NIM
: 12/339539/PSA/7316
Berakhirnya
kolonialisme Eropa secara politik bukanlah akhir dari kolonialisme
secara keseluruhan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
sosial, kolonialisme Eropa ternyata masih mempertahankan
cengkramannya. Hampir semua teori dan metodologi ilmu sosial yang
digunakan untuk meneliti dan memahami permasalahan di negara-negara
bekas jajahan Eropa masih merupakan warisan dari diskursus ilmu
sosial yang lahir di Eropa. Padahal teori dan metodologi itu lahir
dari pengalaman Eropa dan kacamata orang Eropa yang notabene memiliki
nilai-nilai yang berbeda dari masyarakat di negara-negara bekas
jajahannya. Apabila kondisi ini terus dipelihara maka
masyarakat-masyarakat bekas jajahan selamanya hanya menjadi obyek
kajian dari orang-orang Eropa tanpa bisa menyuarakan dirinya sendiri.
Kondisi di
atas melatarbelakangi Syed Farid Alatas –seorang sosiolog Malaysia
yang mengajar di National University of Singapore- menulis buku
“Diskursus
Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia”
(judul asli: “Alternative
Discourses in Asian Social Science : Responses to Euro-centrism”)
sebagai sebuah upaya mengangkat diskursus ilmu sosial yang lahir dan
berkembang berdasarkan pengalaman dan kacamata orang Asia sebagai
alternatif atas diskursus ilmu sosial yang selama ini masih bercorak
Euro-sentris. Di antara wacana yang diangkat dalam buku ini adalah
tentang dua macam orientasi dalam membangun diskursus ilmu sosial
alternatif di Asia yaitu ilmu sosial nativis dan otonom. Meskipun
keduanya sama-sama menolak hegemoni ilmu sosial Euro-sentris akan
tetapi masing-masing mempunyai sikap yang bertentangan satu sama lain
dalam menyikapi pengetahuan yang datang dari Barat.
Nativisme
atau ilmu sosial nativis menyikapi pengetahuan Barat dengan pandangan
curiga dan sikap anti-pati. Para penyokong ilmu sosial nativis
memandang ilmu sosial yang lahir di Barat tidak memiliki hubungan
ataupun relevansi dengan masyarakat-masyarakat non-Barat. Ilmu sosial
Barat dianggap hanya sebagai bagian dari warisan kolonialisme yang
berusaha menghegemoni bangsa-bangsa non-Barat. Sebagai pengganti dari
ilmu sosial Barat maka para nativis berusaha melahirkan dan
mengembangkan ilmu sosial yang “murni” berasal dari nilai-nilai
serta pemikiran masyarakat non-Barat dari mana mereka berasal.
Menurut Alatas sikap semacam ini sejatinya hanyalah pembalikan atas
paradigma Euro-sentrisme yang selama ini dominan untuk diganti dengan
paradigma lain yang sejatinya memiliki sifat yang sama dengan
Euro-sentrisme itu sendiri. Paradigma nativisme, sebagaimana
Euro-sentrisme, memandang paradigma lain di luar dirinya sebagai
musuh, ancaman, atau sesuatu yang dianggap rendah. Selain itu
paradigma ini juga ternyata gagal memperhitungkan keanekaragaman
sosial-budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negeri akibat
visi yang menganggap sistem budaya masyarakat atau negeri tersebut
sebagai sesuatu yang homogen atau terlalu menekankan homogenitas dari
masyarakat dan negeri itu. Nativisme juga tampak mengulangi apa yang
terjadi pada orientalisme ketika mendekatkan dirinya dengan kekuasaan
negara. Dalam kasus ini nativisme pada akhirnya hanya menjadi alat
bagi beroperasinya kekuasaan negara sebagaimana orientalisme dahulu.
Sementara
itu ilmu sosial otonom mengambil sikap yang lebih positif terhadap
pengetahuan Barat, bahkan ia menentang nativisme. Sebagai diskursus
alternatif terhadap ilmu sosial Barat, ilmu sosial otonom menggugat
ketergantungan terhadap ilmu sosial. Paradigma ini menghendaki
terbangunnya tradisi ilmu sosial yang mandiri dalam merumuskan
masalah, menciptakan konsep, dan menerapkan metodologi tanpa dominasi
intelektual dari tradisi lain. Sekalipun demikian, paradigma ilmu
sosial otonom tidak menafikan pengaruh atau pengetahuan dari tradisi
lain yang bersifat universal dan berguna untuk memperkaya serta
mengembangkan tradisi ilmu sosial yang otonom itu sendiri. Sebuah
gagasan tidak akan ditolak hanya berdasarkan asal-usul nasional atau
kulturalnya. Pembangunan tradisi ilmu sosial otonom meniscayakan
kritik konstruktif terhadap pengetahuan Barat dan pengambilan
sumber-sumber pengetahuan di luar Barat. Upaya tersebut sudah coba
dilakukan oleh sejumlah ilmuwan sosial di Asia seperti di India dan
Iran.
Bagi para
ilmuwan sosial dan humaniora di Indonesia, diskursus ilmu sosial
alternatif ini adalah sebuah tawaran yang menarik. Namun demikian
perlu dilihat secara realistis apakah tawaran ide ini dapat kita
terapkan di Indonesia. Kiranya harus kita katakan bahwa ide ini tidak
mudah direalisasikan di Indonesia. Hal yang menjadi masalah adalah
Indonesia sebagai sebuah entitas sosial-budaya sesungguhnya belum
sepenuhnya terbentuk padahal untuk membangun sebuah tradisi ilmu
sosial perlu ada sebuah entitas sosial-budaya yang solid lengkap
dengan pandangan dunia dan sistem nilainya yang dari situ bisa
dibangun sebuah tradisi keilmuan. Indonesia dengan kenekaragaman
budaya di dalamnya masih sedang bergulat untuk menemukan konstruksi
keindonesiaan yang mapan. Tentu akan lain halnya jika kita ingin
membangun tradisi ilmu sosial yang berbasis budaya etnis, katakanlah
ilmu sosial ala Jawa, ala Sunda, ala Minang, dan sebagainya. Secara
realistis maka tradisi ilmu sosial berbasis budaya etnis itulah yang
lebih mungkin untuk dibangun ketimbang sebuah ‘tradisi ilmu sosial
khas Indonesia’. Akan tetapi masalah yang kedua adalah untuk
membangun sebuah tradisi ilmu sosial maka pertama-tama yang perlu
dibangun adalah tradisi keilmuan. Pertanyaannya sudahkah hal ini
berkembang di Indonesia? Jujur harus kita akui bahwa tradisi keilmuan
di Indonesia belum berkembang karena banyak faktor. Salah satu
masalah yang berkaitan erat –meskipun lebih tepat disebut sebagai
bagian dari masalah itu sendiri ketimbang faktor penyebab- dengan
mandegnya tradisi keilmuan adalah lemahnya penguasaan terhadap
berbagai diskursus ilmu pengetahuan. Jangankan terhadap khazanah
keilmuan yang berakar pada tradisi kita sendiri, terhadap khazanah
keilmuan Barat pun hanya sedikit di antara ilmuwan serta mahasiswa
kita yang betul-betul menguasainya. Sepanjang menyangkut penguasaan
khazanah keilmuan tradisional –dan khazanah keilmuan non-Barat pada
umumnya- kebanyakan kita sangat lemah bahkan mungkin merasa asing
terhadapnya. Walhasil jika kita ingin membangun sebuah tradisi ilmu
sosial alternatif yang berakar pada budaya kita sendiri bukanlah hal
yang mudah. Jika kita serius ingin mewujudkannya maka langkah paling
pertama adalah sunguh-sungguh membangun tradisi keilmuan. Bila itu
tidak kita lakukan maka jangan harap kita bisa menghasilkan sebuah
tradisi ilmu sosial alternatif, apatah lagi menandingi Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar