NIM
: 12/339539/PSA/7316
Indonesia
sebagai sebuah negara-bangsa baru berdiri tahun 1945. Sebelum itu
tidak ada entitas politik bernama Indonesia, yang ada adalah Hindia
Belanda. Jika kita menengok sejarah terbentuknya Indonesia sebagai
sebuah kesatuan wilayah maka hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari
peran pemerintah kolonial Belanda. Belanda-lah yang mempersatukan
pelbagai wilayah di Nusantara ke dalam satu administrasi kolonial
yang dinamakan Hindia Belanda yang lalu berubah nama menjadi
Indonesia. Indonesia terdiri dari banyak daerah dengan latar belakang
budaya dan sejarah yang berbeda satu sama lain. Oleh karena besarnya
perbedaan antar daerah di Nusantara sulit dibayangkan jika
daerah-daerah itu dapat bersatu menjadi sebuah entitas politik bila
bukan karena dipersatukan secara politik oleh Belanda. Dengan
demikian sulit dihindari kesan bahwa sesungguhnya Indonesia hanyalah
kelanjutan dari negara kolonial Hindia Belanda.
Akan tetapi
benarkah terbentuknya Indonesia hanya sesederhana itu? Apakah sebelum
bercokolnya hegemoni kolonial Belanda daerah-daerah di kepulauan ini
benar-benar terpisah dan tidak berinteraksi satu sama lain? Dua orang
sejarawan terkemuka, Sartono Kartodirdjo dan M.C. Ricklefs
berpendapat lain. Menurut keduanya meskipun peran Belanda dalam
‘mempersatukan’ Nusantara tidak dapat dinafikan akan tetapi
realitas sejarah bahwa berbagai daerah dan komunitas suku bangsa di
Nusantara telah saling berinteraksi sejak sebelum berkuasanya
kolonialisme Belanda juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Proses
interaksi ini menghasilkan terjalinnya berbagai bentuk ikatan antar
daerah dan antar etnis di Nusantara sebelum bercokolnya kolonialisme
Belanda. Bagaimana proses interaksi tersebut berlangsung, itulah yang
dibahas Sartono dalam bukunya “Dari Emporium ke Imperium” dan
Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern”.
Baik
Sartono maupun Ricklefs sama-sama menunjukkan perhatian terhadap
proses terjalinnya hubungan antar entitas yang ada di Nusantara
sebelum kolonialisme yang dalam sudut pandang tertentu bisa dilihat
sebagai awal terbentuknya Indonesia. Hal yang membedakan keduanya
adalah jika Sartono amat memerhatikan struktur sebagai latar belakang
dari proses sejarah maka Ricklefs lebih memerhatikan proses itu
sendiri. Di sini terlihat perbedaan pendekatan yang dipakai keduanya.
Sartono menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam studi sejarah
sedangkan Ricklefs menggunakan pendekatan yang lebih bersifat
deskriptif-naratif meskipun bukan berarti tanpa analisis sama sekali.
Dalam bukunya yang menguraikan sejarah Indonesia sejak tahun 1300
tampak betul bahwa Ricklefs menekankan kekuatan kronologi. Tanpa
perlu bersusah payah meminjam kerangka teoretis dari ilmu sosial
Ricklefs menggunakan sejarah itu sendiri untuk menjelaskan perubahan
maupun kesinambungan dalam sejarah Indonesia. Berbeda dengan
Ricklefs, Sartono berusaha menjelaskan perubahan dan kesinambungan
itu dengan bantuan ilmu sosial. Selain soal pendekatan, hal lain yang
membedakan keduanya adalah sementara Sartono sebagai seorang
sejarawan Indonesia merasa ‘berkewajiban’ menuliskan sejarah
negerinya dalam kerangka mendukung integrasi nasional maka Ricklefs
sebagai sejarawan asing tidak terbebani dengan hal tersebut. Harus
diakui bahwa tanpa beban misi ideologis tertentu seorang sejarawan
dapat lebih bebas menulis sejarah secara apa adanya sesuai fakta yang
ia temukan dan oleh karenanya lebih mendekati obyektivitas.
Baik karya
Sartono maupun Ricklefs sesungguhnya adalah tonggak penting dalam
historiografi Indonesia. Sartono memelopori penggunaan pendekatan
ilmu sosial dalam studi sejarah Indonesia sedangkan Ricklefs mewakili
generasi baru sejarawan Barat yang berusaha memahami sejarah
Indonesia lewat kacamata orang Indonesia sendiri sebagaimana terlihat
dari penggunaan sumber-sumber pribumi di samping sumber-sumber Eropa
dalam karyanya. Pendekatan ilmu sosial yang dilakukan Sartono adalah
sebuah terobosan pada masanya yang menghadirkan nuansa baru pada
paradigma Indonesia-sentrisme bahwa Indonesia-sentrisme bukan sekadar
pembalikan peran bagi orang Indonesia dari pemberontak menjadi
pahlawan. Segera setelah Sartono memperkenalkan pendekatannya,
pendekatan ini digunakan pula oleh banyak sejarawan Indonesia
lainnya. Namun demikian satu konsekuensi yang perlu dicatat dari
digunakannya pendekatan ilmu sosial dalam studi sejarah adalah
timbulnya kesan –atau semakin kuatnya kesan- bahwa sejarah tidak
mempunyai teori dan metodologinya sendiri sehingga harus meminjam
teori dan metodologi dari disiplin ilmu lain. Disadari atau tidak
pendekatan ilmu sosial ini seolah menutup pintu bagi ilmu sejarah
untuk mengembangkan teori dan metodologinya sendiri. Celakanya para
sejarawan Indonesia pasca-Sartono juga sepertinya tidak mampu
mengembangkan pendekatan ilmu sosial ini lebih lanjut kecuali sekadar
mengulangi apa yang dilakukan Sartono saja atau bahkan tidak bisa
mengaplikasikan teori dan metodologi ilmu sosial itu dalam studi
sejarah sehingga keduanya hanya menjadi pajangan belaka dalam sebuah
historiografi.
Sementara
itu karya Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern” seolah menunjukkan
kembalinya pendekatan deskriptif-naratif dalam sejarah. Kelebihan
dari pendekatan ini adalah mampu mengungkap akar dan proses historis
dari sebuah struktur yang mungkin bertahan hingga sekarang. Lewat
pengungkapan itu kita bisa menyadari bahwa struktur itu bukanlah
sesuatu yang tetap alias tidak berubah sepanjang masa melainkan
sebaliknya terus menerus berubah. Pemahaman akan perubahan tersebut
dapat memberikan kita arah untuk melakukan antisipasi jikalau
perubahan itu terjadi atau bila perlu bagaimana mengubah struktur itu
sendiri. Sekalipun demikian, pemahaman atas proses semata juga dapat
membuat kita lupa bahwa proses itu pun tidak bisa lepas sepenuhnya
dari struktur. Artinya sebuah proses, baik itu perubahan ataupun
kesinambungan hanya akan terjadi bila struktur atau kondisi struktur
yang ada memungkinkan atau memberi peluang bagi proses itu. Sebagai
contoh, sebuah revolusi untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa
hanya akan terjadi bila pemerintahan tersebut sudah lemah dan tidak
lagi memiliki wibawa di hadapan rakyatnya. Sebaliknya jika
pemerintahan itu masih kuat dan berwibawa maka peluang revolusi akan
tertutup atau setidaknya kecil akan berhasil. Hal-hal semacam inilah
yang bisa dijelaskan oleh pendekatan ilmu sosial. Pendekatan
deskriptif-naratif mungkin bisa menjelaskan proses dalam rentang
waktu yang panjang akan tetapi untuk menjelaskan proses yang terjadi
dalam peristiwa dengan rentang waktu yang pendek mungkin pendekatan
ini kurang begitu berguna.
Pada
akhirnya baik pendekatan ilmu sosial maupun deskriptif-naratif
mempunyai kegunaannya masing-masing dan dapat menjawab permasalahan
sejarah bila digunakan dalam kasus yang tepat. Adalah tugas para
sejarawan untuk memilah dan memilih kapan serta dalam kasus apa salah
satu dari kedua pendekatan itu digunakan atau digunakan secara
bersamaan sehingga dapat melengkapi satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar