Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Ketiganya bintang film kenamaan.
Tapi, ini bukan soal sutradara dan bintang film
kenamaannya. Pokok soalnya adalah film ini berlatarkan politik Indonesia tahun
1965. Sebuah masa-masa genting dalam sejarah politik Indonesia. Weir pun
mengutip perkataan Soekarno yang gemar menggunakan sebuah frasa Latin vivere pericoloso untuk kemudian dipakai
dan diterjemahkan menjadi judul filmnya. Masalahnya, film Weir itu digarap pada
masa kepemimpinan Soeharto. Wajar jika ajuan Weir untuk mengadakan syuting di
Indonesia saat itu ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Walhasil, syuting film
itu digarap di Filipina. Alasannya, suasana dan orang-orang di sana tak jauh
beda dengan Indonesia. Mungkin para penonton dibuatnya geli dengan aktor yang
memerankan Soekarno dan Istana Kepresidenan Indonesia yang terpaksa ”meminjam”
Istana Malacanang. Tapi, bukan itu yang menjadi sorotan dari film yang
kualitasnya dinilai para sineas sebagai biasa-biasa saja. Kekhawatiran rezim
Soeharto-lah yang membuat kadar nilai film ini melambung.
Visualisasi sejarah melalui film sungguh telah membuka
lembaran baru bagi perjalanan rezim kekuasaan seperti Orde Baru. Sudah terlalu
biasa jika buku atau dokumen sejarah acap menjadi ancaman bagi kekuasaan dan
nasibnya berakhir dalam beredel atau bahkan menjadi abu. Tapi film memberi
kesadaran baru bagi rezim Orba, bahwa sejarah hadir dalam kekuatan barunya:
kekuatan audiovisual.
Bukan sekedar hiburan atau untuk lebih membuka mata
terhadap realitas, media audiovisual melalui perkembangan teknologi dan teknik
pembuatannya telah berkembang menjadi sebuah genre arsip sejarah. Menyoal ini, Henk Schulte Nordholt dan Fridus
Steijlen mengatakan bahwa ada pergeseran dalam penelitian sejarah selama
beberapa tahun terakhir. Hal-hal terkait subjek, perspektif, dan pendekatan
cenderung mulai menjauhi narasi besar (baca: negara, lembaga, hingga seri
statistik).
Pergeseran itu dimaklumi terjadi karena
ketidakpuasan terhadap narasi besar dalam mengendalikan dan memproduksi
teks-teks sejarah. Ketika teks tidak berbunyi sebab ada yang
ter/di-sembunyikan, maka sarana visual (seperti fotografi, film, dan teater)
menjadi alternatif menggali hakikat dan pemahaman masa lalu melalui pendekatan subaltern (Nordholt, Purwanto, &
Saptari, 2007). Jelas ini menjadi penting sebagai sebentuk penyi(ng)kapan
terhadap narasi besar dalam menarasikan masa lalu yang lazim membenamkan
kehidupan sehari-hari orang biasa berikut suara-suara mereka. Maka, bergeserlah narasi ke arah tema-tema lebih kecil yang
sebelumnya kurang terartikulasi di wilayah perbatasan antara sejarah dan
antropologi. Narasi tunggal pun digantikan oleh suara yang beragam.
Di sini,
pandangan Nordholt dan Steijlen memagut pada sejarah kehidupan sehari-hari yang
dikembangkan Henri Lefebvre di Prancis dan Alf Ludtke di Jerman. Melalui proyek
audiovisual Don’t Forget to Remember Me, Nordholt
dan Steijlen ingin membuktikan ”keampuhan” sebuah arsip audiovisual menggali
hakikat pemahaman sejarah. Mengabadikan kehidupan sehari-sehari di Indonesia
pada awal abad ke-21 selepas berakhirnya rezim Orba menjadi cara baru bagaimana
melihat Indonesia dari lapis kehidupan yang biasa dari narasi orang-orang biasa
(common peoples). Memang ini
melampaui narasi besar. Tapi, paradigma everyday
life melalui audiovisual sebenarnya sebuah ikhtiar bagaimana laku-laku
negara diwakili, disikapi dan dibunyikan melalui suara orang-orang yang tidak
punya suara selama masa kekuasaan sebuah
rezim. Ini sama halnya dengan film dokumenter De Stand van de Zon karya sutradara Leonard Retel Helmrich. Film
yang dilansir pada 2001 ini dibuat dengan menggunakan pendekatan sosial budaya
masyarakat Jakarta kala gejolak reformasi dan transisi pemerintahan pada 1999.
Politik dan ekonomi Indonesia mengalami perubahan besar akibat gejolak
reformasi. Namun yang dibidik oleh Helmrich bukan suasana politik pada lapis
atas dan menengah. Justru masyarakat marjinal semisal supir bis kota, pengamen
jalanan, hingga pemulung-lah yang jadi bidikan Helmrich. Ternyata, di balik
segala keluh-kesah, kesusah, interaksi dan obrolan sehari-hari orang-orang
biasa di Jakarta, didapati keriuhan suara-suara politik mereka yang sering
diabaikan oleh negara.
Mungkin
pengabadian momen-momen secara audiovisual menghasilkan ragam kelucuan dan
keluguan. Tapi, di balik itu semua, sebenarnya tengah ditampilkan suara-suara
paling jujur dalam menyikapi politik negara. Mungkin ini membenarkan ungkapan: vox populi vox Dei. Pada masa rezim
Orba, orang-orang biasa bergunjing politik secara klandestin. Namun, selepas rezim
itu berakhir, melalui De Stand van de Zon, kita dihadapkan pada
realitas politik dan ekonomi Indonesia yang sebenarnya: kampanye hitam, politik
uang, hingga pengangguran. Kenyataan ini tidak didapati pada narasi besar yang cenderung
membiaskan realitas sosial melalui angka-angka statistik atau juga lembaga
survey pemerintah. Masyarakat Indonesia dan negara-negara lain bisa diperdaya
oleh narasi besar yang jamak berkata: angka kemiskinan dan pengangguran menurun.
Tapi, sebuah arsip audiovisual menjadi penayang dan penyuara kenyataan
sebenarnya yang dapat membukakan mata hati penontonnya. Pernyataan ini dapat
dibuktikan melalui film 40 Years of
Sillence: an Indonesian Tragedy (disutradai Robert Lemelson). Sebuah film
yang menyuarakan suara-suara empat keluarga korban politik pasca 1965. Tidak
berhenti pada sekedar korban. Pada 2012, muncul film dokumenter The Act of Killing (Jagal) karya
sutradara Joshua Oppenheimer. Jika dilihat dari suara keluarga korban, ini memang
membuat kita empatik dalam kesedihan mereka. Tapi, jika suara yang dibunyikan
adalah narasi para jagal, yang ada adalah emosi campur aduk penonton di antara
shok, mengutuk, dan betapa harga kemanusiaan tak bernilai lagi karena para
jagal merasa tak berdosa bahkan menikmati pembunuhan yang dilakukannya.
Dari itu
semua, maka, pengabadian peristiwa sehari-hari dalam media audiovisual adalah
sebentuk cara menayangkan realitas yang tidak tersingkapkan teks (bukan cuma
menandingi narasi besar). Meski teks adalah sebentuk representasi atas realitas,
tapi sebagai sebuah produk pikiran, teks bisa diarahkan sesuai kehendak dan
benak si penulis. Ini yang sering kali memunculkan debat membosankan menyangkut
batas subyektif dan obyektifnya teks yang sudah jelas nyata-nyata subyektif.
Lain halnya dengan audiovisual. Meski juga bisa dipakai sebagai sarana propaganda,
tapi teknik yang dikembangkan melalui film-film di atas bisa memberi alternatif
baru bagaimana realitas sejarah dihadirkan di antara teks, gambar hidup (moving pictures), dan bunyi.
[1] Pembacaan atas Henk Schulte
Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari: “Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dan Henk Schulte Nordholt
& Fridus Steijlen: “Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-Hari di Indonesia pada Abad ke-21” dalam
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds.). 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.
Jakarta: Obor & KITLV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar