Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Conjectural Histories Karya Mary Quilty dalam Textual Empires


Nama   : Irwan
NIM    : 12/339246/PSA/7258

Conjectural Histories bisa kita artikan sebagai perkiraan atau terkaan, menurut saya yang dimaksud oleh Quilty dengan “Conjectural Histories” di sini adalah historiografi yang kontennya tidak dianalisa secara mendalam sehingga berisi prasangka-prasangka subjektif bahkan tendensius terhadap objek yang dikaji. Ini bisa kita lihat pada tulisan Raffles dalam “History of Java” yang memandang masyarakat Jawa sebagai ras kedua dan masyarakat kolot. Kata Conjectural dalam tulisan Quilty ini juga bisa kita artikan sebagai prejudice, yaitu prasangka-prasangka yang ditabalkan berbeda dengan realitas sebenarnya atau bisa juga dimaknai sebagai membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut (Wikipedia). Dalam tulisan ini, Quilty mengambil contoh 5 orang penulis Inggris yaitu; William Marsden (History of Sumatra, 1783), Michael Symes (Journal of an Embassy to the Kingdom of Ava, 1795), Thomas Stamford Raffles (History of Java, 1817), John Crawfurd (History of Indian Archipelago, 1820), John Anderson (Mission to the East Coast of Sumatra, 1826). 

Prasangka lazim dijadikan alat oleh orang-orang luar (penulis barat) dalam menulis tentang masyarakat dan wilayah pribumi. Pengetahuan dangkal tentang masyarakat pribumi serta kerangka berpikir yang berbeda membuat para penulis Barat tidak bisa menggambarkan masyarakat pribumi seutuhnya seperti realitas sebenarnya. Penafsiran dangkal dihasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya luar dan dihasilkan dari komunikasi para penulis barat dengan pihak-pihak lain bukan dari sumbernya langsung, mengakibatkan interpretasi yang mungkin salah karena didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar  fakta. Meskipun sama-sama menggunakan pisau prasangka, kita dapat membedakan karakter tulisan yang ditulis oleh orang Inggris dan Belanda dalam historiografi di Indonesia.

Perbedaan penulisan antara penulis Inggris dan Belanda dapat kita pada pada motivasi dan metodelogi yang digunakan. Terhadap penulisan historiografi Indonesia, orang Belanda dan Inggris sama-sama melakukannya untuk melegitamasi kekuasaan mereka atas wilayah nusantara. Tulisan-tulisan tersebut dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kolonial, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial. Namun  penulis Inggris lebih dahulu menggunakan metode antropologis yang ilmiah dalam mengurai kehidupan masyarakat lokal. Penulisan tentang wilayah dan masyarakat lokal yang antropologis ini juga dimotivasi oleh sistem kolonialisme Inggris yang cenderung lebih memanusiakan rakyat jajahan dibandingkan dengan penjajah barat lainnya seperti Belanda. Untuk memanusiakan rakyat jajahan, maka diperlukan studi mendalam terhadap mereka, etnik maupun budayanya.

Meski memiliki keterbatasan dalam penyajian narasinya, para penulis Inggris tersebut harus diakui telah mampu menggambarkan kehidupan di nasantara secara konfrehensif dan tulisan-tulisan mereka ini kemudian menjadi pijakan bagi penulis lainnya dalam menguraikan kehidupan masyarakat di Nusantara ini. Kacamata kolonial yang tetap digunakan dalam penulisan tentang nusantara tidak membuat Inggris bisa disamakan dengan penulis-penulis Belanda lainnya.






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar