Nama : Akhmad Ryan Pratama
NIM : 12/339260/PSA/07260
Setelah membaca apa yang ditulis oleh Hilmar Farid mengenai
pekerjaan yang telah dilakukan oleh Premoedya Ananta Toer dalam melakukan
proses yang menurutnya menggali nilai-nilai sejarah kaum revolusionis di
Indonesia yang disajikan dalam bentuk novel. Menurut Hilmar Farid apa yang
telah dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah pekerjaan yang
sangat kompleks dan rumit, dalam tulisannya dengan sangat jelas bagaiman Farid
menggambarkan apa yang dilakukan olej Pramoedya Ananta Toer dalam upayanya
untuk menuliskan sebuah historiografi bagi Indonesia, yang masih mencari bentuk
tulisan sejarah yang terlepas dari bayang-bayang pemikiran sarjana kolonial.
Pramoedya Ananta Toer mulai melakukan pengumpulan terhadap sumber-sumber
sejarah yang ia dapat temukan, dan memulai membuat sebuah perpustakaan pribadi
untuk mendukung kegiatannya dalam membuat historiografi Indonesia yang ia
impikan.
Berbagai
macam tulisan Pramoedya Ananta Toer seperti yang paling terkenal tetralogi
Pulau Buru, seperti bagaimana ia menuliskan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa
yang menurut Farid karya-karya tersebut merupakan sebuah kelanjutan dari proyek
historiografi yang mulai dilakukan oleh Pram pada akhir tahun 1950-an. Menurut
Farid 2 karya dari Tetralogi Pulau Buru seperti Bumi Manusia dan Anak Semua
Bangsa yang terbit tidak lama setelah ia keluar dari tahanan , dan kedua karya
ini memang diarahkan untuk pembaca muda yang ingin mengenal kekuatan historis
yang membentuk masa kini. Masih menurut Farid bahwa kedua karya tersebut
berhasil keluar menggambarkan psyche dari
para pemula gerakan nasionalis dan memperlihatkan ketegangan dalam cultural Hybridity masa itu. Bagaimana
hal tersebut dijelaskan dalam karakter Minke yang menolak bahkan mengutuk
kebudayaan feodalnya yang menistakan manusia, dan kemudian memeluk peradaban
barat yang dianggap maju dan mencerahkan, sampai pada akhirnya melihat bahwa
peradaban itu pula yang telah membuat rakyat Hindia tertindas. Penggambaran
sejarah dalam karya ini dipenuhi dengan letupan dan gejolak, antara sifat
menghamba dan melawan; jauh berbeda dari historiografi colonial maupun
Indonesia sentris yang selalu menempatkan fakta-fakta dalam jalur cerita yang
mulus. Namun apa yang dilakukan oleh Pram dengan novel-novelnya merupakan
sebuah kritik keras dan tajam terhadap politik sejarah penguasa, dengan memberikan
sumber-sumber alternative yang memungkinkan orang Indonesia berbicara untuk
dirinya sendiri dalam kisah sejarah. Penggalian sumber sejarah baru, terutama
dari kaum yang terpinggirkan dari sejarah akan membawa penulisan sejarah
menjauh dari arsip, pemikiran dan kekuasaan negara, yang menurut farid
merupakan sebuah syarat mutlak yang harus dilakukan bagi sejarawan Indonesia
untuk melakukan dekolonisasi sejarah di Indonesia.
Saya
tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam tertralogi Pulau Burunya tidak bermanfaat dalam kajian historiografi
Indonesia. Ada beberapa hal yang harus dikaji bagaimana kita harus memanfaatkan
sebuah imajinasi fiksi untuk keperluan historiografi. Oleh karenanya alangkah
baiknya apabila melakukan sebuah telaah yang mendalam terhadap novel sejarah
yang akan digunakan. Tentu saja terdapat garis tegas yang membedakan antara novel sejarah dan historiografi,
perbedaan yang paling mendasar tentu saja penggunaan metodologi dan filsafat
sejarah yang digunakan dalam historiografi. Sementara menurut saya novel
sejarah tidak menggunakan data-data serta metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan seperti penyusunan Historiografi, serta filsafat
sejarahnya sering tidak koheren. Sehingga saya berkesimpulan bahwa sangat
berbahaya apabila sejarawan mengutip sebuah fakta keras dari novel-novel
sejarah.
Salah
satu contoh tulisan historiografi yang saya ketahui menggunakan prolog novel
sejarah untuk membuka narasi sejarah, ialah seperti apa yang dilakukan oleh
Lindblad dalam bukunya yang berjudul Bridge
to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia. Dalam buku
tersebut saya melihat bagaimana kepiawain Lindblad menggunakan prolog novel
Suparto Brata untuk menghubungkan tulisan yang akan dibahasnya. Lindblad
mengutip potongan kalimat dari novel Suparto Brata, Saksi Mata, bagaimana ketika Kuntara sedang jalan-jalan dan melihat
gedung-gedung peninggalan Belanda di Surabaya yang pada tahun 1944 sudah
diduduki oleh tentara Jepang, dan digunakan untuk kepentingan perangnya.
Setelah prolog tersebut Lindblad menghubungkan pendudukan gedung-gedung
tersebut merupakan hal yang berhubungan dalam bab yang dibahas dalam salah satu
bab dalam bukunya, bagaimanan tentara Jepang melakukan tindakan pengambilalihan
paksa sector-sektor ekonomi dari pemerintah kolonial dan kemudian dimanfaatkan
untuk kepentingan perangnya. Saya melihat potongan-potongan kalimat yang
diambil Lindblad dan dijadikan sebuah prolog dalam beberapa bab dalam bukunya
mampu membuat saya mengimajinasikan bagaimana keadaan sosial dan lingkungan
yang terjadi pada masa itu, walaupun tokoh yang terdapat dalam novel tersebut
merupakan tokoh fiksi.
Apa
yang bisa dilakukan oleh sejarawan dalam memanfaatkan novel-novel sejarah
menurut saya ialah bagaimana sebuah novel mampu memperkuat visualisasi
imajinasi sejarawan dalam membayangkan masa lalu. Seperti ketika membaca
novel-novel karya Pram yang menurut saya bagaimana kata-kata yang disusun dalam
novel Pram mampu membuat orang yang membacanya merasakan apa yang dirasakan
oleh tokoh-tokoh tersebut dan mampu membayangkan bagaimana suasana serta
setting lingkungan yang ada dalam novel tersebut. Menurut saya hal inilah yang
menarik dan esensial bagaimana sebuah novel sejarah mampu menigkatkan daya imajinasi
sejarawan, sehingga kelak akan memudahkan sejarawan tersebut untuk menyusun
data-data yang ia dapatkan dan menarasikannya dengan baik menggunakan imajinasi
tadi.
Selain itu dengan menggunakan sebuah novel
sejarawan dapat menggunakan penggambaran dalam novel tersebut sebagai prolog
atau pengantar imajinasi bagi pembaca atau penikmat historiografi. Sehingga
diharapkan dengan menggunakan sebuah prolog yang dikutip dari novel-novel
sejarah maka para pembaca akan mulai mampu membayangkan, mengimajinasikan,
serta mengkaitkan apa yang ada dalam substansi serta kontekstual historiografi
tersebut. Menurut saya penggunaan novel-novel sejarah sebagai prolog dalam sebuah
karya Historiografi akan mampu membuat narasi Hisoriografi terlihat lebih
menarik dan hidup, terlepas dari sebuah kekakuan, karena bagaimanapun narasi
sejarah merupakan sebuah seni yang mengharapkan para pembacanya dapat menikmati
karya tersebut dan mengambil manfaat darinya.
Sumber Bacaan Lainnya:
Lindblad, J. Thomas. Bridge to New Business: The Economic
Decolonization of Indonesia. Leiden: KITLV Press, 2008. [KITLV
Verhandelingen 245]
Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto
dan Ratna Saptari. Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar