NIM
: 12/339539/PSA/7316
Lebih dari 50 tahun setelah
dilangsungkannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia I sudah banyak
karya penulisan sejarah yang dihasilkan sejarawan Indonesia. Akan
tetapi rupanya peningkatan dalam kuantitas tidak selalu berarti
peningkatan dari segi kualitas, setidaknya begitulah menurut sebagian
sejarawan yang mengamati historiografi Indonesia. Hal itulah yang
tampaknya melatarbelakangi ditulisnya buku “Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia” yang dieditori 3 orang sejarawan ini
-2 dari Indonesia dan 1 dari Belanda-ini. Sesuai dengan judulnya,
buku berisi kumpulan tulisan ini mencoba menawarkan perspektif baru
dalam penulisan sejarah Indonesia, salah satunya lewat eksplorasi
berbagai tema dan ruang lingkup kajian sejarah.
Salah satu tema yang diangkat
dalam buku ini adalah tentang biografi. Dalam buku ini yang dibahas
bukanlah soal bagaimana menulis biografi itu sendiri melainkan telaah
atas karya-karya biografi yang sudah pernah ditulis di Indonesia
dalam kurun waktu Orde Baru (1966-1998). Melalui gaya bahasa yang
agak sarkastis dan menggelitik, Gerry van Klinken dalam bab 6 ini
menguraikan hasil kajiannya mengenai buku-buku biografi dari era Orde
Baru dan mengungkapkan sejumlah hal menarik dari biografi yang lahir
pada masa itu.
Adalah hal yang tampak anomali
bahwa di sebuah negeri yang budayanya cenderung mengajarkan sikap
tidak suka menonjolkan diri buku-buku biografi yang hadir justru
terkesan mengagungkan sosok yang diangkat dalam biografi itu. Van
Klinken mengemukakan adanya ciri yang berbeda dari biografi yang
dikenal di Barat dengan biografi di Indonesia. Jika biografi di Barat
menjadikan kehidupan batin sebagai pokok dari sebuah biografi maka
biografi ala Indonesia justru menempatkan kehidupan batin sebagai
sesuatu yang sebisa mungkin harus dikesampingkan dalam biografi.
Pengalaman-pengalaman pribadi dan emosi adalah hal yang jarang
ditampilkan dalam biografi-biografi di Indonesia, khususnya pada era
Orde Baru. Biografi pada masa ini terutama pada puncak kekuasaan Orde
Baru dalam dekade 1970-an-1980-an menampilkan sosok-sosok “besar”
–para pejabat dan politisi, lebih spesifik lagi, dari kalangan
militer- yang digambarkan sebagai orang yang berwibawa, penuh
dedikasi, loyalitas, dan berbagai sifat mulia lainnya. Semua
penggambaran tersebut selalu dikaitkan dengan posisi sentral negara
,dan dalam batas tertentu rezim bahkan Soeharto sebagai presiden,
sebagai obyek dedikasi dan loyalitas. Terkait kesan penonjolan diri
yang amat kuat dalam biografi tokoh politik era Orde Baru van Linken
mengaitkan hal ini dengan budaya Jawa yang memang dominan dalam
budaya politik Orde Baru yaitu bahwa apa yang terkesan penonjolan
diri itu sejatinya bukanlah penonjolan atas “diri” sang tokoh itu
sendiri melainkan penonjolan atas sosok yang telah mampu melepaskan
“kediriannya” dan menjadi sosok tidak lagi memiliki pamrih
sehingga mampu berbuat banyak jasa kepada negara.
Tentu saja model biografi
seperti di atas bukanlah satu-satunya corak biografi Indonesia pada
era Orde Baru. Memasuki dasawarsa 1990-an biografi Indonesia mulai
tampil dalam wajah yang lebih beragam. Para pejabat, politisi, dan
purnawirawan tetap mendapat tempat yang luas dalam buku-buku biografi
yang terbit pada dekade itu tetapi sosok-sosok lain seperti
selebritis pun diangkat kisah kehidupannya. Berbeda dengan
figur-figur politik, tokoh-tokoh dari dunia non-politik ditampilkan
dalam sebuah ruang yang boleh dibilang ‘hampa politik’ dalam arti
tidak dibebani dengan keharusan menampilkan sosok yang bersangkutan
sebagai seorang yang berjasa kepada “bangsa dan negara”. Selain
itu masih ada pula biografi dari tokoh-tokoh yang pernah menjadi
bagian dari kaum elit namun kemudian tersingkir –atau disingkirkan-
yang mengungkapkan kritikan-kritikannya baik terhadap kondisi sosial
negara maupun terhadap penguasa. Biografi-biografi jenis ini cukup
berguna untuk memandang suatu peristiwa politik ataupun figur
politik tertentu dari sudut pandang yang berbeda.
Secara garis besar bab “Aku
Yang Berjuang” ini bermanfaat jika ditinjau dari dua hal: pertama
sebagai sebuah model atau lebih tepatnya pembuka jalan dari kajian
sejarah mentalitas dan kedua untuk memahami biografi itu sendiri
sebagai salah satu hal yang bisa menjadi obyek kajian sejarah.
Sejarah mentalitas termasuk salah satu jenis sejarah yang belum
banyak diangkat di Indonesia padahal bahan-bahan bagi penulisan
sejarah mentalitas sesungguhnya amat berlimpah. Biografi jika dikaji
secara kritis dapat memberikan kita gambaran tentang perkembangan
karakter dari sesosok individu yang kemudian tentu saja memengaruhi
–bahkan menentukan- sikap atau keputusan yang ia ambil yang pada
gilirannya ikut berpengaruh bagi jalannya sejarah. Sementara itu
otobiografi bisa memberikan kita pemahaman mengenai bagaimana
seseorang, sebuah segmen masyarakat, atau suatu kelas sosial tertentu
mengkonstruksi pandangan tertentu mengenai dirinya sendiri. Untuk
menghasilkan sebuah karya tentang sejarah mentalitas pendekatan
analisis wacana kritis dan psikologi dapat digunakan.
Adapun tentang biografi, dari
bab ini tampak bahwa penulisan biografi sebagaimana pelbagai teks
lainnnya tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya,
termasuk konteks sosial dan historisnya. Biografi ala pejabat Orde
Baru yang selalu menitikberatkan jasa sang tokoh lepada negara
misalnya, terkait erat dengan narasi besar Orde Baru yang menempatkan
negara –atau lebih tepatnya rezim dan pemimpin rezim itu sendiri-
secara sakral. Jika ditelisik lebih jauh lagi maka ini ada
hubungannya dengan menguatnya elemen fasis dari ideologi negara pada
masa Orde Baru. Sementara itu “demokratisasi biografi” pada
1990-an juga tidak bisa dilepaskan dari melemahnya kekuasaan negara
Orde Baru ketika itu. Akhirnya, penulisan sejarah biografi di
Indonesia dapat menjadi suatu langkah yang bagus untuk memahami apa
yang bertahan dan berubah dalam mentalitas masyarakat Indonesia dari
zaman ke zaman.
makasih pak :*
BalasHapus