Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

PENULISAN SEJARAH ASIA TENGGARA DALAM PERSPEKTIF DUA SEJARAWAN


Adrian Perkasa
338934
Kajian suatu kawasan atau region, selain menekankan aspek geografis, juga harus melibatkan variabel lainnya khususnya sejarah dan politik. Betapa tidak, penamaan suatu kawasan di dunia berasal dari pengamatan satu sudut pandang tertentu terhadap kawasan yang menjadi objeknya. Kawasan Timur Tengah (Middle–East) dan Timur Jauh (Far–East) misalnya. Istilah tersebut merujuk pada beberapa daerah, yang pertama disangkutkan dengan wilayah  di sekitar semenanjung arabia khususnya di sebelah utara dan timurnya. Sedangkan yang kedua, dinisbahkan kepada wilayah Cina dan sekitarnya termasuk kepulauan Jepang dan Formosa. Kedua istilah kawasan ini tentu saja tidak berasal dari kalangan mereka sendiri. Penamaan arbitrer ini berasal dari penulisan Barat terhadap kedua kawasan itu.
Bagaimana pendefinisian terhadap suatu kawasan? Definisi tentang kawasan atau region bersifat sangat longgar. Sampai sekarang kita akan mengalami kesulitan ketika harus menyebutkan misalnya dalam konteks politik, negara–bangsa (nation–state) manakah yang termasuk dalam kawasan Timur Tengah? Kita akan mendapat tantangan untuk memasukkan beberapa negara tertentu seperti Mesir, Turki atau bahkan Iran. Ada beberapa sarjana yang sepakat memasukkan kesemuanya, ada yang beberapa dimasukkan, ada yang tidak dimasukkan ke dalam kawasan itu(Wyatt–Walter, 1995). Kesulitan itu akan sampai ketika masing–masing negara secara politis menentukan untuk membentuk sebuah regionalisme entah melalui konsensus maupun organisasi internasional. Asia tenggara dengan ASEAN sebagai organisasi regionalnya menjadi contoh dan topik utama pada ulasan ini.
Terdapat dua paper yang akan saya ulas di sini. Keduanya berfokus tentang kajian penulisan sejarah Asia Tenggara. Pertama adalah D.G.E. Hall dengan papernya “On the Study of Southeast Asian History”. Kedua adalah T.N.Harper dengan papernya “ ’Asian Values’ and Southeast Asian Histories”. Konteks kawasan atau region seperti yang saya sebutkan sebelumnya terlihat jelas pada kedua paper tersebut. Bagaimana para sarjana Barat tersebut membuat konstruksi sedemikian rupa tentang negara –negara di kawasan Asia Tenggara. Bahkan Harper yang menyinggung tentang adanya proses dekonstruksi pun tidak bisa lepas dari konstruk itu. Asia Tenggara dalam kajian mereka dianggap sebagai sebuah suatu entitas yang final, terdiri atas negara–negara yang kemudian tergabung dalam ASEAN. Dapat dipahami karena jika kita melihat konteks waktu dari penulisan kedua paper itu, walaupun terentang jarak 37 tahun, masih menganggap regionalisme lebih pada aspek geografisnya saja. Terlepas dari itu, kita akan mengulas paper Hall terlebih dahulu.
Hall sebagai seorang sejarawan dikenal dengan kajian sejarah Asia Tenggara melalui bukunya A History of South–East Asia. Pada papernya, Hall membawa dua permasalahan utama yaitu tentang periodesasi sejarah Asia Tenggara dan muncul seta berkembangnya studi sejarah Asia Tenggara di kalangan sarjana Amerika Serikat. Tentang periodesasi sejarah Asia Tenggara maupun di negara–negara di dalamnya pada umumnya memiliki masalah karena adanya kolonialisme di kawasan ini. Kolonialisme yang dibawa oleh bangsa Eropa membawa dampak bagi penulisan sejarah masing–masing daerah yang menjadi wilayah jajahannya. Akibatnya penulisan sejarah, khususnya pada masa awal adanya penulisan sejarah modern, memiliki pandangan yang oleh Van Leur disebut Europo–centrism. Oleh Van Leur diketengahkan suatu contoh tentang penulisan sejarah untuk wilayah Indonesia adalah karya dari F.W.Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Perspektif yang sentral tentang Eropa salah satunya terlihat pada periodesasi yang dibuatnya. Dari periode–periode sejarah kebanyakan hanya menuliskan tentang sejarah bangsa Eropa di wilayah Nederland Indie.
Menurut Hall, adanya kesewenangan dari para sejarawan Eropa terhadap penulisan sejarah di Asia Tenggara sulit untuk dihindari. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah sedikitnya sumber–sumber sejarah lokal yang bisa dipakai untuk menulis sejarah kritis. Sekali lagi ini dapat dimaklumi karena pada saat itu masih terdapat pengabaian terhadap arti penting sumber–sumber lokal. Selain itu, kesulitan pada periodesasi sejarah di Asia Tenggara adalah tidak bisa disamakan begitu saja istilah periode di Asia Tenggara dengan periode di Eropa. Misalnya, terhadap pemakaian istilah ‘ancient’,’mediaeval’, dan ‘modern’ pada periodesasi di Asia Tenggara. Kesulitan ini baru pada periodesasi di suatu wilayah saja, bagaimana apabila lokusnya diubah menjadi kawasan Asia Tenggara?
Hall menunjukkan contoh tentang periodesasi sejarah kawasan Asia Tenggara melalui periodesasi yang dibuatnya di dalam bukunya. Periodesasi yang dibuatnya ini bukannya tanpa masalah, bahkan menurut Hall sendiri terdapat kesulitan–kesulitan yang ditemui ketika menentukan periode ditulisnya sejarah suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Contohnya ketika membahas suatu periode abad XIII, maka yang kondisi progresivitas di kawasan kepulauan, tidak bisa disamakan dengan apa yang ada di wilayah asia tenggara kontinental seperti daerah Campa. Belum lagi jika menginjak periode kolonial. Bagaimana misalnya sejarah Siam yang menurut babon sejarah nasionalnya tidak pernah mengalami masa kolonisasi dibanding seluruh daerah asia tenggara lainnya. Walaupun babon sejarah nasional Thailand pun kini tak lepas dari dekonstruksi para sejarawan khususnya oleh sejarawan Thailand sendiri(Winichakul, 2011).
Selain membahas persoalan tersebut, Hall juga mengetengahkan bagaimana studi sejarah Asia Tenggara semakin berkembang di kalangan sarjana Amerika Serikat. Perkembangan ini menggembirakan mengingat semakin banyak tema–tema baru yang menjadi perhatian para sarjana itu. Namun di satu sisi, Hall merisaukan perkembangan ini. mengapa demikian? Kerisauan itu terjadi karena para sarjana Amerika tadi menulis sejarah berdasarkan induk ilmu masing–masing. Misalnya politik, antropologi, sosiologi, dan ilmu sosial lainnya. Jadi, sejarah hanya dibuat sebagai latar belakang saja. Poin terakhir dalam artikel Hall inilah yang ternyata beririsan dengan artikel yang ditulis oleh Harper. Menurut Harper dalam kurun waktu penulisan artikel ini (tahun 1997), para sarjana khususnya dari Amerika Serikat banyak memperhatikan pada munculnya “Asian values”. Istilah tersebut disematkan kepada sebuah zeitgeist yang muncul di kawasan Asia pada era pasca Perang Dingin. Namun yang disayangkan oleh Harper seringkali terdapat kekeliruan pandangan para intelektual Barat terhadap Asian values apabila dibandingkan dengan pemahaman orang Asia sendiri. Seperti contoh yang dikemukakan oleh Mahathir Mohamad. Menurutnya Asian values adalah tantangan terhadap neo–imperialisme yang dilakukan oleh Barat. Mahathir menambahkan bahwa sudah seharusnya Barat melakukan introspeksi atas kelemahan struktural pada sistem nilainya dan memberikan apresiasi yang layak pada keberhasilan bangsa –bangsa Asia memperoleh kemajuan. Karena keterbatasan ruang, terakhir kita membahas tentang perdebatan Asian values yang sebenarnya berorientasi pada sejarah. Dari diskursus tersebut muncul tiga tema besar yaitu pertama rekonstruksi periodesasi sejarah Asia Tenggara berdasarkan sejarah dan biografi masyarakatnya sendiri. Kedua adanya kajian baru tentang arsip, manuskrip, dan naskah –naskah lain yang dicetak. Terakhir tentang penemuan kembali sejarah kolonial dan juga penilaian ulang terhadap konsep kebangsaan.

Bacaan tambahan
Winichakul, Thongchai, “Siam’s Colonial Condition and The Birth of Thai History” dalam Southeast Asian Historiography Unravelling the Myths Essays in honour of Barend Jan Terwiel, editor Volker Grabowsky, Bangkok: River Books, 2011
Wyatt –Walter, Andrew, “Regionalism, Globalization, and World Economic Order” dalam Regionalism in World Politics, editor Louis Fawcett and Andrew Hurrel, London: Oxford University Press, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar