NIM
: 12/339539/PSA/7316
Penulisan sejarah dewasa
ini mengalami perkembangan yang semakin pesat. Jika seabad lalu
penulisan sejarah masih berbicara tentang peristiwa politik dan
orang-orang besar maka kini kecenderungan penulisan sejarah semakin
bergeser ke arah sejarah sosial. Dalam pengertiannya yang luas,
sejarah sosial bisa diartikan sebagai sejarah total yaitu sejarah
yang mencoba merangkum dan menjelaskan proses sejarah ditinjau dari
berbagai aspek kehidupan manusia. Sejarah sosial bisa pula berarti
sejarah kehidupan sehari-hari (daily
life history) yang meskipun
terkesan remeh namun jika dilihat dengan perspektif yang lebih luas
membentuk suatu pola yang membangun bagian tak terpisahkan dari
kehidupan komunitas manusia beserta segala relasinya dengan pelbagai
aspek kehidupan. Sejarah sosial juga dapat dipahami sejarah dari
bawah (history from below),
sejarah orang-orang kecil, atau sejarah orang-orang yang
ter(di)singkirkan dalam narasi besar sejarah resmi.
Perbincangan mengenai
sejarah sosial itulah yang mengemuka dalam kuliah umum tentang
historiografi di Ruang Multimedia Gedung Margono Djojohadikusumo FIB
UGM tanggal 20 Desember 2012 lalu. Dua orang pembicara, masing-masing
Guo Quan Seng, sejarawan Singapura yang sedang menempuh studi
doktoral di University of Chicago, dan Michael G. Vann, dosen tamu di
Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM asal University of California AS,
memaparkan apa yang mereka pahami tentang sejarah sosial dengan
berangkat dari pengalaman mereka masing-masing dalam melakukan
penelitian sejarah. Guo bercerita tentang pengalamannya meneliti
kehidupan seorang tokoh serikat buruh yang perannya dimarjinalkan
dalam sejarah resmi Singapura. Sedangkan Vann menceritakan
pengalamannya meneliti tentang kehidupan kaum kolonis Perancis di
kota Hanoi Vietnam pada akhir abad ke19-awal abad ke-20.
Dari kedua pembicara
tersebut, saya ingin lebih menyoroti apa yang dikemukakan Vann. Lewat
presentasi yang kerap diselipi humor segar Vann berbagi pengalamannya
yang menarik ketika melakukan penelitian. Berawal dari kejenuhan
sewaktu menelusuri arsip-arsip resmi dan peta kota masa kolonial Vann
mencari inspirasi dengan membaca beberapa buku sejarah sosial Eropa
yang lalu memberinya ide untuk menulis suatu sejarah yang “berbeda”.
Ia pun kembali menelusuri arsip-arsip kolonial dan lewat
pengamatannya yang jeli Vann menemukan suatu fakta menarik mengenai
peningkatan populasi tikus (sic.!) di kota Hanoi pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Penemuan ini mengantarkannya pada studi
tentang wabah pes yang melanda kota kolonial Hanoi pada periode
tersebut. Wabah pes jelas bukan suatu tema penulisan sejarah yang
diminati para sejarawan konvensional yang lebih tertarik membahas
masalah politik. Akan tetapi di balik suatu peristiwa yang dipandang
sebelah mata semacam itu Vann mampu mengungkap bagaimana wabah pes
itu berjalin-berkelindan dengan kebijakan kolonial dan persepsi
kolonial yang rasis serta bagaimana masyarakat terjajah –yang kerap
dianggap bodoh oleh pihak kolonialis- menyiasati sebuah epidemi untuk
meraih keuntungan yang dapat pula ditafsirkan sebagai bentuk
perlawanan diam-diam kepada kekuasaan kolonial. Dalam bagian lain
dari kuliah umumnya Vann juga mengungkap bagaimana ideologi
kolonialisme, rasisme, dan orientalisme beroperasi lewat analisisnya
atas berbagai hal yang sering luput dari pengamatan kebanyakan orang
seperti ruang kota, karikatur, hingga kartu pos.
Apa yang dipaparkan Vann
sejatinya adalah sebuah tawaran mengenai penulisan sejarah sosial
yang mencoba melihat sejarah dengan cara yang lain. Tawaran Vann itu
seolah hendak mendobrak kredo “tiada sejarah tanpa dokumen” (no
documents no history) yang
sadar atau tidak masih dianut banyak sejarawan, khususnya di
Indonesia. Vann membuktikan bahwa hal-hal yang sering diabaikan
karena sudah menjadi bagian yang kelewat biasa dari kehidupan
sehari-hari sekalipun dapat menjadi sumber sejarah yang berharga. Di
Indonesia penulisan sejarah semacam itu perlahan-lahan sudah mulai
berkembang meskipun mungkin belum menjadi arus utama dalam
historiografi Indonesia. Generasi sejarawan baru Indonesia dewasa ini
sudah mulai berani menulis tema-tema non-konvensional di luar arus
besar sejarah politik dan ekonomi yang masih mendominasi penulisan
sejarah di Indonesia, suatu hal yang 3 dasawarsa lalu masih belum
terbayangkan.
Jikalau ada kritik atas
tawaran Vann maka itu lebih pada pertanyaan realistiskah bila
pendekatan yang ia gunakan itu segera diaplikasikan di Indonesia?
Sudah mampukah para sejarawan Indonesia menulis sejarah
non-konvensional yang berkualitas? Perlu digarisbawahi bahwa
penulisan sejarah bukan semata soal mengumpulkan data dan
merangkaikannya secara kronologis hingga menjadi sebuah cerita. Nilai
atau kualitas sebuah historiografi ditentukan oleh seberapa mampu
historiografi itu memberikan eksplanasi atas realitas masa lalu yang
pada gilirannya akan relevan pula bagi kita yang hidup di masa kini.
Sekadar menulis sejarah (baca: kronik) dengan tema-tema yang tidak
lazim adalah hal yang relatif mudah, yang sulit adalah bagaimana agar
karya sejarah itu memiliki kekuatan eksplanasi yang memadai. Tanpa
itu maka sejarah hanya akan menjadi antikuarian. Bisa dibayangkan,
jika sejarah dengan tema-tema besar seperti politik atau ekonomi saja
bisa terjebak menjadi antikuarian bila tidak memiliki kekuatan
eksplanasi memadai yang berakibat pula pada ketiadaan relevansi karya
tersebut bagi masa kini apatah lagi sejarah yang mengangkat tema
menyangkut hal-hal 'remeh-temeh' di masa lalu. Kekuatan eksplanasi
sebuah historiografi pada dasarnya berpangkal pada penguasaan
metodologi atau kerangka berpikir pada diri seorang sejarawan. Tanpa
penguasaan metodologi maka akan sangat mudah bagi seorang sejarawan
menulis sebuah historiografi antikuarian yang tidak banyak gunanya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, apatah lagi untuk hal-hal yang
lebih praktis sifatnya. Maka dari itu sebelum berbicara mengenai
penulisan sejarah non-konvensional ada baiknya kualitas para
sejarawan dari segi penguasaan metodologi diperbaiki terlebih dahulu.
Jika tidak demikian maka jangan salahkan bila sejarah terus dipandang
sebagai ilmu tentang tahun-tahun dan tanggal-tanggal yang tidak ada
relevansinya dalam kehidupan nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar