Nama : Latif Kusairi
NIM : 12/340076/PSA/07391
Bila selama ini kita tahu bahwa proses kolonisasi (seharusnya dekolonialisasi,
dan selanjutnya saya sebutkan dengan
Dekolonialisasi) yang ada dalam sejarah selalu bentuk penjajahan secara
langsung dengan penguasaan bangsa penjajah ke bangsa terjajah. Yaitu dengan
pola penguasaan atas elemen-elemen yang ada pada bangsa terjajah, maka bangsa
sekarang adalah muncul sebuah penjajahan yang tanpa datang langsung ke daerah
jajahan itu, inilah yang disebutkan dalam buku ini sebagai dekolonisasi
Metodologi Karya Linda T. Smith
(selanjutnya saya sebut Linda).
Modernitas dalam penjajahan.
Munculnya istilah bangsa penjajah dan bangsa terjajah seolah telah banyak
merangkai sebuah pertautan dan sebuah penghambaan antara ”tuan dan pembantu”
yang seolah hal itu sebagai bentuk pengekangan yang terjadi. Dalam hal lain apa
yang diktakan oleh Edwar Said sebuah penghakiman bahwa proses ini sebagai
wacana barat tentang yang lain. Yaitu sebuah pertukaran timbal balik yang
simultan antara kontruksi sekolahan dan kontruksi imajinatif terhadap ide
tentang timur. Dalam hemat saya bahwa proses ini adalah sebuah upaya dari
pemerintah kolonial untuk terus menjajah daerah terjajah dengan karakter pola
pikir bangsa terjajah yang harus sesuai dengan bangsa penjajah.
Barangkali inilah yang dinamakan dekolonialisasi yang cukup rentan. Cara
pandang imperialis tersebut untuk melakukan infiltrasi bagi negara bekas
jajahan. Kenapa hal ini terjadi, dalam pandangan Comte dalam masalah paradigma,
inilah yang dimaksudkan sebuah kelemahan yang terjadi dalam etnosentris
peradapan. Selama ini eropa menganggap peradapannya paling maju dan bangsa
terjajah kurang maju dan harus berjalan menuju kemajuan seperti Eropa. Padahal
dalam cara pandang antara barat dan timur,
eropa dan wilayah bekas jajahannya punya karakteristik tersendiri. Kita lihat
dalam karakteristik pola penulisan sejarah di Indonesia, yaitu punya tradisi
menulis dengan bentuk babad, hikayat, tambo, dll. Sedangkan dalam konsep barat tradisi tulisan
Indonesia itu dianggap kuno, kolot penuh subyektifitas dan hanya untuk
kepentingan pemimpin. Menurut barat yang ada dalam tradisi tulisan dengan pola yang terasiparis datanya seperti verslag
dll. Padahal dibalik itu justru
penulisan ini banyak terjadi unsur subyektifitas dan kelebihan di masing-masing
pola penulisan itu. Namun yang terjadi banyak sarjana barat menyusupi pada sejarawan pemula Indonesia agar bisa seperti
pola penulisan yang di inginkan barat, cara lain dengan memberi beasiswa bagi
sejarawan timur untuk belajar di barat.
Inilah yang dimaksud oleh Edwar Said sebagai bentuk penjajahan secara tidak
langsung dalam kemoderan itu .Imperialis terhadap pandangan yang ada dalam
berbagai bidang kehidupan telah membuat barat sebagai seorang pemimpin yang
bisa menggunakan kekuasaannya untuk mengatur negara-negara barat dalam
pandangan dan berbagai aspek manapun.
Dalam pemaparan buku Linda diketengahkan bagaimana barat memupuk bangsa
terjajah dalam kerangka berpikir dalam pengetahuannya. Kegairahan akan
Imperialisme pendidikan bagi negara barat yang notabene merupakan hasil dari
sebuah konsesi bersama, dilakukan oleh barat telah membawa politisasi
pengetahuan di dalamnya. Pengetahuan padahal punya sebuah solusi bahwa
sebenarnya suatu negara terjajah punya nation dalam pendidikan yang
mereka ajarkan sendiri. Namun karena barat merupakan punya pemegang kartu as
dalam politisasi ini, mereka akan
selalu melakukan apa yang di sebutkan oleh Edwar Said sebagai Superoaritas posisional dalam berfikir
untuk mengedepankan penddikan barat seolah lebih maju dan bangsa terjajah harus
mengikutinya dalam mencapai kemodernan.
Dalam pandangan saya ada beberapa yang menarik dalam tulisan Linda ini,
pertama bahwa kemodernan di indentikkan sebagai sebuah akhir dari kuasa absolut terhadap Illahiah. Rupanya pandangan
ini justru kurang lebih adalah bentuk ketidak konsistenan barat untuk membuat
abad kegelapan eropa yang rentan dengan aura agamis tersebut sebagai hal yang
jelek. Padahal bila di tela’ah justru euforia modernitas sekarang banyak orang
menganggap agama sebagai pegangan untuk melangkah ke arah modernitas ini.
Pandangan kedua adalah bentuk penjajahan terhadap pendidikan. Seolah di belahan
negara menganggap bahwa ilmu pengetahuan telah menyulap pendidikan sebagai bentuk
potensial untuk mendapatkan jatidirinya. Kita lihat bahwa saat ini untuk
mencapai sebuah kepintaran harus di indentikkan dengan ”pintar dalam
pendidikan” yang mana harus diselipkan.
Para penggagas rupanya sadar bahwa pola tarik garis imajiner untuk
mempresentasikan bahwa pengetauhan barat lebih unggul, hal senada juga di amini
oleh James Clifford yang etnosentris merupakan satu bentuk koleksi budaya yang
mencermati cara bermacam-macam pengalaman dan fakta diseleksi. Dalam artian
bawa budaya baratlah yang merupakan garis pembanding atas budaya yang lain. Hal
lain yang dapat merepresentasikan atas penjajahan ini adalah harus memasukkan
unsur pengetahuan barat sebagai sebuah entitas yang unggul, bila kita
menggunakan budaya pendidikan sendiri justru dianggap kuno dan bila kita
memakai pendidikan barat adalah modern.
Ambil kasus seperti ini:
Ada seorang pelajar yang selalu belajar di negaranya
dengan secara tidak sadar telah tersisipi budaya barat, suatu ketika pelajar
itu harus menempuh pendidikan tingginya di negara barat karena dianggap modern,
dan bila akhirnya seorang pelajar itu harus jadi pengajar di negara jajahan
atau kembali ke negara asalnya akan sangat dihormati karena konsepsi pikiran
negara jajahan telah terkonstruk dengan kata modern dibanding lulusan dari
negara sendiri. Inilah globalism pengetahuan barat yang melegitimate.
Konstruksi inilah yang menurut saya harus banyak dirubah bahwa seharusnya
aura pikiran akan keagungan barat di dekontruksi, karena pikiran yang telah
melekat ini seolah akan justru menghilangkan nation dan jati diri bangsa terjajah akan
pengetauhannya. Bila kita membayangkan globlalisasi telah membawa perubahan
yang cukup besar. Negara terjajah seolah harus lari untuk terus mengejar
pengetauhan barat yang dianggap lebih modern, dan barat di bisa berlari
kemana-mana tergantung apa yang di inginkannya.
Dalam pandangan Foucault, bahwa proyek penjajahan yang ada dengan
membungkus modernitas ini adalah bagian dari pendisiplinan bangsa terjajah
dengan agar sejalan dengan bangsa penjajah. Sebenarnya karakteristik ini bisa
rukun manakala modernitas dengan menggunakan kata ”kolonialisasi modern” bisa
berjalan dengan cultur negara
setempat. Kita lihat Jepang, meski dia
tidak menolak modernitas barat tetapi modernitas itu bisa berjalan dengan
budayanya. Banyak produk jepang yang berbau barat, tetapi dia tidak kehilangan
budayanya untuk disisipkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar