Nama : Latif Kusairi
NIM : 12/340076/PSA/07391
Dalam teori ini kita bisa melihat bahwa bagaimana
hegemoni barat atas ilmu yang ada dengan komparasi ilmu sosial yang cukup
tinggi. Mereka seolah merupakan sebuah instrumental yang hanya mengedepankan
pikiran yang akan menjadikan energi untuk bangsa timur yang mana terus menyusui sehingga timur tidak bisa lepas
darinya.
”Kembali ke masa lalu
orang-orang yang tertindas, lantas mendistorsi, meremehkan, dan
menghancurkannya..... efek yang secara sadar dikehendaki oleh kolonialisme
adalah menyetir gagasan dalam kepala (masyarakat ) ulayat bahwa jika para
penjajah diminta pergi, maka rakyat jajahan akan jatuh kembali ke barbarisme,
degradasi, dan sifat kebinatangan” (Fanon, !968: 210-11)
Bagian penggalan kalimat
peryataan dari Fanon yang cukup kontroversial, etnosentris, dan terlalu membela
barat. Pada pernyataan ini, saya melihat bahwa ada semacam jawaban tulisan dari
Linda Tuhiwai Smith (saya sebutkan Linda,tulisan yang dibahas minggu lalu)
yaitu Buku Dekolonisasi Metodologi yang beranggapan bahwa barat sangat
arogan untuk selalu menyusupkan idenya untuk timur, padahal Linda tahu bahwa
ada sebuah kekayaan dari timur dengan metodologinya yang khas dan berkembang.
Seolah baratlah yang bisa mengambil peran dari itu semua untuk meyakinkan bahwa
barat merupakan peradapan tertinggi dan
harus di ikuti oleh timur. Ketika Linda mulai mendobrak akan barat, kata Fanon (peryantaan diatas) yang kemudian
dipakai untuk menjawab hegemoni barat atas timur.
Padahal dibalik itu semua ada
semacam barat lagi-lagi dihujat. Misalnya dalam metaanalisis harus ada tela’ah
teori dan konsep serta metode yang dalam bidang ilmu. Ini untuk menyusun unsur
karya ilmiah yang berkembang dalam disiplin tersebut. Yang harus terfokus pada
ilmu sosial. Padahal ilmu , metode
barat tidak serta merta menjadikannya bisa
diterapkan di tempat lain. Bahwa teori semacam itu berada di pinggiran teori
barat yang menurut Ritzer sangat kontras dengan teori barat. Oleh karenanya
diterapkan teori internal-ekternal, kognitif-institusional. Pada teori ini
mirip dengan pola teori barat tentang orientalisme, pstkolonialisme, dan
diskusi tentang gagasan kemajuan barat sama seperti halnya itu.
Pada tahap orientalisme, Edwar
Said menggambarkan bahwa kebijakan timur (Asia) banyak berpengaruh dengan kondisi
Barat. Seolah pada masa itu timur hanya semacam benda mati yang bisa
dibolak-balik oleh kebijakan barat. Pada fase itu barat dikatakan lebih unggul
dari timur sehingga kebijakan timur adalah selalu bertumpu pada barat. Dapat
dicontohkan bagaimana sejarah Arab harus digunakan teori Marxis. Padahal
konteks geografis sejarah Arab sangat berbeda dengan apa yang di omongkan oleh
Marx. Inilah yang mengakibatkan adanya semacam euforia barat atas
kebijakan itu. Padahal Arab sendiri punya
ahli pikir semacam Ibn Khaldun yang lebih baik dalam mempertanyakan dan
menjawab sejarah Arab. Maka yang terjadi
sejarah Arab baik buruknya selalu dilihat dari kacamata barat.
Eurosentrisme, sangat ego
sekali, bahkan ada semacam ’bahasa Kesombongan” yang diperlihatkan. Bahwa
seolah kebijakan, konstruksi dunia harus di labelkan dengan budaya barat.
Sehingga semua dalam melihat kemajuan selalu tolak ukurnya adalah barat. Dalam
konteks lain bahwa ilmu yang tidak berpijak pada teori dan metodologi barat
seolah tidak ilmiah lagi dan cenderung mengaburkan keilmuannya. Misalnya apa
yang dipaparkan dengan melihat bahwa bangsa Aria sempalan dari Islam, itu
dianggap pengacau ke ilmuan karena tanpa data yang jelas dan cenderung
metaanalisis. Lain dengan Islam ditinjau dengan Marxis justru dianggap bagus.
Inilah jiwa hegemoni barat atas teorisasi dalam keilmuan di dunia timur. Kita
bisa melihat dimana letak pemikir dari dunia timur, Ibn Khaldun, Al Ghozali,
Arkoun, atau pemikir modern sekarang seperti Hasan Hanafi bisa saja menerapkan
ilmunya untuk melihat dinamika perubahan pada revolusi Industri di Inggris,
tetapi lagi-lagi ke ilmuan timur seolah sudah mati dan hanya dengan baratlah
semua fenomena ilmu bisa dilihat.
Kritisisme Post kolonial itu
juga berkesinambungan bahwa dunia timur yang di identikkan dengan dunia ketiga
harus dikontrol dengan pendekatan kolonialisasi modern, tidak hanya dengan ilmu
pengetauhan. Ada semacam normalisasi dan
kontrol diplisiner atas semua yang dilakukan timur dengan pola kebijakan dari
barat. Inilah pos kolonial yang bisa membelenggu, baik dalam pembangunan,
pengetauhan maupun budaya.
Dalam bidang pengetauhan kita
lagi-lagi harus menggunakan pemikir barat. Kita tidak pernah memggunakan
pikiran, Muhammad Arkoun, Jose Rizal, Mahatma Gandhi dll, yang seolah mereka
hanya numpang lewat saja dalam perkembangan sejarah timur. Padahal bila
ditela.ah banyak karya dari mereka yang bisa di jadikan teori bagi keilmuan,
tidak hanya meggunakan Marx, Durkheim, Nietzse dan para eropanis lainnya. Dalam bidang retorika ilmu sosial, kita
sering di ajak berputar-putar dalam bertanya (knowing) dengan memunculkan
epistemologi yang baik sehingga para penulis sebenarnya mencari jalan jawaban
yang metafor, ironi dan penuh ketidak jelasan yang bila dikuatkan dengan pikiran
yang keras akan menjadikan kesalahan atau pembujukan atas kata itu.
Dalam pandangan Asia, bahwa
kita perlu untuk menyatukan pandangan terhadap metaanalisis yang bersifat Asia
sentris juga, dengan memadukan para pemikir Asia untuk bisa menjadikan teorinya
bisa di terima dalam kalangan pikiran yang bersifat Asia, karena kedekatan
geografis teori dan objek penelitian itu justru akan menguatkan keilmuan. Adanya
bangunan metateori yang mampu untuk membangun kita pada alat untuk mengelola
secara kognitif bagaimana banyaknya khasanah teori yang ada di Asia sehingga
membangkitkan kita untuk punya karakter ke-timuran sendiri dalam menghadapi
kritik tersebut. Ketiga adalah bangunan dalam meta analisis untuk menjadikan
budaya timur dengan buku filsafat ilmu, sejarah gagasan, ataupun sosiologi
pengetahuan dalam menjadikan pemikiran itu menjadi kerangka dalam teori ilmu
sosialnya. Inilah yang kemudian menyebabkan adanya semacam term bagi ke ilmuan yang dinamis dan bisa dipakai
gagasan itu untuk mengkomparasikan data degan teori yang ada. Bila kita
cermati, munculnya tokoh seperti Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen, Jose Rizal, B.K.Sarkar,
Wan An Shih, bahkan Soekarno harus dimasukkan dengan membuat buku filsafat ilmu
atau sejarah gagasan dari tokoh-tokoh tersebut. Supaya dalam melihat data atas
fakta dalam penelitian kita bisa menjadikan pola pemikiran tokoh itu ke dalam
teori dan metodenya.
Kalau Alatas mencoba
mengkritik dengan kata ”Captive Mind” yaitu Budaya meniru barat, maka
sikap kita adalah melawan imperialisme intelektual dengan menggunakan pola
pikir timur saja. Dan bantuan pendidikan dari barat janganlah dianggap munrni
bantuan untuk studi, karena justru itu yang akan terus membelenggu kita untuk
menjadikan dominasi barat terus membelenggu. Sudah saatnya kita untuk mencari
ke-timuran-nya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar