Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

PRIMITIF, ROMANTISME, DAN RASISME HISTORIOGRAFI PEJABAT INGGRIS TERHADAP NUSANTARA ABAD XVIII & XIX


Adrian Perkasa
338934
Ketika bangsa Belanda baik terwakili oleh VOC maupun pemerintah kolonialnya sibuk dengan urusan ekonomi nusantara, terdapat kekosongan atas catatan sejarah maupun budaya bangsa–bangsa di nusantara. Hadirnya kajian atas sejarah dan budaya di kepulauan yang sekarang bernama Indonesia ini justru melalui orang Inggris. Dalam buku ini dijelaskan triumvirat pejabat Inggris yang menuliskan sejarah dan budaya nusantara yaitu William Marsden, Thomas Stamford Raffles, dan John Crawfurd. Di samping mereka bertiga terdapat beberapa pegawai pemerintah Inggris lain yakni Michael Symes dan John Anderson. Para pionir historiografi modern atas nusantara ini hingga hari ini memegang peranan penting ketika membahas tentang sejarah historiografi Indonesia. Dalam ulasan ini, saya akan mencoba untuk membahas tentang Conjectural Histories yang menjadi karakteristik para historiografer ini, khususnya pada Marsden, Raffles, dan Crawfurd. Dari pembahasan atas karya ketiga pejabat Inggris tadi kita akan melihat apa yang disebut oleh Michel Foucault(1989) adanya “mutation order into history”.
Sebelum mengulas kajian dari Marsden, Raffles, dan Crawfurd, diperlukan pemahaman atas conjectural history yang mewarnai tulisan ketiga triumvirat itu. Dari istilah conjecture sendiri bisa diperoleh pengertian bahwa sejarah yang dituliskan bersifat perkiraan. Mengapa perkiraan bisa dimasukkan dalam kategori sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat konteks waktu kapan sejarah seperti ini ditulis. Penulisan conjectural history berkembang pada kisaran abad XVIII di Eropa seiring dengan berjalannya masa Pencerahan. Maka arti dari sejarah sendiri jelas tidak bisa disamakan dengan arti sejarah di masa kini. Masa Pencerahan yang membawa filsafat dan ilmu pengetahuan berorientasi penuh kepada manusia atau antroposentris menimbulkan implikasi yang besar. Keingintahuan akan manusia dan ke–manusia–annya, mau tak mau menyeret sejarah agar berguna bagi kepentingant tersebut. Paling tidak seperti inilah jiwa zaman pada saat itu. Munculnya perkiraan atas sejarah sendiri tak bisa dilepaskan dari ketidakpastian bahkan ketiadaan bukti langsung dari masa lalu. Akibatnya, dengan semangat rasionalitas masing–masing penulis sejarah dengan topiknya memilih mengembangkan fakta di masa lalu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya, muncul semacam tahapan atau fase bagi masyarakat atau manusia. Contoh seperti ini muncul juga pada karya Adam Smith yang dikenal ringkasnya dengan The Wealth of Nations.
Karakteristik ini tampak dari historiografi karya Marsden seperti misalnya pembagian kelas dari manusia. Menurut Marsden, kelas manusia paling atas dihuni oleh masyarakat Eropa modern, Yunani kuna, dan mungkin juga Cina. Masyarkat Sumatera ada di kelas ketiga dan keempat. Penduduk Sumatera yang tinggal di kota ada di atas kelas penduduk yang berada kawasan rural. Kelas terbawah dihuni oleh masyarakat Karibia, sekitar Polinesia, dan suku barbar. Meskipun demikian Marsden justru bersimpati kepada masyarakat Sumatera yang tinggal di kawasan pedalaman dan rural. Menurutnya, pada masyarakat itulah terdapat para penjaga benteng kultural terakhir keaslian budaya Sumatera. Lebih khusus lagi Marsden merujuk kepada suku Rejang yang primitif. Masyrakat Rejang mewakili karakter Sumatera yang genuine. Marsden menyebutkan bahwa masyarakat yang telah berinteraksi intens dengan bangsa asing khususnya yang berada di kota–kota utama bagi perdagangan internasional telah kehilangan sama sekali ke–Sumatera–annya. Terlalu banyak unsur–unsur asing mewarnai masyarakat tersebut  khususnya yang berasal dari Melayu dan Jawa. Unsur asing tersebut justru lebih banyak merusak karakter asli masyarakat Sumatera yang terkenal tenang, cinta damai, dan penyabar, sedangkan masyarakat Melayu terkenal dengan sifatnya yang licik dan penuh tipu daya. Sebagai seorang ahli bahasa, Marsden menuliskan bahwa peninggalan yang sangat penting dari masyarakat asli Sumatera adalah bahasanya. Pada sarannya terhadap pemerintah Inggris dan pembaca bukunya, Marsden memperlihatkan satu lagi karakteristik conjectural history yaitu bagaimana orang Eropa memenuhi takdirnya sebagai masyarakat yang telah modern agar mengapresiasi dan menjaga simplisitas dari masyarakat Sumatera yang ada di pedalaman alias primitif.
Setelah dari penulisan sejarah tentang Sumatera, kita menuju ke Jawa. Raffles yang ditugaskan sebagai Letnan–Jenderal atas Jawa menulis apa yang kita kenal sebagai History of Java. Terdapat banyak kesamaan antara karya Raffles dengan Marsden(hal ini tentu saja sangat mungkin terjadi karena mereka saling berhubungan). Karakteristik conjectural history terlihat jelas ketika Raffles berbicara tentang satunya bahasa asali masyarakat di seluruh kepulauan dan adanya degradasi atas perkembangan masyarakat Jawa. Menurut Raffles, adanya perdagangan dan pedagang internasional merupakan faktor paling penting dari perkembangan masyarakat Jawa. Namun setelah kedatangan bangsa Belanda, faktor itu berubah akibat monopoli yang dilakukannya. Hal inilah yang mengganggu bahkan juga mengubah perkembangan alami dari masyarakat jawa.
Sama juga seperti Marsden, Raffles meyakini bahwa bangsa Inggris lah yang paling tepat menjadi penguasa Jawa karena sesuai dengan sistem ekonomi yang diterapkan yaitu liberal dan menganut pasar bebas sesuai dengan karakter masyarakat Jawa. Lebih jauh Raffles membandingkan antara Belanda yang menganut asas merkantilisme memaksa diterapkannya monopoli atas wilayah kekuasaanya. Hal tersebut dilihatnya tidak kompatibel dengan karakter perkembangan masyarakat Jawa yang menjalankan sistem pasar bebas. Di dalam bukunya, Raffles sering terlihat membawa romantisme masa lalu tentang kejayaan masyarakat Jawa. Bahkan di jilid kedua bukunya hampir keseluruhannya diisi tentang puing reruntuhan candi yang ada di seluruh Jawa baik lukisannya maupun deskripsinya. Walaupun demikian, Raffles tidak menginginkan masyarakat Jawa menjadi stagnan, ia juga ingin mengembangkannya dengan teori–teori baru tentang ekonomi. Seperti adanya reformasi kepemilikan tanah yang dianggapnya akan membawa kebaikan bagi masyarakat Jawa. Namun seperti yang dibuktikan oleh sejarah, keinginan Raffles itu jauh panggang dari api.
Karya terakhir merupakan hasil penulisan seorang mantan bawahan Raffles yaitu Crawfurd. Meskipun juga masih didapati kesamaan dengan pendahulunya, Crawfurd memilih jalan yang berbeda. Misalnya dalam permasalahan bahasa. Pada awalnya ia meyakini adanya ketunggalan asal dari bahasa–bahasa di seluruh kepulauan seperti yang menjadi argumen Marsden. Namun setelah melakukan komparasi atas beberapa bahasa, Crawfurd menolak pendapat ini. Argumen Crawfurd ini berasal dari asumsi dasarnya yang mengakui teori poligenesis. Artinya, di kepulauan nusantara terdapat dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok masyarakat berkulit cokelat dengan masyarkat berkulit hitam atau negro. Kedua kelompok ini berbeda secara ras bahkan spesies. Kemudian Crawfurd juga menuliskan tentang perkembangan masyarakat di kepulauan ini. Menurutnya, berkembangnya pemerintahan yang despot, penduduk yang lemah bahkan kurang jantan di kawasan kepulauan ini karena tidak adanya fase penggembalaan (shepherd stage) dalam siklus perkembangan masyarakat. Crawfurd sendiri memiliki kesamaan dengan para sejarawan dan intelektual di masanya yang meyakini suatu interaksi yang kompleks manusia, tanah, iklim dengan kepemilikan, agama, dan model pemerintahan menjadi variabel yang rumit dalam masyarakat. Pandangan Crawfurd ini membawa kita bisa menyematkan sosok rasis kepadanya.
Dari ulasan singkat tentang ketiga penulis sejarah tadi, dapat dipahami bahwa munculnya karakter conjectural history terjadi akibat jarangnya atau bahkan ketiadaan sumber–sumber untuk mengkonstruksikan sejarah masyarakat di dunia baru bagi orang Eropa itu. Lebih sewenang–wenang lagi, Marsden menolak sumber–sumber asli masyarakat lokal karena dianggap tak lebih dari bualan dan penuh ketidak konsistenan. Hal yang paling jelas dari penulisan sejarah Marsden, Raffles, dan Crawfurd tentang penggunaan conjectural history adalah untuk melegitimasi meningkatnya dominasi Eropa di kawasan Asia Tenggara. Seperti yang bisa dilihat dari ketiga tulisan tadi, pada akhirnya mereka meletakkan bangsa Eropa khususnya Inggris sebagai kelompok yang lebih superior dibanding masyarakat–masyarakat yang menjadi objek penelitian mereka. Kembali lagi pada pembukaan ulasan singkat ini tentang sitiran dari Foucault adanya “mutation order into history”.

Bacaan tambahan:
Palmeri, Frank, “Conjectural History and Satire: Narrative as Historical Argument from Mandeville to Malthus(And Foucault)” dalam Narrative, Vol.14, No.1(January, 2006) hal. 64–84. Ohio: Ohio State University Press. Pdf didownload dari http://www.jstor.org/stable/20107381

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar