Nama :
Irwan
NIM :
12/339246/PSA/7258
Conjectural
Histories
bisa kita artikan sebagai perkiraan atau terkaan, menurut saya yang dimaksud oleh
Quilty dengan “Conjectural Histories”
di sini adalah historiografi yang kontennya tidak dianalisa secara mendalam
sehingga berisi prasangka-prasangka subjektif bahkan tendensius terhadap objek
yang dikaji. Ini bisa kita lihat pada tulisan Raffles dalam “History of Java” yang memandang
masyarakat Jawa sebagai ras kedua dan masyarakat kolot. Kata Conjectural dalam tulisan Quilty ini
juga bisa kita artikan sebagai prejudice,
yaitu prasangka-prasangka yang ditabalkan berbeda dengan realitas sebenarnya
atau bisa juga dimaknai sebagai membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang
relevan mengenai objek tersebut (Wikipedia). Dalam tulisan ini, Quilty
mengambil contoh 5 orang penulis Inggris yaitu; William
Marsden (History of Sumatra, 1783), Michael Symes (Journal of an Embassy to the
Kingdom of Ava, 1795), Thomas Stamford Raffles (History of Java, 1817), John
Crawfurd (History of Indian Archipelago, 1820), John Anderson (Mission to the
East Coast of Sumatra, 1826).
Prasangka lazim dijadikan alat oleh
orang-orang luar (penulis barat) dalam menulis tentang masyarakat dan wilayah pribumi.
Pengetahuan dangkal tentang masyarakat pribumi serta kerangka berpikir yang berbeda
membuat para penulis Barat tidak bisa menggambarkan masyarakat pribumi
seutuhnya seperti realitas sebenarnya. Penafsiran dangkal dihasilkan atas dasar
cara pandang dan latar belakang budaya luar dan dihasilkan dari komunikasi para
penulis barat dengan pihak-pihak lain bukan dari sumbernya langsung, mengakibatkan
interpretasi yang mungkin salah karena didasarkan atas fakta yang keliru atau
tanpa dasar fakta. Meskipun
sama-sama menggunakan pisau prasangka, kita dapat membedakan karakter tulisan
yang ditulis oleh orang Inggris dan Belanda dalam historiografi di Indonesia.
Perbedaan penulisan antara penulis
Inggris dan Belanda dapat kita pada pada motivasi dan metodelogi yang
digunakan. Terhadap penulisan historiografi Indonesia, orang Belanda dan Inggris
sama-sama melakukannya untuk melegitamasi kekuasaan mereka atas wilayah
nusantara. Tulisan-tulisan tersebut dijadikan
sebagai bahan laporan pada pemerintah kolonial, sebagai bahan evaluasi
menentukan kebijakan pada daerah kolonial. Namun penulis Inggris lebih dahulu menggunakan
metode antropologis yang ilmiah dalam mengurai kehidupan masyarakat lokal.
Penulisan tentang wilayah dan masyarakat lokal yang antropologis ini juga
dimotivasi oleh sistem kolonialisme Inggris yang cenderung lebih memanusiakan
rakyat jajahan dibandingkan dengan penjajah barat lainnya seperti Belanda.
Untuk memanusiakan rakyat jajahan, maka diperlukan studi mendalam terhadap
mereka, etnik maupun budayanya.
Meski memiliki keterbatasan dalam
penyajian narasinya, para penulis Inggris tersebut harus diakui telah mampu menggambarkan
kehidupan di nasantara secara konfrehensif dan tulisan-tulisan mereka ini
kemudian menjadi pijakan bagi penulis lainnya dalam menguraikan kehidupan
masyarakat di Nusantara ini. Kacamata kolonial yang tetap digunakan dalam
penulisan tentang nusantara tidak membuat Inggris bisa disamakan dengan
penulis-penulis Belanda lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar