Adrian
Perkasa
338934
Seperangkat ilmu pengetahuan modern
khususnya ilmu sosial dan budaya merujuk pada ide positivis diharapkan mampu
menjawab segala permasalahan sosial yang ada. Namun pada kenyataannya yang
muncul adalah berbagai polemik baru, khusus yang terjadi di Dunia Ketiga adalah
ketidaksesuaian antara teori di dalam buku–buku diktat dengan realitas yang ada
dalam keseharian masyarakat. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan validkah
teori–teori sosial yang ada jika dihadapkan pada masalah di Dunia Ketiga? Jika
memang bisa berlaku, sejauh mana teori tersebut bisa menjadi semacam teori yang
generik bagi Dunia Ketiga? Bagi Alatas tidak mungkin suatu perangkat ilmu
pengetahuan modern yang diproduksi di dan oleh Barat dapat diberlakukan di
Dunia Ketiga. Posisi yang jelas ini dikemukakan oleh Alatas seperti dalam bab
ketujuh bukunya ini.
Sedari awal munculnya ilmu pengetahuan
yang diklaim sebagai yang modern ini memang oleh bangsa Barat di negara–negara
Barat dan pada akhirnya hanya dapat dijadikan perangkat analisis di Barat saja.
Apabila diringkas dalam sebuah kalimat, berasal di Barat oleh Barat dan untuk
Barat. Menurutnya, tidak mungkin partikularitas suatu kondisi spasial dan
temporal tertentu dapat menjadi sebuah generalisasi besar yang berujung pada
teori yang universal. Apabila kemudian diklaim sebagai yang universal bahkan
merupakan satu–satunya yang mampu mencapai kepada kebenaran (truth), maka klaim tersebut harus
diperiksa secara waspada. Memang kemudian Alatas dalam hal ini menggunakan
argumen dari Michel Foucault tentang relasi pengetahuan, diskursus dan
kekuasaan. Lebih lanjut Alatas mengetengahkan studi pembangunan menjadi contoh
untuk mendukung proposisinya. Dalam ulasan singkat ini, saya akan melakukan
pembacaan atas usaha yang dilakukan Alatas dalam membuktikan ketidakcocokan
ilmu pengetahuan dan diskursus dari Barat diberlakukan atas Dunia Ketiga.
Setelah itu, saya mencoba untuk melakukan kritik dan membongkar kelemahan
argumen Alatas.
Studi
Pembangunan Barat dan Masalahnya
Telah menjadi keprihatinan yang umum di
kalangan ilmuwan tentang perkembangan ilmu sosial di Dunia Ketiga. Menurut
Uberoi seperti yang dikutip oleh Alatas terlalu banyak penerapan ilmu sosial di
Dunia Ketiga secara tidak kritis dan membabi buta. Seperti misalnya pada
teori–teori dalam studi pembangunan (development).
Paling tidak terdapat dua pendekatan utama dalam teori pembangunan yaitu
struktural dan psikologis. Dalam pendekatan struktural, contohnya dalam teori
modernisasi diasumsikan bahwa terdapat tahapan–tahapan yang harus dilalui sebuah
masyarakat sampai akhirnya menuju tahapan tertinggi yakni industrialisasi.
Masalahnya kemudian tahapan ini ternyata hanya berlaku bagi masyarakat Eropa.
Kondisi yang sangat berbeda dialami oleh masyarakat Dunia Ketiga yang tidak
memiliki pengalaman seperti di Eropa. Sedangkan dalam pendekatan psikologis,
masyarakat Barat dinilai lebih memiliki karakteristik psikologis yang
memungkinkan bagi keberhasilan ekonomi dibandingkan masayarakat Dunia Ketiga.
Misalnya di sini tentang konsep need for
achievement yang berasal dari etos Protestan.
Kemudian Alatas melanjutkan dengan
membeberkan masalah pengadopsian teori secara tidak kritis dalam studi
pembangunan. Pertama, tentang dominannya orientasi faktorgenik yang
mengakibatkan kajian menjadi dangkal. Perlu imbangan dengan analisis aktorgenik
agar mampu melihat detail permasalahan secara lebih komprehensif. Kedua, sifat
studi pembangunan yang terlalu umum sehingga mengakibatkannya menjadi mubazir.
Analisis yang terlalu umum tidak akan mampu membawa kita memahami mengapa
negara–negara Dunia Ketiga prestasi ekonominya pada umumnya buruk. Bahkan
Alatas menunjuk peneliti semacam Hamza Alavi yang melakukan generalisasi
kondisi umum negara postkolonial berdasarkan pengalaman Bangaladesh dan
Pakistan. Ketiga, kehadiran teori dan konsep yang salah. Keempat, irelevansi
teori dan konsep Barat dalam konteks non–Barat. Kelima, ketidakmampuan
membadakan yang universal dengan yang partikular. Keenam, kecenderungan untuk
meniru secara negatif. Ketujuh, kurangnya perhatian terhadap isu–isu
metodologis. Kedelapan, simplifikasi masalah pembangunan. Kesembilan, kesalahan
memerinci patologi pembangunan. Kesepuluh, mengabaikan patologi
pembangunan yang riil. Kesebelas,
praktik normalisasi yang ditetapkan dalam batasan proses modernisasi alias
westernisasi.
Terjadinya kondisi sedemikian rupa tadi
dijelaskan oleh Alatas melalui teori yang diajukan oleh Foucault. Melalui
perangkat analisis kritis dan genealogisnya dapat dipahami bagaimana
pengetahuan jelas berkelindan dengan kekuasaan dan tentu kepentingannya. Dalam
penjelasan Alatas tentang Foucault, dapat dipahami bahwa berbicara tentang
kekuasaan Foucault tertarik pada praktik yang mengarah pada normalisasi dan
kontrol disiplin manusia. Dalam kajian studi pembangunan, kita akan melihat
bagaimana proses normalisasi ini berjalan baik kita sadari maupun tidak.
Misalnya tentang kebenaran teori pembangunan Barat baik itu neoklasik hingga
Marxis yang menjadi kebenaran tunggal kemudian disampaikan dan diterapkan
membabi buta baik oleh para akademisi, praktisi sampai pembuat dan pelaksana
kebijakan. Di sinilah masyarakat Dunia Ketiga tetap diperlakukan sebagai objek
untuk diteliti dan diukur melalui ilmu pengetahuan dan diskursus Barat. Apa yang
menjadi standar bagi Barat menjadi suatu yang universal sehingga apabila ada
metode lain, seperti misalnya yang ditunjukkan oleh Alatas dengan metode Islam,
maka hal tersebut diperlakukan sebagai sesuatu yang bukan ilmiah dan perlu
dilakukan normalisasi yang mengatasnamakan kemudahan pembangunan. Kontrol di
sini dilakukan tidak hanya oleh negara saja melainkan juga kalangan akademisi dan antar masyarakat
sendiri.
Beberapa
Kelemahan
Tak bisa dipungkiri bahwa uraian Alatas
membawa kita untuk melakukan pencarian yang mendalam bagi terciptanya suatu
diskursus alternatif dalam ilmu sosial dan budaya bagi kajian di Dunia Ketiga.
Namun menurut saya argumen yang dibangunnya dalam bab ini masih kurang kuat
untuk mendorong kita mengikuti alur pemikirannya. Alih–alih bisa jadi Alatas
justru yang mendapat serangan balik dari mereka yang dikritik oleh Alatas. Hal
ini bisa terjadi karena masih ada beberapa kelemahan yang mencolok dalam
tulisannya. Pertama, tentang masalah generalisasi. Walaupun secara tegas Alatas
mengkritik tentang banyaknya generalisasi dalam studi pembangunan seperti yang
dilakukan oleh Hamza Alavi, namun dari awal bab sampai akhir Alatas selalu
menggeneralisasi sebutan Dunia Ketiga. Tidak jelas siapakah atau masyarakat
manakah yang dirujuk dengan sebutan Dunia Ketiga. Apakah masyarakat ini hanya
untuk masyarakat Malaysia, Asia Tenggara, Pasifik, Afrika atau lainnya? Ada
kemungkinan memang di bab lainnya Alatas telah menjelaskan, hanya saja apabila
kita hanya membaca bab ini saja kita akan terasa kekurangan ini.
Kedua, tentang konsep diskursus
alternatif yang ditawarkan oleh Alatas. Senyampang yang saya ketahui, Alatas
hanya menggunakan konsepn yang familier bagi kalangan Islam saja. Seperti
penggunaan istilah dari Ibnu Khaldun yang disebutnya lebih familier bagi
masyarakat non–Barat atau Dunia Ketiga. Sekali lagi hal ini menunjukkan adanya
generalisasi yang berlebihan. Mungkin asumsi Alatas ini akan lebih cocok
apabila dikaitkan dengan masyarakat Timur Tengah atau Melayu yang identik
dengan Islam. Namun bagaimana apabila konsep itu diterapkan kepada masyarakat
Cina atau Jepang? Bagaimana pula jika diterapkan pada masyarakat Indonesia yang
berada di Papua? Apabila hal ini tidak dijelaskan dengan jernih oleh Alatas,
maka tak salah apabila sidang pembaca bukunya menuding Alatas tendensius dalam
mengupayakan diskursus alternatif khususnya terhadap Islam.
Ketiga, bab yang menurut saya berasal
dari artikel yang ditulis tahun 1993, tidak diperbaharui dengan kondisi yang
telah jauh berkembang. Misalnya kritik tentang pengabaian detil–detil seperti
budaya dalam studi pembangunan sehingga banyak yang lepas dari diskursus ini.
Misalnya Alatas menunjuk tentang korupsi. Padahal kajian tentang
postkolonialitas yang membahas tentang perkembangan studi pembangunan telah banyak
dilakukan dan dirintis sejak tahun 1990–an. Seperti yang dilakukan oleh Ilan
Kapoor(2008) yang telah merangkum perkembangan dari kajian politik postkolonial
terhadap pembangunan sejak masa dikembangkannya teori orientalisme Edward Said,
postkolonialisme Gayatri Spivak hingga postkomunisme Slavoj Zizek.
Salah satu bab khusus membahas tentang
kebijakan pembangunan dan hubungannya terhadap budaya. Misalnya tentang
korupsi, konsep tentang korupsi ini berasal dari satu pemahaman akan perlunya
tata kelola pemerintahan atau good
governance yang baik seperti yang digariskan oleh Bank Dunia sejak tahun
1992. Asumsi good governance dari
Bank Dunia ini merupakan prasyarat bagi perkembangan perekonomian yang baik
dari suatu negara. Salah satu komponen utamanya adalah transparansi baik itu
secara informasional maupun prosedural. Maka korupsi yang ada di masyarakat
atau negara non–Barat dianggap sebagai suatu “budaya” yang susah untuk
dilepaskan dari masyarakat ini. Padahal tata kelola pemerintahan yang baik ini
pada dasarnya juga merupakan mitos yang diciptakan Barat sendiri yang bersifat
anakronik. Kita bisa lihat apa yang terjadi apabila korupsi ada di
masyarakatnya, seperti sering kita dengar belakangan ini terutama di korporasi.
Alih–alih juga disebut “budaya”, melainkan hanya perbuatan segelintir oknum ataupun praktik bisnis yang buruk.
Dari
ulasan singkat di atas kita bisa melihat bahwa masih banyak ketidak seimbangan
antara diskursus Barat yang telah mapan dengan diskursus alternatif. Oleh
karena itu, pencarian atas berkembangnya diskursus alternatif bagi Dunia Ketiga
masih harus terus diusahakan.
Bacaan
Tambahan
Kapoor,
Ilan, The Postcolonial Politics of
Development, New York:Routledge, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar