NIM
: 12/339539/PSA/7316
Historiografi
tradisional yang berkembang di Sulawesi Selatan ternyata memiliki
karkteristik tersendiri yang membedakannya dari historiografi
tradisional di daerah lain di Nusantara. Karakteristik tersebut
adalah kuatnya ciri-ciri rasional dan lebih sedikit mitos yang
terdapat dalam historiografi tradisional di Sulawesi Selatan
dibandingkan historiografi tradisional di daerah lain –seperti Jawa
misalnya. Demikian kurang lebih di antara pandangan yang dikemukakan
A.A. Cense dalam tulisan yang berjudul asli “Enige
aantkeningen over Makassaars-Boeginese geschiedscrhijving”.
Cense adalah seorang sejarawan dan pakar filologi Belanda yang
memiliki minat sangat besar terhadap kebudayaan masyarakat
Bugis-Makassar. Dalam tulisannya ini ia mengulas hal-hal yang terkait
dengan penulisan sejarah masyarakat Bugis dan Makassar. Di bagian
awal artikel, Cense meninjau sejumlah tulisan tentang sejarah
Bugis-Makassar yang ditulis orang Eropa seperti “Het
Nederlandsche Gouverment van Makasser op het eiland Celebes”,
“Makassaarche
Historien”,
“Geschiedenis
van het rijk Gowa”,
dan lain-lain. Ulasan tentang karya-karya orang Eropa tersebut adalah
pendahuluan dari uraian Cense selanjutnya tentang naskah-naskah
tradisional yang dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah
Bugis-Makassar.
Naskah-naskah
tradisional Bugis-Makassar patut mendapat perhatian –setidaknya
menurut Cense- karena naskah-naskah itu ternyata juga digunakan
sebagai sumber penulisan sejarah Bugis-Makassar oleh para penulis
Eropa yang terdahulu. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat
historiografi tradisional Bugis-Makassar yang sudah dikemukakan di
atas. Dalam lanjutan artikelnya Cense mengulas jenis-jenis naskah
tradisional yang berguna bagi penulisan sejarah Bugis-Makassar mulai
dari buku-buku harian, teks perjanjian-perjanjian, catatan-catatan
mengenai hukum adat, surat menyurat, ikhtisar-ikhtisar sejarah yang
singkat, kronik-kronik, sampai sanjak. Ia menjelaskan sebagian besar
dari jenis-jenis naskah tersebut secara cukup terperinci dan
memberikan penilaiannya sejauh mana naskah-naskah itu berguna bagi
penulisan sejarah. Di sini terlihat keahlian Cense sebagai seorang
pakar spesialis naskah-naskah Bugis-Makassar yang ironisnya tidak
banyak dikuasai oleh orang Bugis dan Makassar sendiri.
Di antara sekian jenis
naskah tradisional Bugis-Makassar yang penting untuk djadikan sumber
sejarah menurut Cense adalah teks perjanjian-perjanjian yang bersifat
politik –biasanya pernyataan takluk dari satu kerajaan kepada
kerajaan lain, catatan-catatan mengenai hukum adat, ikhtisar-ikhtisar
sejarah singkat, dan kronik. Adapun terhadap jenis-jenis naskah
lainnya Cense menempatkannya agak sedikit di bawah nilainya dari
jenis-jenis naskah di atas meskipun ia tetap mengakui kegunaan
jenis-jenis naskah itu bagi penulisan sejarah Bugis-Makassar.
Penilaian Cense itu tampaknya dipengaruhi oleh sifat dari
masing-masing jenis naskah. Teks-teks perjanjian, catatan-catatan
mengenai hukum adat, ikhtisar-ikhtisar sejarah singkat, dan kronik
sedikit banyak berhubungan dengan aspek politik dari kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar. Naskah-naskah yang berhubungan dengan
politik rupanya dianggap lebih bernilai dibandingkan dengan yang
tidak berhubungan dengan politik. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan
dari paradigma yang dominan ketika tulisan Cense ini dibuat. Para
sejarawan pada masa Cense memang menganut pandangan bahwa sejarah
adalah sejarah politik, artinya sesuatu dari masa lalu baru dipandang
bernilai sejarah apabila sesuatu itu berkaitan dengan politik.
Apabila sesuatu itu tidak berhubungan dengan politik maka tidak layak
dijadikan sebagai bagian dari sejarah meskipun bisa jadi aspek
non-politik juga memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan
masyarakat di masa lampau.
Dengan cara pandang yang
demikian tidak heran jika Cense lebih memusatkan perhatiannya
terhadap naskah-naskah yang menyangkut aspek kehidupan politik
masyarakat Bugis dan Makassar. Sementara itu terhadap naskah-naskah
yang sifatnya non-politis –seperti yang menyangkut kehidupan
sehari-hari- ia menganggapnya kurang penting walau Cense pun mengakui
bahwa naskah-naskah tersebut dapat memberikan gambaran terhadap
kehidupan masyarakat di masa lalu. Dalam perkembangan mutakhir ilmu
sejarah, teks-teks kecil yang dalam paradigma sejarah lama dianggap
tidak penting justru dipandang sama pentingnya dengan teks-teks besar
seperti arsip, dokumen, atau naskah-naskah yang bersifat politis.
Begitu pula dengan karya sastra, meskipun isinya seringkali fiktif
namun bisa berguna untuk memahami alam pikiran masyarakat di mana
karya sastra tersebut dihasilkan sehingga dari situ seorang sejarawan
dapat melacak bagaimana sejarah mentalitas masyarakat itu. Jika kita
menggunakan paradigma sejarah baru ini maka naskah-naskah yang
dianggap kurang penting atau rendah nilainya oleh sejarawan kolonial
seperti Cense sesungguhnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Terkait
dengan penilaian Cense terhadap jenis-jenis naskah Bugis-Makassar
dalam konteks penulisan sejarah harus pula diingat posisinya sebagai
sebagai seorang pegawai pemerintah kolonial1.
Bias superioritas yang sering menghinggapi kaum kolonialis sangat
mungkin juga ada pada diri Cense. Kaum kolonialis kerap memandang
budaya masyarakat jajahannya dengan sebelah mata. Mereka memandang
budaya masyarakat jajahan yang tidak sejalan dengan cara berpikir
mereka adalah irasional dan karenanya lebih rendah nilainya daripada
budaya Eropa. Cara pandang semacam inilah yang sadar atau tidak
digunakan oleh para sejarawan kolonial dalam menilai naskah-naskah
tradisional kaum pribumi. Naskah yang ‘irasional’ –dalam
pandangan mereka- dianggap tidak bernilai bagi penulisan sejarah
sebaliknya naskah yang sesuai dengan cara pandang mereka dianggap
‘rasional’ dan karenanya menjadi bernilai sebagai sumber sejarah.
Padahal di dalam naskah-naskah yang ‘irasional’ sekalipun sangat
mungkin terdapat bahan-bahan yang berharga untuk penulisan sejarah.
Terlepas dari bias-bias
kolonial yang menyertainya, tulisan Cense ini membuka mata kita
betapa kayanya khazanah naskah-naskah tradisional di Nusantara. Patut
disayangkan bila penelitian terhadap naskah-naskah tersebut justru
dilakukan orang asing, apalagi jika penelitian itu dilatarbelakangi
motif-motif yang bersifat politis. Penelitian yang dilakukan para
pakar seperti Cense dapat menjadi pijakan awal bagi para sejarawan
Indonesia untuk menggali khazanah tersebut lebih dalam lagi. Lewat
penelitian yang intensif terhadap naskah-naskah tradisional kita bisa
berharap lahirnya suatu pemahaman yang lebih utuh dan mendalam
terhadap sejarah masyarakat di Nusantara dengan kacamata sejarawan
Indonesia sendiri –bukan kacamata kolonial beserta segala bias di
dalamnya.
1
Ia pernah
bekerja di “Kantoor
voor Inlandsche Zaken”
(Kantor Urusan Pribumi) dan menjadi pegawai bahasa di Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar