Adrian
Perkasa
338934
Kolonialisme Barat membawa banyak
implikasi bagi masyarakat pribumi yang dikoloninya. Tidak hanya kekayaan alam
dan kekuasaan politik yang didapatkan, namun juga patron dari modernitas tak
bisa dilepaskan dari pengaruh kekuatan banga Barat khususnya Eropa. Modernitas
tentu saja tidak berdiri sendiri, salah satu unsur utamanya adalah ilmu
pengetahuan(science). Rasionalitas Barat, yang muncul dan berkembang pasca era
Renaissance dan Pencerahan bermuara pada positivisme ilmu pengetahuan pada abad
ke–19, secara sengaja maupun tidak diperkenalkan kepada masyarakat pribumi yang
menjadi koloni. Jelas porsi yang diperoleh penduduk wilayah koloni adalah
sebagai objek. Sejarah mencatat bahwa tidak selamanya bangsa Eropa menguasai
daerah jajahannya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, hampir seluruh daerah
koloni bangsa Eropa memperoleh kemerdekaan. Walaupun secara politik dapat
dikatakan banyak kondisi yang berubah secara signifikan, akan tetapi di
beberapa aspek lain kemerdekaan itu patut dipertanyakan. Salah satunya adalah
dalam ranah ilmu pengetahuan.
Argumen
saya tentang permasalahan ini didasarkan pada tulisan dari Linda Tuhiwai Smith
khususnya pada bab pertama dalam bukunya Decolonizing Methodologies. Pertanyaan
besar yang dibahas dalam buku ini sebenarnya adalah tentang penelitian beserta
komponen intinya yaitu metodologi. Apabila dilakukan simplifikasi tentang
permasalahan ini, pertanyaannya adalah mungkinkah dengan ilmu pengetahuan dus
metodologi yang dimiliki dan diperkenalkan oleh bangsa Barat masih relevan
untuk diterapkan ketika bangsa pribumi berkehendak menjelaskannya melalui cara
dan metodenya sendiri? Lebih khusus lagi mungkinkah bangsa pribumi menjadi
subjek atas ilmu pengetahuan dan metodologinya sendiri? Memang secara sekilas
jika kita membaca buku ini mulai awal hingga akhir kesan pertama yang kita
dapatkan adalah Smith menulis dengan semangat anti terhadap penelitian. Menurut
argumennya penelitian dan khususnya metodologi yang kita pakai dari bangsa Barat
pasti akan mengalami kegagalan untuk menjadikan bangsa pribumi sebagai subjek.
Namun jika kita mengamati secara cermat apa yang ditulis oleh Smith ini lebih
merupakan suatu sejarah tentang penelitian masyarakat pribumi. Hal ini
dipertegas oleh Smith pada bagian pengantar bukunya.
Penjelasan
dari argumen Smith dapat dilihat pada bab pertama buku ini. Kutipan pada awal
dan akhir bab ini juga menjelaskan pertanyaan besar yang dikemukakan oleh
Smith, bagaimana mungkin peralatan atau perkakas sang empunya rumah digunakan
untuk membongkar(dismantle) rumahnya sendiri? Logika dalam berpikir secara
ilmiah ini terartikulasikan melalui empat konsep penting yang menjadi bahasa
utama bab ini, yaitu imperialisme, sejarah, menulis, dan teori. Konsep–konsep
inilah yang problematis bagi masyarakat pribumi. Lebih lanjut Smith mengaggap
bahwa konsep–konsep ini telah membawa pengetahuan, budaya, hingga bahasa
pribumi didiamkan dalam wujud dimisrepresentasi, ditertawakan, diejek dalam
diskursus populer maupun akademik.
Imperialisme
dalam pengertian Smith di sini tidak hanya berbicara tentang ekspansi ekonomis
saja, menundukkan sang liyan, maupun aktivitas global suatu bangsa dalam arti
yang luas khususnya bangsa Eropa pada era modern. Imperialisme yang dimaksud di
sini adalah tentang suatu diskursus pengetahuan dan perkembangannya. Lebih
khusus lagi bagaimana imperialisme telah menjangkau alam pikiran masyarakat
yang selama ini terjajah. Pada akhirnya ketika masa kolonialisme berakhir maka
muncul para aktivis pemikir yang berusaha melakukan perlawanan terhadap
imperialisme seperti Frantz Fanon, Gayatri Spivak dan lainnya yang
memperkenalkan studi poskolonialisme. Dalam istilah lain studi ini sering
disebut juga penulisan dari yang selama ini terpinggirkan atau termarginalkan.
Maka muncul beragam konsen dan topik penelitian yang berfokus pada masyarakat
pribumi mulai dari hak asasi, perbudakan, sampai yang termutakhir misalnya
tentang pasar bebas dalam World Trade Organization atau WTO (dalam bahasa Smith
masih ditulis GATT yang kita kenal sebagai embrio WTO).
Sedangkan
dari tiga konsep lainnya tentang sejarah, menulis, dan teori, Smith merangkum
dalam beberapa ide tentang kritik sejarah Barat yang dianggap sebagai proyek
kaum modernis. Ide –ide tersebut antara lain ide bahwa sejarah adalah diskursus
totalitas. Ide bahwa adanya suatu sejarah yang universal. Ide bahwa sejarah
adalah sebuah kronologi besar. Ide bahwa sejarah adalah sesuatu tentang
perkembangan. Ide bahwa sejarah adalah tentang aktualisasi diri manusia sebagai
subjek. Ide bahwa sejarah adalah cerita
yang bisa dirangkum dalam satu narasi yang koheren. Ide bahwa sejarah
adalah suatu disiplin yang tidak kenal salah. Ide bahwa sejarah dikategorikan
dalam suatu oposisi biner. Ide bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat
patriarki. Ide penting lainnya adalah bagaimana interseksi antar ide ini
tentang konsep penting lainnya misalnya tentang literasi. Dalam simpulan bab
ini, Smith membawa kita pada suatu saran tentang pentingnya memiliki pemahaman
yang kritis terhadap penelitian dan komponen–komponennya, tidak hanya teknisnya
tetapi juga secara konseptual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar