Nama : Latif Kusairi
NIM : 12/340076/PSA/07391
Buku “Perpekstif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia” ini merupakan wajah baru dalam mencari
Ke-Indonesiaan dengan kolektif masa lalu.
Sebuah karya yang banyak menulis sejarah Indonesia dari banyak perspektif
dengan data-data baru dan mencoba mendobrak tradisi sejarah pada masa kini.
Disini saya akan membahas tulisan ke-9 dari Degung Santikarma (Selanjutnya saya
sebutkan dengan “Degung”) yang berjudul
“ Menulis Sejarah dan Membaca Kuasa: Politik Pasca-1965 “. Karya
yang membahas cerita kecil dibalik agresifitas Orde Baru dalam memberantas PKI,
yang menurut saya sangat berlebihan dan memakan korban yang cukup besar.
Dibalik Keindahan Pulau Bali .
Sebuah judul yang menurut saya sangat kontras dengan terbungkamnya
sejarah kelam rakyat Bali . Sampai-sampai
Degung tidak mau menuliskan cerita ini dengan gamblang dimana sebenarnya Banjar
yang dimaksud, hanya disebutkan dengan Banjar Bunga. Entah alasan apa
Degung tidak menyebutkan banjar itu dengan terang, dan kenapa menginisialkan
banjar tersebut dengan Bunga. Mungkin nama ini untuk menjawab bahwa Bunga
tidak identik dengan keindahan sama judul diatas dengan mempertanyakan dibalik
keindahan pulau Bali . Saya akan memberi review
tentang kondisi tulisan Degung ini.
Istilah banjar bunga bahwa daerah yang dahulu menyimpan sejarah
kelam sebagai eks komunis rupanya masih juga banyak yang belum berani bersuara.
Bahkan sejarah tersenbunyi di Bali ini terbantai 100.000 orang Bali yang terbantai( Robinson1995),Dwiyer dan Santikarma
2004). Meski alam pikiran dan keterbukaan telah di buka luas-luas pada masa
ini, bahkan pada masa Presiden Abdurahman Wahid telah ada permintaan maaf.
Memory yang mungkin bagi para eks komunis itu adalah kelam, ternyata hanya akan
menjadi. Ini bukan persoalan salah atau benar dalam masyarakat eks komunis itu,
namun ada semacam tekanan batin bahwa menjadi eks komunis sangat tidak
dihormati orang dan dicap orang yang komunis hingga saat ini. Bagi para eks
tersebut rupanya memory kelam belum bisa dihapus dengan sendirinya, meski
kadang mereka ingin menuntut terhadap pemerintah yang berkuasa atas pembunuhan
besar-besaran itu.
Sejarah pada masa orde baru semacam punya kuasanya. Orde baru dengan
undang-undang tangan besinya seolah telah membungkam ingatan kekerasan melalui
proyek percontohan Sejarah: resmi,untuk mendukung upaya penggalian atau
pelurusan sejarah sebagai ujung tombak keadilan dan mencegah kekerasan Negara.
Sikap ini penting untuk mengerti proses pendustaan yang terjadi atas nama
mahasakti”sejarah” , serta mengingatkan kita bahwa sejarah selalu terlibat
relasi kekuasaan siapa yang menentukan
sejarah dan narasi kelampauan yang mana akan jadi
pembenaran.
Melalui pendekatan etnografis inilah, peristiwa banjar bunga yang
notabene adalah sebuah pengalaman kelam dari pelaku sejarah di daerah itu. Maka
dalam paparan ini dapat disimpulkan bahwa ada beberapa pihak yang dapat masuk
untuk menjadi agensi dan mata-mata atas sejarah itu sendiri. Peristiwa datangnya
surat lurah ke
ketua banjar bunga ini seolah jadi wacana sendiri untuk melihat bahwa
meski motif lurah menyuruh banjar bunga menulis sejarahnya, tapi sebagai
orang yang pernah dikhianati dan dikorbankan atas nama kekuasaan,merasa
tertekan dan merasa bahwa memori kelam itu datang lagi. Dalam sejarah bali
narasi sejarah selalu bersifat samara antara ada dan tiada ( Ngerambang
Sawa)Dari wacana tentang dirinya akan di adili oleh masyarakat karena eks
komunis, sampai kasat kusut adanya penyerobotan pura yang ada di desa itu. Sehingga
yang terjadi semacam penghindaran untuk menuliskan sejarah itu dengan alasan
akan menguakan keburukannya di hadapan kepala lurah. Maka dalam bincang ini ada
asumsi bahwa janganlah masa lampau 1965 dituliskan karena akan membunuh dirinya
sendiri dan akan menjadikan mereka dipantau oleh penguasa. Laad (bekas)
peninggalan sejarah)1965 seolah menjadi cerita kelam oleh warga tersebut
sehingga apa yang mereka lakukan sangat berhati-hati. Rapat yang diadakan warga banjar bunga untuk
menanggapi surat
kepala Banjar agar menulis sejarahnnya soal ingin menjadikan mereka mengingat
kembali akan peristiwa kelam itu. Sehingga muncul berbagai pertanyaan, kenapa
mereka pingin tahu sejarah kita?apakah banjar lain juga disuruh enulis? Apakah
kita harus mengakui bahwa kita orang eks komunis?. Rupanya pertanyaan tentang
itu sulit dijawab oleh pak klien yang meminpin rapat. Seolah ini
merupakan tekanan hebat, apakah mereka itu akan diterima secara manusiawi bila
mengakui semua itu. Sehingga yang terjadi hal itu tidak pernah diungkapkan oleh
warga banjar bunga dan melokalisir ingatan serta pelupaan. Meskipun demikian
konsep ingatan orang Bali sangat tajam, mereka
tahu apakah itu uning(ingatan yang berarti ingatan untuk Pengetauhan) ,
dan Eling (ingatan untuk social seperti peristiwa ini).
Berapa contoh kasus.
Peristiwa banjar bunga yang banyak korban jiwa telah membawa serta
luka yang mendalam bagi rakyat banjar bunga. Ini seolah tidak hanya banjar
bunga saja. Di belahan barat pulau Bali, tepannya di Malaya ,
banyak warga harus rela untuk memilih agama salah satu dari 5 agama bila dia
tidak ingin dicap PKI. Kemudian pada periode itu banyak warga yang yang harus
memilih jalan Kristen karena adanya anjuran dari sang misionaris. Meski luka lama akibat pembunuhan karena
non agama dianggap PKI. [1]
Begitu Juga pada masa pasca 1965 di wilayah Jawa
Timur. Dibalik rimbunnya alas Caruban, Madiun dan dibalik keangkeran alas jati
itu, ternyata banyak cerita ribuan orang mati sia-sia terbunuh oleh algojo dari
Laskar Anshor. Mereka hanya bagian dari para pencoblos partai komunis dan menurut
informan bahwa dalam KTP warga harus dicantunkan kepartaiannya. Ketika muncul
sweping dari TNI yang diboncengi Anshor inilah dengan mudahnya mereka ditangkap
dan diadili tanpa pengadilan hukum, yang ada hanya pengadilan gorok dari para PKI. Sehingga separoh lebih warga
madiun mati kena hukum gorok.[2]
Peristiwa ini juga terjadi bahwa belahan wilayah lainnya, seperti pembakaran
kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara oleh kesatuan tentara Brawijaya Jawa
Timur, hanya karena para punggawa kesultanan dianggap terlibat PKI.[3]
Ataupun juga cerita perebutan sawah-sawah milik pesantren Gontor Putri di
Ngawi, yang memakan banyak korban.[4]
Dari banyak cerita ini seolah saya hanya bisa
melihat bagaimana memory para korban dan pelaku sejarah hanya disimpan dalam lakon
sejarahnya yang kelam. Seolah banyak para eks-PKI ataupun para Anshor dan
Jagal manusia itu menyimpan rapat-rapat dalam benak sejarahnya di dunia ini.
Kemudian apa yang diomongkan Degung dengan Banjar bunga muncul sebagai salah
satu bentuk cerita dengan melakukan memory kolektif pelaku. Seolah para korban itu akan sangat bodohnya
bila mereka membuka aibnya, meski kita membaca hal itu bentuk untuk meminta
hak-hak korban atas ketidak adilan.
Melewatibatas dikotomi dan kekuatan moral.
Barangkali sejarah yang benar merupakan cakrawala
yang memberi kita, bahwa masyarakat sendirilah yang memberi inspirasi
mengundang, agar masyarakat itu sendirilah yang menjadi sejarawan, daripada
hanya menjadi objek ilmu. Jangan sampai ketika sejarawan membantu membuka
hak-haknya bagi eks komunis dengan pendekatan ilmu melalui tulisan, yang
terjadi justru kicauan olokan dari masyarakat terhadap korban, atupun
cap merah yang kepada eks komunis itu meski mereka pada dasarnya hanya
korban. Rupanya bagi kalangan yang anti komunis, untuk saling memaafkan juga
masih sulit. Peristiwa pembunuhan kejam yang terbesar dalam kurun waktu abad 20
ini seolah telah banyak menimbulkan luka. Maka untuk menyikapi sejarah yang
benar adalah menuntut keadilan dan adanya pengertian dari negara kepada rakyatnya.
Apakah benar dengan menulis sejarah kelam saat ini kita akan bisa
melawan sejarah atas ketidak adilah dan
atas pembantaian besar-besaran tanpa pengadilan itu. Apakah
historiografi alternatif yang ada merupakan sebuah makluk yang sangat cerdik
untuk menentukan sejarah kelam itu, sejarah yang melahirkan kuasa yang justru
hendak ditolaknya.
Saya menyimpulkan bahwa dimana sebenarnya letak
sejarawan terhadap orang-orang yang tertindas itu. Apakah sejarawan hanya
mengajarkan untuk menuliskan sejarah kesuksesan, sejarah yang menang, sejarah
yang patriotik saja. Memang menulis sejarah kecil seperti banjar bungan seolah
akan menjadi sisi yang saling bertolak belakang. Sejarawan pasti akan
mendapatkan semacam tulisan yang baik, namun para korban itu apakah akan
diterima masyarakat ketika melihatnya dia sebagai seorang eks komunis yang
masih di cap negatif bahkan pemberontak sekalipun. Ini sama halnya kita menulis sejarah seorang
maling, pasti akan ada pergunjingan dari masyarakat terhadap maling itu. Seolah
konotasi maling sudah sangat jelek dan seolah tidak ada kasta bagi maling itu
dalam masyarakat. Inilah perenungan bagi sejarawan, apakah kita hanya membiografikan
orang-orang yang berhasil, orang-orang yang menang dan orang-orang yang benar
dimata masyarakat. ataukah kita akan
membiarkan cerita itu berkembang di masyarakat saja,sehingga menjadi kasat-kusut
dan omongan negatif bagi mereka yang tahu sejarah kelam itu. Sebuah otokritik
bagi kita semua yang Patut direnungkan...
[1] Diceritakan oleh Ibu Mariana,
warga desa Mertasari Melaya Kab. Jembrana. Dia harus menanggalkan aliran
kepercayaannya dan kemudian memeluk Kristen untuk tidak mati sia-sia di tangan
para preman Tentara hanya karena tidak masuk dalam 5 agama yang diakui Negara.
Pada masa itu Mertasari hamper separuh warganya terkena ciduk hanya gara-gara
dianggap PKI.
[2] Diceritakan oleh Warno, Pensiunan TNI AU, dari kesatuan di Madiun.
Sekarang tinggal di Kota Nganjuk. Tgl 24 Nopember 2012.
[4] Aminudin Kasdi, Kaum Merah Menjarah. Unesa Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar