Adrian
Perkasa
338934
Kajian suatu kawasan atau region, selain
menekankan aspek geografis, juga harus melibatkan variabel lainnya khususnya
sejarah dan politik. Betapa tidak, penamaan suatu kawasan di dunia berasal dari
pengamatan satu sudut pandang tertentu terhadap kawasan yang menjadi objeknya.
Kawasan Timur Tengah (Middle–East) dan Timur Jauh (Far–East) misalnya. Istilah
tersebut merujuk pada beberapa daerah, yang pertama disangkutkan dengan
wilayah di sekitar semenanjung arabia
khususnya di sebelah utara dan timurnya. Sedangkan yang kedua, dinisbahkan
kepada wilayah Cina dan sekitarnya termasuk kepulauan Jepang dan Formosa. Kedua
istilah kawasan ini tentu saja tidak berasal dari kalangan mereka sendiri.
Penamaan arbitrer ini berasal dari penulisan Barat terhadap kedua kawasan itu.
Bagaimana pendefinisian terhadap suatu
kawasan? Definisi tentang kawasan atau region bersifat sangat longgar. Sampai
sekarang kita akan mengalami kesulitan ketika harus menyebutkan misalnya dalam
konteks politik, negara–bangsa (nation–state) manakah yang termasuk dalam
kawasan Timur Tengah? Kita akan mendapat tantangan untuk memasukkan beberapa
negara tertentu seperti Mesir, Turki atau bahkan Iran. Ada beberapa sarjana
yang sepakat memasukkan kesemuanya, ada yang beberapa dimasukkan, ada yang tidak
dimasukkan ke dalam kawasan itu(Wyatt–Walter, 1995). Kesulitan itu akan sampai
ketika masing–masing negara secara politis menentukan untuk membentuk sebuah
regionalisme entah melalui konsensus maupun organisasi internasional. Asia
tenggara dengan ASEAN sebagai organisasi regionalnya menjadi contoh dan topik
utama pada ulasan ini.
Terdapat dua paper yang akan saya ulas
di sini. Keduanya berfokus tentang kajian penulisan sejarah Asia Tenggara.
Pertama adalah D.G.E. Hall dengan papernya “On the Study of Southeast Asian
History”. Kedua adalah T.N.Harper dengan papernya “ ’Asian Values’ and
Southeast Asian Histories”. Konteks kawasan atau region seperti yang saya
sebutkan sebelumnya terlihat jelas pada kedua paper tersebut. Bagaimana para
sarjana Barat tersebut membuat konstruksi sedemikian rupa tentang negara
–negara di kawasan Asia Tenggara. Bahkan Harper yang menyinggung tentang adanya
proses dekonstruksi pun tidak bisa lepas dari konstruk itu. Asia Tenggara dalam
kajian mereka dianggap sebagai sebuah suatu entitas yang final, terdiri atas
negara–negara yang kemudian tergabung dalam ASEAN. Dapat dipahami karena jika
kita melihat konteks waktu dari penulisan kedua paper itu, walaupun terentang
jarak 37 tahun, masih menganggap regionalisme lebih pada aspek geografisnya
saja. Terlepas dari itu, kita akan mengulas paper Hall terlebih dahulu.
Hall sebagai seorang sejarawan dikenal
dengan kajian sejarah Asia Tenggara melalui bukunya A History of South–East
Asia. Pada papernya, Hall membawa dua permasalahan utama yaitu tentang
periodesasi sejarah Asia Tenggara dan muncul seta berkembangnya studi sejarah
Asia Tenggara di kalangan sarjana Amerika Serikat. Tentang periodesasi sejarah
Asia Tenggara maupun di negara–negara di dalamnya pada umumnya memiliki masalah
karena adanya kolonialisme di kawasan ini. Kolonialisme yang dibawa oleh bangsa
Eropa membawa dampak bagi penulisan sejarah masing–masing daerah yang menjadi
wilayah jajahannya. Akibatnya penulisan sejarah, khususnya pada masa awal
adanya penulisan sejarah modern, memiliki pandangan yang oleh Van Leur disebut
Europo–centrism. Oleh Van Leur diketengahkan suatu contoh tentang penulisan
sejarah untuk wilayah Indonesia adalah karya dari F.W.Stapel, Geschiedenis van
Nederlandsch Indie. Perspektif yang sentral tentang Eropa salah satunya
terlihat pada periodesasi yang dibuatnya. Dari periode–periode sejarah
kebanyakan hanya menuliskan tentang sejarah bangsa Eropa di wilayah Nederland
Indie.
Menurut Hall, adanya kesewenangan dari
para sejarawan Eropa terhadap penulisan sejarah di Asia Tenggara sulit untuk
dihindari. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah
sedikitnya sumber–sumber sejarah lokal yang bisa dipakai untuk menulis sejarah
kritis. Sekali lagi ini dapat dimaklumi karena pada saat itu masih terdapat
pengabaian terhadap arti penting sumber–sumber lokal. Selain itu, kesulitan
pada periodesasi sejarah di Asia Tenggara adalah tidak bisa disamakan begitu
saja istilah periode di Asia Tenggara dengan periode di Eropa. Misalnya,
terhadap pemakaian istilah ‘ancient’,’mediaeval’, dan ‘modern’ pada periodesasi
di Asia Tenggara. Kesulitan ini baru pada periodesasi di suatu wilayah saja,
bagaimana apabila lokusnya diubah menjadi kawasan Asia Tenggara?
Hall menunjukkan contoh tentang
periodesasi sejarah kawasan Asia Tenggara melalui periodesasi yang dibuatnya di
dalam bukunya. Periodesasi yang dibuatnya ini bukannya tanpa masalah, bahkan
menurut Hall sendiri terdapat kesulitan–kesulitan yang ditemui ketika
menentukan periode ditulisnya sejarah suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
Contohnya ketika membahas suatu periode abad XIII, maka yang kondisi
progresivitas di kawasan kepulauan, tidak bisa disamakan dengan apa yang ada di
wilayah asia tenggara kontinental seperti daerah Campa. Belum lagi jika
menginjak periode kolonial. Bagaimana misalnya sejarah Siam yang menurut babon
sejarah nasionalnya tidak pernah mengalami masa kolonisasi dibanding seluruh
daerah asia tenggara lainnya. Walaupun babon sejarah nasional Thailand pun kini
tak lepas dari dekonstruksi para sejarawan khususnya oleh sejarawan Thailand
sendiri(Winichakul, 2011).
Selain membahas persoalan tersebut, Hall
juga mengetengahkan bagaimana studi sejarah Asia Tenggara semakin berkembang di
kalangan sarjana Amerika Serikat. Perkembangan ini menggembirakan mengingat
semakin banyak tema–tema baru yang menjadi perhatian para sarjana itu. Namun di
satu sisi, Hall merisaukan perkembangan ini. mengapa demikian? Kerisauan itu
terjadi karena para sarjana Amerika tadi menulis sejarah berdasarkan induk ilmu
masing–masing. Misalnya politik, antropologi, sosiologi, dan ilmu sosial
lainnya. Jadi, sejarah hanya dibuat sebagai latar belakang saja. Poin terakhir
dalam artikel Hall inilah yang ternyata beririsan dengan artikel yang ditulis
oleh Harper. Menurut Harper dalam kurun waktu penulisan artikel ini (tahun
1997), para sarjana khususnya dari Amerika Serikat banyak memperhatikan pada
munculnya “Asian values”. Istilah tersebut disematkan kepada sebuah zeitgeist
yang muncul di kawasan Asia pada era pasca Perang Dingin. Namun yang disayangkan
oleh Harper seringkali terdapat kekeliruan pandangan para intelektual Barat
terhadap Asian values apabila dibandingkan dengan pemahaman orang Asia sendiri.
Seperti contoh yang dikemukakan oleh Mahathir Mohamad. Menurutnya Asian values
adalah tantangan terhadap neo–imperialisme yang dilakukan oleh Barat. Mahathir
menambahkan bahwa sudah seharusnya Barat melakukan introspeksi atas kelemahan
struktural pada sistem nilainya dan memberikan apresiasi yang layak pada
keberhasilan bangsa –bangsa Asia memperoleh kemajuan. Karena keterbatasan
ruang, terakhir kita membahas tentang perdebatan Asian values yang sebenarnya
berorientasi pada sejarah. Dari diskursus tersebut muncul tiga tema besar yaitu
pertama rekonstruksi periodesasi sejarah Asia Tenggara berdasarkan sejarah dan
biografi masyarakatnya sendiri. Kedua adanya kajian baru tentang arsip,
manuskrip, dan naskah –naskah lain yang dicetak. Terakhir tentang penemuan
kembali sejarah kolonial dan juga penilaian ulang terhadap konsep kebangsaan.
Bacaan
tambahan
Winichakul,
Thongchai, “Siam’s Colonial Condition and The Birth of Thai History” dalam Southeast Asian Historiography Unravelling the
Myths Essays in honour of Barend Jan Terwiel, editor Volker Grabowsky,
Bangkok: River Books, 2011
Wyatt
–Walter, Andrew, “Regionalism, Globalization, and World Economic Order” dalam Regionalism in World Politics, editor
Louis Fawcett and Andrew Hurrel, London: Oxford University Press, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar