Nama : Akhmad Ryan Pratama
NIM : 12/339260/PSA/7260
Artikel
yang ditulis GJ. Resink yang berjudul asli, Passe-partrout
om geschidedschrijvers over Indonesie, atau
berjudul suatu Passe-partout sekitar penulis-penulis tentang sedjarah
Indonesia yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan sudah
diterbitkan oleh LIPI pada tahun 1971. LIPI menerbitkan tulisan terjemahan ini
untuk membantu membentuk suatu konsep penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang
kelak akan terdiri dari 6 jilid dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sebelum
mengkaji artikel ini lebih jauh ada baiknya apabila kita mengenal latar belakang
Resink serta karya lainnya. Resink dilahirkan di Yogjakarta pada 11 Oktober
1911, ia merupakan ahli hukum, sastrawan dan sejarawan. Dalam karya Resink yang
juga cukup terkenal yaitu Indonesia’s
History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968) atau terjemahan dari karya tersebut
berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah dan telah diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Resink ingin mementahkan anggapan suatu
mitos atau narasi besar dari Historiografi Indonesia bahwa sebenarnya Indonesia
tidak dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Pemerintah Kolonial Belanda tidak
berdaulat penuh terhadap nusantara (Indonesia) selama 350 tahun, dengan
pendekatan disiplin ilmunya yaitu ilmu hukum, Resink menemukan fakta bahwa
ternyata ada beberapa orang yang tidak dapat dihukum karena pengadilan di
Hindia Belanda menolak untuk mengadili orang tersebut, dikarenakan terdakwa
bukan merupakan warga negara Hindia Belanda. Hal yang menjadi pertanyaan besar
bagi saya walau tulisan Resink ini telah diterbitkan tahun 1968? Tetapi mengapa
tinjauan terhadap mitos Indonesia dijajah 350 tahun baru muncul setelah orde
baru runtuh pada tahun 1998?
Tulisan
Resink ini berusaha merefleksikan bagaimana penulisan sejarah Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan, ia menganalisis berbagai macam permasalahan dan kendala
yang akan dihadapi dalam penyusunan sejarah nasional Indonesia. Resink memfokuskan
analisisnya terhadapa para sejarawan yang telah melakukan historiografi
terhadap Indonesia, karena menurutnya sejarawan yang akan menuliskan mengenai
historiografi Indonesia terdiri dari berbagai macam latar belakang yang
berbeda-beda, terutama dari kebangsaan. Menurutnya hal ini akan menjadi suatu
permasalahan tersendiri bagi Penulisan Sejarah Nasional di Indonesia. Resink
sangat menyadari bahwa penggambaran konsep ketika akan melakukan historiografi
Indonesia ditentukan oleh latar belakang penulis termasuk substansi keilmuan
dari sejarawan itu sendiri. kapasitas keilmuan tersebut diperoleh di lingkungan
dimana sejarawan tersebut belajar, sehingga apada akhirnya akan terbentuk suatu
madzhab atau aliran dalam penulisan sejarah Indonesia. Adanya segmentasi
tersebut tentu akan membuat tulisan sejarah atau intepretasi yang dihasilkan
akan selalu berhubungan dengan ideologis sejarawan atau tendensi dari
kepentingan sejarawan tersebut. Dalam hal ini Resink menyebutkan mengenai
intepretasi yang didasarkan kepada 2 perspektif yaitu Nerlandosentris dan
Indonesiasentris.
Kedua
tulisan Resink ini sangat erat keterkaitannya, karena menurut saya Resink ingin
mengambalikan penulisan sejarah nasional Indonesia ke proporsi yang sangat
tepat dan berimbang. Walaupun Resink berusaha untuk melepaskan pandangan
Eropasentrisme dan Indonesiasentris dalam melakukan penulisan karyannya. Melepaskan
diri dari perspektif kolonial bukan berarti menghitamkan yang putih atau
memutihkan yang hitam dalam narasi besar penulisan sejarah nasional Indonesia. Walaupun
menurut saya konsep Resink tentang historiografi Indonesia yang mampu dibingkai
dalam narasi besar masih sangat normatif, karena Resink tidak dapat menjelaskan
secara detail hingga tataran teknis bagaimana melakukan pembingkaian terhadap
penulisan historiografi nasional tersebut.
Diakhir tulisan Resink
menunjukkan minat yang sangat besar terhadap permasalahan penulisan sejarah
Indonesia yang menurutnya memiliki ‘gaya’ atau lebih tepatnya terjebak pada
tulisan Indonesiasentris, yang selalu melihat bahwa objek sejarah ialah para
elit-elit besar yang memiliki tingkat kemampanan yang sangat baik. Namun
penulisan sejarah Indonesia tidak pernah menyentuh berjuta-juta rakyat miskin
dan buta huruf pada masa itu sebagi objek kajian sejarah. Resink ingin
memberikan sebuah gambaran bahwa penulisan sejarah Indonesia harus demokratis dengan
menampung semua bentuk historiografi dan interpretasi dalam sebuah bingkai
besar Sejarah Indonesia. Tentu saja semua tulisan sejarah Indonesia tersebut
harus benar secara metodologi sejarah. Permasalahan akan timbul apabila
pengajaran sejarah disekolah tidak memiliki pembakuan dalam materi akibat
adanya demokratisasi dalam penulisan sejarah, sehingga melahirkan banyak versi
dalam narasi historiografi nasional. Permasalahan tersebut akan timbul terhadap
para pembaca karya historiografi tersebut, karena tidak semua siswa atau guru
sejarah memiliki tingkat kekritisan serta kapasitas ilmu pengetahuan yang
memadai untuk dapat mengkritisi suatu historiografi.
Sumber
Bacaan lain:
Resink, G.J. Bukan 350 Tahun Dijajah. Terj. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar