NIM
: 12/339539/PSA/7316
Di banyak belahan dunia,
kolonialisme sudah menjadi masa lalu. Namun rupanya bagi sebagian
orang kolonialisme bukan sekadar cerita yang sudah berlalu melainkan
sesuatu yang masih meninggalkan jejaknya hingga sekarang, jejak yang
berisi kepahitan, perasaan tertindas, dan eksploitasi. Kehendak untuk
melepaskan diri dari warisan kolonialisme itulah yang
melatarbelakangi Linda Tuhiwei Smith –seorang wanita Maori,
penduduk asli Selandia Baru- menulis buku “Decolonizing
Methodology” (dalam edisi
bahasa Indonesianya berjudul “Dekolonisasi Metodologi”). Mengapa
dekolonisasi metodologi menjadi penting? Sesungguhnya dekolonisasi
metodologi adalah konsekuensi logis dari dekolonisasi politik yang
berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II. Adalah ironis jika
bangsa-bangsa yang baru merdeka ternyata masih menggantungkan
konstruksi pengetahuannya pada konstruksi bentukan kaum kolonialis.
Sangat wajar bila bangsa-bangsa yang baru merdeka itu ingin membangun
konstruksi pengetahuan yang didasarkan atas persepsi dan
pengalamannya sendiri tentang realitas terutama dalam kaitannya
dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam konteks ini kita perlu
memahami bagaimana kolonisasi itu beroperasi dalam pembentukan
pengetahuan dan mencari jalan untuk membentuk konstruksi pengetahuan
baru yang sedapat mungkin menjaga jarak dari warisan kolonialisme.
Perlu dicatat bahwa penulis buku ini sendiri bukan berasal dari
negara Dunia Ketiga melainkan dari negara yang tergolong sebagai
negara Dunia Pertama dan bagian dari Peradaban Barat hanya saja ia
berasal dari komunitas penduduk asli yang dimarjinalkan oleh penguasa
kulit putih sehingga dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan
bangsa-bangsa terjajah di koloni-koloni Eropa yang kini digolongkan
sebagai negera-negara Dunia Ketiga. Kelebihan dari posisi Smith
adalah karena ia hidup di sebuah negara Barat maka ia dapat memahami
persis bagaimana konstruksi pengetahuan kolonial (baca: Barat) itu
dikembangkan, dilembagakan, dan dipelihara dalam kehidupan
keseharian, suatu hal yang mungkin tidak begitu disadari oleh mereka
yang hidup di luar negara-negara Barat.
Dalam bab II dari buku
“Decolonizing
Methodology”, Smith
memaparkan bagaimana kerangka pemikiran Barat digunakan dalam
penelitian terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat yang kemudian
menghasilkan konstruksi tertentu mengenai masyarakat tersebut.
Konstruksi itu lalu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada
anggota masyarakat itu sendiri terutama lewat proses pendidikan yang
dijalankan lembaga pendidikan bentukan penguasa kolonial atau
agen-agennya –seperti misionaris. Sebelum berhadapan dengan
masyarakat-masyarakat di luarnya, orang Barat telah memiliki kerangka
pemikiran yang sedikit banyaknya sudah mapan sebagai hasil pengalaman
sejarahnya selama berabad-abad. Dalam perjalanan sejarahnya, Barat
telah mengalami sekian banyak perdebatan pemikiran yang menyurutkan
sebuah paradigma dan mengangkat paradigma lainnya akan tetapi bila
dilihat lebih dalam kesemua paradigma itu pada dasarnya mencerminkan
pandangan dunia Barat yang terbentuk dari pengalaman sejarahnya yang
panjang.
Smith mengidentifikasi
beberapa unsur pembentuk karakteristik pemikiran Barat yang pada
gilirannya memengaruhi pengkonstruksian mereka atas bangsa-bangsa
non-Barat. Unsur-unsur itu mencakup konsepsi tentang ras, gender,
individu, masyarakat, ruang, dan waktu. Konsepsi Barat tentang
hal-hal tersebut amat berpengaruh dalam membentuk persepsi mereka
atas bangsa-bangsa non-Barat –yang notabene memiliki budaya yang
seringkali berbeda jauh dengan orang Barat- yang lalu dibakukan dalam
sebuah konstruksi pengetahuan. Ironisnya konstruksi itu ditransfer
kembali kepada bangsa jajahan yang lalu mengadopsi konstruksi itu
menjadi milik mereka sendiri sehingga tanpa sadar mereka akhirnya
menggunakan kacamata orang lain untuk memahami dirinya sendiri. Salah
satu contoh klasik konstruksi pengetahuan orang Barat atas orang
pribumi adalah anggapan bahwa orang pribumi itu malas. Timbulnya
persepsi semacam itu sebenarnya adalah akibat dari perbedaan budaya
antara orang Barat dan masyarakat pribumi yang dalam hal ini ada
perbedaan dalam pengalaman kehidupan orang Barat dengan orang pribumi
yang membuat mereka memahami dan menghayati fenomena waktu dengan
cara yang berbeda.
Secara garis besar, buku
karya Linda Tuhiwei Smith ini memberi keinsafan kepada kita tentang
bagaimana konstruksi pengetahuan Barat tentang bangsa-bangsa di
luarnya terbentuk yang kerapkali tidak dapat dilepaskan dari
motif-motif eksploitatif kolonial di masa lalu serta
prasangka-prasangka negatif. Konstruksi pengetahuan yang tanpa sadar
mendikte bangsa-bangsa non-Barat untuk berfikir, bersikap, dan
bertindak sesuai apa yang dipersepsikan Barat tentang mereka
sementara bangsa-bangsa Barat itu sesungguhnya memiliki persepsinya
sendiri yang sangat bisa jadi berbeda dari persepsi Barat. Akan
tetapi di sisi lain kita pun perlu berhati-hati agar wacana
dekolonisasi metodologi yang ditawarkan Smith ini tidak menjadi
justifikasi bagi balas dendam atau sikap kebencian membabi buta
terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Dendam dan kebencian hanya
membawa kita pada sikap dan perilaku yang serupa dengan sikap serta
perilaku orang-orang yang kita benci. Dengan kata lain dendam dan
kebencian hanya akan melahirkan lingkaran permusuhan yang tiada
habisnya.
Satu hal yang perlu
diingat yaitu bahwa hingga kini Barat dengan segala kekurangan dan
kelemahannya masih menjadi pemegang hegemoni dunia. Suka tidak suka,
negara-negara bekas jajahan Barat sedikit banyak masih bergantung
kepada negara-negara Barat. Harus diakui sampai saat ini peradaban
Barat masih menjadi peradaban paling maju di muka bumi –terlepas
bahwa maju itu tidak selalu identik dengan sesuatu yang lebih baik.
Dalam perjalanan sejarah umat manusia kita bisa melihat bahwa
bangsa-bangsa dengan tingkat peradaban yang sederhana cenderung
mengikuti bangsa yang lebih maju tingkat peradabannya. Oleh karena
itu jika hari ini banyak bangsa non-Barat mengikuti jejak langkah
Barat itu adalah hal yang wajar belaka terlebih untuk kasus
bangsa-bangsa yang ketika didatangi kaum kolonialis Eropa
kebudayaannya masih ada dalam taraf yang sangat sederhana seperti
orang Aborigin, orang Maori, dan penduduk asli kepulauan Pasifik
lainnya. Bagi bangsa-bangsa terjajah yang tertinggal taraf
kebudayaannya dari Barat wacana dekolonisasi metodologi hendaknya
tidak dipandang sebagai alat balas dendam ataupun mengalahkan
hegemoni Barat yang kenyataannya masih sulit ditandingi tetapi lebih
sebagai sarana mendefinisikan diri kembali menurut kerangka berfikir
bangsa itu sendiri agar bisa berdiri tegak dengan penuh harga diri di
hadapan bangsa-bangsa lain khususnya di hadapan Barat. Itulah pilihan
sikap yang paling realistis dalam konstelasi global dewasa ini yang
di situ batas-batas antar bangsa dan negara semakin lebur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar