Adrian
Perkasa
338934
Ketika bangsa Belanda baik terwakili
oleh VOC maupun pemerintah kolonialnya sibuk dengan urusan ekonomi nusantara,
terdapat kekosongan atas catatan sejarah maupun budaya bangsa–bangsa di
nusantara. Hadirnya kajian atas sejarah dan budaya di kepulauan yang sekarang
bernama Indonesia ini justru melalui orang Inggris. Dalam buku ini dijelaskan
triumvirat pejabat Inggris yang menuliskan sejarah dan budaya nusantara yaitu
William Marsden, Thomas Stamford Raffles, dan John Crawfurd. Di samping mereka
bertiga terdapat beberapa pegawai pemerintah Inggris lain yakni Michael Symes
dan John Anderson. Para pionir historiografi modern atas nusantara ini hingga
hari ini memegang peranan penting ketika membahas tentang sejarah historiografi
Indonesia. Dalam ulasan ini, saya akan mencoba untuk membahas tentang Conjectural Histories yang menjadi
karakteristik para historiografer ini, khususnya pada Marsden, Raffles, dan
Crawfurd. Dari pembahasan atas karya ketiga pejabat Inggris tadi kita akan
melihat apa yang disebut oleh Michel Foucault(1989) adanya “mutation order into history”.
Sebelum mengulas kajian dari Marsden,
Raffles, dan Crawfurd, diperlukan pemahaman atas conjectural history yang mewarnai tulisan ketiga triumvirat itu.
Dari istilah conjecture sendiri bisa
diperoleh pengertian bahwa sejarah yang dituliskan bersifat perkiraan. Mengapa
perkiraan bisa dimasukkan dalam kategori sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini
kita harus melihat konteks waktu kapan sejarah seperti ini ditulis. Penulisan conjectural history berkembang pada kisaran abad XVIII di Eropa seiring dengan
berjalannya masa Pencerahan. Maka arti dari sejarah sendiri jelas tidak bisa
disamakan dengan arti sejarah di masa kini. Masa Pencerahan yang membawa
filsafat dan ilmu pengetahuan berorientasi penuh kepada manusia atau
antroposentris menimbulkan implikasi yang besar. Keingintahuan akan manusia dan
ke–manusia–annya, mau tak mau menyeret sejarah agar berguna bagi kepentingant
tersebut. Paling tidak seperti inilah jiwa zaman pada saat itu. Munculnya perkiraan
atas sejarah sendiri tak bisa dilepaskan dari ketidakpastian bahkan ketiadaan
bukti langsung dari masa lalu. Akibatnya, dengan semangat rasionalitas
masing–masing penulis sejarah dengan topiknya memilih mengembangkan fakta di
masa lalu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya, muncul semacam tahapan
atau fase bagi masyarakat atau manusia. Contoh seperti ini muncul juga pada
karya Adam Smith yang dikenal ringkasnya dengan The Wealth of Nations.
Karakteristik ini tampak dari
historiografi karya Marsden seperti misalnya pembagian kelas dari manusia.
Menurut Marsden, kelas manusia paling atas dihuni oleh masyarakat Eropa modern,
Yunani kuna, dan mungkin juga Cina. Masyarkat Sumatera ada di kelas ketiga dan
keempat. Penduduk Sumatera yang tinggal di kota ada di atas kelas penduduk yang
berada kawasan rural. Kelas terbawah dihuni oleh masyarakat Karibia, sekitar
Polinesia, dan suku barbar. Meskipun demikian Marsden justru bersimpati kepada
masyarakat Sumatera yang tinggal di kawasan pedalaman dan rural. Menurutnya,
pada masyarakat itulah terdapat para penjaga benteng kultural terakhir keaslian
budaya Sumatera. Lebih khusus lagi Marsden merujuk kepada suku Rejang yang
primitif. Masyrakat Rejang mewakili karakter Sumatera yang genuine. Marsden menyebutkan bahwa masyarakat yang telah
berinteraksi intens dengan bangsa asing khususnya yang berada di kota–kota
utama bagi perdagangan internasional telah kehilangan sama sekali
ke–Sumatera–annya. Terlalu banyak unsur–unsur asing mewarnai masyarakat
tersebut khususnya yang berasal dari
Melayu dan Jawa. Unsur asing tersebut justru lebih banyak merusak karakter asli
masyarakat Sumatera yang terkenal tenang, cinta damai, dan penyabar, sedangkan
masyarakat Melayu terkenal dengan sifatnya yang licik dan penuh tipu daya.
Sebagai seorang ahli bahasa, Marsden menuliskan bahwa peninggalan yang sangat
penting dari masyarakat asli Sumatera adalah bahasanya. Pada sarannya terhadap
pemerintah Inggris dan pembaca bukunya, Marsden memperlihatkan satu lagi
karakteristik conjectural history
yaitu bagaimana orang Eropa memenuhi takdirnya sebagai masyarakat yang telah
modern agar mengapresiasi dan menjaga simplisitas dari masyarakat Sumatera yang
ada di pedalaman alias primitif.
Setelah dari penulisan sejarah tentang
Sumatera, kita menuju ke Jawa. Raffles yang ditugaskan sebagai Letnan–Jenderal
atas Jawa menulis apa yang kita kenal sebagai History of Java. Terdapat banyak kesamaan antara karya Raffles
dengan Marsden(hal ini tentu saja sangat mungkin terjadi karena mereka saling
berhubungan). Karakteristik conjectural
history terlihat jelas ketika Raffles berbicara tentang satunya bahasa
asali masyarakat di seluruh kepulauan dan adanya degradasi atas perkembangan
masyarakat Jawa. Menurut Raffles, adanya perdagangan dan pedagang internasional
merupakan faktor paling penting dari perkembangan masyarakat Jawa. Namun
setelah kedatangan bangsa Belanda, faktor itu berubah akibat monopoli yang
dilakukannya. Hal inilah yang mengganggu bahkan juga mengubah perkembangan
alami dari masyarakat jawa.
Sama juga seperti Marsden, Raffles
meyakini bahwa bangsa Inggris lah yang paling tepat menjadi penguasa Jawa
karena sesuai dengan sistem ekonomi yang diterapkan yaitu liberal dan menganut
pasar bebas sesuai dengan karakter masyarakat Jawa. Lebih jauh Raffles
membandingkan antara Belanda yang menganut asas merkantilisme memaksa
diterapkannya monopoli atas wilayah kekuasaanya. Hal tersebut dilihatnya tidak
kompatibel dengan karakter perkembangan masyarakat Jawa yang menjalankan sistem
pasar bebas. Di dalam bukunya, Raffles sering terlihat membawa romantisme masa
lalu tentang kejayaan masyarakat Jawa. Bahkan di jilid kedua bukunya hampir
keseluruhannya diisi tentang puing reruntuhan candi yang ada di seluruh Jawa
baik lukisannya maupun deskripsinya. Walaupun demikian, Raffles tidak
menginginkan masyarakat Jawa menjadi stagnan, ia juga ingin mengembangkannya
dengan teori–teori baru tentang ekonomi. Seperti adanya reformasi kepemilikan
tanah yang dianggapnya akan membawa kebaikan bagi masyarakat Jawa. Namun seperti
yang dibuktikan oleh sejarah, keinginan Raffles itu jauh panggang dari api.
Karya terakhir merupakan hasil penulisan
seorang mantan bawahan Raffles yaitu Crawfurd. Meskipun juga masih didapati
kesamaan dengan pendahulunya, Crawfurd memilih jalan yang berbeda. Misalnya
dalam permasalahan bahasa. Pada awalnya ia meyakini adanya ketunggalan asal
dari bahasa–bahasa di seluruh kepulauan seperti yang menjadi argumen Marsden.
Namun setelah melakukan komparasi atas beberapa bahasa, Crawfurd menolak
pendapat ini. Argumen Crawfurd ini berasal dari asumsi dasarnya yang mengakui
teori poligenesis. Artinya, di kepulauan nusantara terdapat dua kelompok yang
berbeda yaitu kelompok masyarakat berkulit cokelat dengan masyarkat berkulit
hitam atau negro. Kedua kelompok ini berbeda secara ras bahkan spesies.
Kemudian Crawfurd juga menuliskan tentang perkembangan masyarakat di kepulauan
ini. Menurutnya, berkembangnya pemerintahan yang despot, penduduk yang lemah
bahkan kurang jantan di kawasan kepulauan ini karena tidak adanya fase
penggembalaan (shepherd stage) dalam
siklus perkembangan masyarakat. Crawfurd sendiri memiliki kesamaan dengan para
sejarawan dan intelektual di masanya yang meyakini suatu interaksi yang
kompleks manusia, tanah, iklim dengan kepemilikan, agama, dan model
pemerintahan menjadi variabel yang rumit dalam masyarakat. Pandangan Crawfurd
ini membawa kita bisa menyematkan sosok rasis kepadanya.
Dari ulasan singkat tentang ketiga
penulis sejarah tadi, dapat dipahami bahwa munculnya karakter conjectural history terjadi akibat
jarangnya atau bahkan ketiadaan sumber–sumber untuk mengkonstruksikan sejarah
masyarakat di dunia baru bagi orang Eropa itu. Lebih sewenang–wenang lagi,
Marsden menolak sumber–sumber asli masyarakat lokal karena dianggap tak lebih
dari bualan dan penuh ketidak konsistenan. Hal yang paling jelas dari penulisan
sejarah Marsden, Raffles, dan Crawfurd tentang penggunaan conjectural history adalah untuk melegitimasi meningkatnya dominasi
Eropa di kawasan Asia Tenggara. Seperti yang bisa dilihat dari ketiga tulisan
tadi, pada akhirnya mereka meletakkan bangsa Eropa khususnya Inggris sebagai
kelompok yang lebih superior dibanding masyarakat–masyarakat yang menjadi objek
penelitian mereka. Kembali lagi pada pembukaan ulasan singkat ini tentang sitiran
dari Foucault adanya “mutation order into
history”.
Bacaan
tambahan:
Palmeri,
Frank, “Conjectural History and Satire: Narrative as Historical Argument from
Mandeville to Malthus(And Foucault)” dalam Narrative,
Vol.14, No.1(January, 2006) hal. 64–84. Ohio: Ohio State University Press. Pdf
didownload dari http://www.jstor.org/stable/20107381
Tidak ada komentar:
Posting Komentar