NIM
: 12/339539/PSA/7316
Kolonialisme bukanlah
-atau setidaknya tidak selalu berupa- sebuah pertunjukan
terang-terangan dari hasrat menguasai dan mengeksploitasi.
Kolonialisme bisa mengambil bentuk sebagai sebuah tindakan yang
“benar” secara moral manakala kolonialisme itu dibangun dan
dijustifikasi di atas dasar kerangka berfikir tertentu. Bukan tidak
mungkin para eksponen kolonialisme sendiri akan meyakini bahwa
tindakan kolonialisnya adalah “benar”, sudah seharusnya
dilakukan, bahkan baik bagi orang-orang jajahannya. Kita bisa
menemukan pandangan di atas dalam tulisan Mary Catherine Quilty dalam
buku “Textual Empires. A
Reading of Early British Histories of Southeast Asia”
dengan tajuk “Sex, Race
and the Contract”.
Tulisan ini membahas tentang bagaimana para eksponen kolonialisme
Inggris di Asia Tenggara (William Marsden, Michael Symes, Thomas
Stamford Raffles, John Crawfurd, dan John Anderson) meletakkan
tindakan-tindakan kolonialis Inggris di kawasan ini dalam paradigma
liberalisme yang sedang menjadi paradigma dominan di Eropa abad
ke-18-19 sebagaimana terlihat dalam karya-karya historiografi yang
mereka buat.
Dalam paradigma
liberalisme hubungan antar-manusia atau antar-kelompok manusia
ditentukan oleh kesepakatan (contract).
Kontrak lahir manakala ada situasi saling membutuhkan antara satu
individu dengan individu lainnya atau antara satu kelompok manusia
dengan manusia lainnya. Menurut paradigma ini manusia pada dasarnya
adalah bebas, tidak ada yang berhak membatasi apa yang diinginkan
oleh seorang manusia. Sementara itu, ketika ada kebutuhan yang tidak
bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri, manusia baik sebagai individu
maupun kelompok harus mengadakan hubungan timbal balik dengan
manusia lainnya lewat sebuah kesepakatan atau kontrak. Lewat kontrak
ini kebebasan kebebasan, hak, bahkan kepemilikan manusia yang terikat
kontrak tersebut dibatasi dengan konsesi berupa dipenuhinya sebagian
kebutuhannya oleh pihak lain yang sama-sama terikat oleh kontrak itu.
Di satu sisi kontrak membatasi kebebasan manusia tetapi di sisi lain
kontrak juga memberikan jaminan tetap terpeliharanya kebebasan
pihak-pihak yang terikat olehnya dalam batas-batas tertentu.
Konsep kontrak yang
sejatinya diambil dari dunia perdagangan ini amat mewarnai tulisan
para kolonialis Inggris di Asia Tenggara pada awal abad ke-19 dalam
hal bagaimana mereka memahami hubungan antara penguasa kolonial
dengan kaum jajahan. Akan tetapi konsep kontrak dan paradigma
liberalisme secara umum tidak selalu diterapkan secara konsisten
sesuai prinsip aslinya. Pada pelaksanaannya manakala paradigma
liberalisme itu tidak sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan riil
penguasa kolonial maka paradigma tersebut bisa disesuaikan agar lebih
sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Penyesuaian itu
dilakukan dengan menggunakan justifikasi moral tertentu yang masih
tercakup dalam paradigma liberalisme itu sendiri. Dalam “Sex,
Race and the Contract”
disebutkan bagaimana para kolonialis seperti Anderson dan Symes
mengerangkai perjanjian antara penguasa kolonial Inggris dengan para
raja di Asia Tenggara sebagai sebuah kontrak sosial. Anderson, Symes,
Raffles, dan para kolonialis Inggris lainnya memahami
perjanjian-perjanjian tesebut bukan sebagai sebuah subordinasi
penguasa lokal terhadap penguasa kolonial melainkan sebuah
kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak yang setara. Pihak penguasa
lokal merelakan sebagian kebebasan, hak-hak, dan kepemilikannya
kepada pihak kolonial dengan timbal-balik berupa 'perlindungan
terhadap kebebasan, hak-hak, dan kepemilikannya' dalam hal yang lain.
Apakah dalam kenyataannya perjanjian itu dibuat dalam posisi yang
setara antara kedua belah pihak maka itu adalah soal lain.
Kenyataannya, para kolonialis sendiri menghendaki agar perjanjian itu
tidak dibuat dengan posisi yang benar-benar setara tetapi perjanjian
itu harus dibuat agar sedapat mungkin menguntungkan pihak mereka.
Sekalipun demikian para kolonialis mempunyai justifikasi moralnya
sendiri akan hal yang sesungguhnya bertentangan dengan prinsip
kontrak dalam paradigma liberalisme -yaitu bahwa pihak-pihak yang
terikat dalam kontrak haruslah setara. Dalam hal ini digunakanlah
pandangan John Locke mengenai tahapan patriarkal dalam perkembangan
suatu masyarakat sebelum terwujudnya kontrak sosial. Menurut Locke,
tahap awal perkembangan suatu masyarakat ditandai dengan kepemimpinan
sosok “ayah” terhadap “anak-anaknya”, artinya pemimpin dalam
masyarakat itu memiliki peran kepemimpinan yang sangat besar terhadap
rakyatnya sebagaimana kepemimpinan seorang ayah terhadap anak-anaknya
yang belum dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahapan
patriarkal ini sang “anak” (baca: rakyat) yang beranjak dewasa
mulai menuntut hak-haknya dan kadangkala memperebutkan hak tersebut
dengan saudara-saudaranya. Pada situasi yang demikian sang “ayah”
(baca: penguasa) lalu mengadakan kontrak dengan anak-anaknya dan
memperantarai kontrak di antara “anak-anaknya” yang merupakan
awal dari terbentuknya kontrak sosial. Pandangan Locke ini turut
memengaruhi para kolonialis Inggris semacam Raffles. Dalam memahami
perjanjian yang timpang antara penguasa kolonial dengan kaum pribumi,
kaum pribumi diposisikan sebagai anak yang baru beranjak dewasa dan
belum mampu memikul tanggung jawabnya dengan baik oleh karena itu
mereka harus mendapat bimbingan dan pengarahan dari sosok “ayah”
yang dalam hal ini diperankan oleh penguasa kolonial. Dengan demikian
perjanjian yang timpang antara penguasa kolonial dengan kaum pribumi
dimaknai sebagai bentuk “bimbingan dan pengarahan” dari penguasa
kolonial sebagai “ayah”.
Masih banyak contoh lain
dari inkonsistensi pihak kolonial dalam pelaksanaan paradigma
liberalisme di tanah jajahan yang disajikan tulisan ini. Akan tetapi
itu semua dapat dirasionalisasi sedemikian rupa sehingga menjadi
masuk akal dan dapat diterima sebagai perkecualian dalam penerapan
paradigma liberalisme. Pada akhirnya dengan cara demikianlah
kolonialisme dapat bertahan. Sepanjang abad ke-19 kolonialisme
menjadi hal yang wajar dan diterima di Eropa sebagai suatu upaya
“pemberadaban” bangsa-bangsa yang masih “biadab”.
Kolonialisme tidak terkesan sebagai suatu bentuk keserakahan manusia
atas manusia lainnya melainkan sesuatu yang memiliki muatan moral
“mulia”. Di balik kolonialisme ini terdapat kerangka berfikir
yang mendasarinya sekaligus memberikannya pembenaran. Jika terdapat
kontradiksi di lapangan antara prinsip-prinsip gagasan “mulia”
yang mendasari kolonialisme dengan pelaksanaannya maka kontradiksi
itupun masih bisa dijelaskan sekaligus dijustifikasi dalam kerangka
berfikir yang sama. Terlepas bagaimana penilaian kita terhadap
kolonialisme, kecanggihan kolonialisme bermain dalam tataran
pemikiran harus diakui sebagai sebuah kecerdikan yang mengagumkan.
Lebih mengagumkan lagi jika kerangka berfikir kaum kolonialis itu
dipertahankan dan dipelihara oleh anak-anak negeri jajahannya. Adakah
hal yang demikian terjadi hingga sekarang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar