Adrian
Perkasa
338934
Penulisan sejarah nasional Indonesia
sebelum maupun sesudah reformasi menyisakan beberapa masalah. Salah satu
masalah yang menjadi perhatian artikel yang ditulis oleh Adrian Vickers adalah
tentang periode tahun 1950–an yang sering terpinggirkan dibanding misalnya
periode tahun 1965–an. Padahal menurut penulis periode tahun 1950–an penting
dikaji dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia karena selain untuk memahami
seperti apa sistem politik yang paling cocok bagi negara Indonesia dalam kajian
ilmu politik seperti yang dikemukakan oleh Ruth McVey, periode ini juga menjadi
salah satu kunci untuk melihat masalah identitas bangsa Indonesia sendiri
tentang bagaimana lahirnya dan apa yang ada dalam benak masyarakat Indonesia
tentang bangsanya. Dalam ulasan ini, pengulas akan mengikuti penjelasan dari
penulis artikel ini tentang urgensi pembahasan periode tahun 1950–an sembari
memberikan percikan–percikan pemikiran yang muncul dari pengulas. Walaupun terdapat
risiko akan berkelindan, namun pengulas berusaha tetap membedakan penjelasan
yang pengulas dapatkan dari penjelasan Adrian Vickers dan yang mana bukan
darinya.
Harus diakui seperti yang dijelaskan
oleh Vickers bahwa periodesasi tahun 1950–an sendiri masih kabur. Ada yang
menyatakan berlakunya sistem demokrasi parlementer hingga berakhrirnya sistem
tersebut, tak sedikit pula yang memasukkan era ini sebagai satu kesatuan dengan
masa revolusi seperti yang dinyatakan oleh Presiden Soekarno. Merujuk pada buku
Sejarah Nasional Indonesia, periode tersebut rupanya dimasukkan ke dalam satu
jilid dengan tema besar masa revolusi dimana terdapat juga masa Jepang, seputar
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dan Demokrasi Terpimpin yang
dicanangkan oleh Soekarno. Pengulas sendiri melihat pentingnya periode ini
khususnya ketika melihat bagaimana perkembangan dari militer sendiri, antara
warisan dari didikan militer Belanda dengan militer bentukan Jepang. Lebih dari
sekedar melihat perbedaan antara mereka, namun bagaimana militer sendiri
memaknai Indonesia dan politik yang sedang berkembang ketika itu. Tak bisa
dipungkiri bahwa pada periode ini terdapat polarisasi kekuatan politik yang ada
tanpa ada dominasi yang kuat dimiliki oleh kekuatan tertentu. Bahkan dalam
militer sendiri.
Kembali pada penjelasan Vickers,
dominasi militer dan berkembangnya politik pada masa Orde Baru seringkali
disebutkan merupakan replikasi dari pemerintahan kolonial. Hal tersebut menurut
penulis berasal dari tradisi para peneliti dari tradisi Cornell yang orthodoks.
Realitanya penjelasan dari para sarjana dengan tradisi ini pada umumnya
melompati banyak babakan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia terutama
juga pengabaian era 1950–an. Memang pengulas bisa memahami mengapa penjelasan
yang melompat–lompat itu bisa terjadi karena kebanyakan sarjana dari tradisi
Cornell tersebut berasal dari sarjana–sarjana pionir peneliti tentang Indonesia
yang berlatar belakang ilmu politik maupun hubungan internasional seperti
Benedict R.O.G.Anderson. Argumen yang dibangun oleh Ben Anderson maupun para
sarjana ini melihat bahwa asal–usul bangsa Indonesia ini telah ada sejak masa
kolonial Hindia Belanda. Pendapat seperti ini didukung oleh tulisan –tulisan
para intelektual bumiputera seperti Muhammad Yamin, Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau HAMKA, dan lainnya.
Memang Muhammad Yamin dan HAMKA sendiri
banyak menulis tentang seperti apa kebangsaan Indoneisa itu. Muhammad Yamin
dikenal dengan karya sastra maupun sejarahnya tentang Indonesia yang sangat
menonjolkan peran dari kerajaan–kerajaan pra Islam khususnya Majapahit.
Kebesaran Majapahit dilihatnya merupakan awal dari tumbuhnya suatu kesatuan
diantara daerah–daerah yang ada di kepulauan dan diikat bersama di bawah panji
satu kerajaan. Bahkan menurutnya, bendera sang saka merah putih telah ada sejak
6000 tahun yang lalu. Pemikiran dari Yamin ini telah mengemuka terutama sejak
masa mudanya dimana ia terlibat aktif dalam Kongres Pemuda II yang dihelat pada
tahun 1928. Menurut penulis artikel ini, tak dapat dipungkiri kedekatan
minatnya terhadap sejarah masa lalu Jawa, salah satunya terbentuk karena
pendidikan formalnya lebih banyak dihabiskan di Jawa daripada di Sumatera,
tanah kelahirannya.
Berbeda dengan Yamin, HAMKA lebih
berorientasi pada keislamannya terlebih dahulu setelah itu baru berbicara
tentang nasionalisme dan ke–Indonesia–an. Dari penjelasan artikel ini dapat
kita ketahui bahwa HAMKA menolak suatu kebangsaan yang bersifat melebihkan
bangsanya atas bangsa lain atau chauvinisme seperti yang ada dalam
tulisan–tulisan Yamin. Ide tentang nasionalisme bagi HAMKA memang berawal dari
ide tentang pan Islamisme dimana menuntut kebersatuan umat Islam untuk
memperbaiki dirinya sendiri dalam melawan ketertindasan dan kebodohan. Karena
pengalamannya dalam organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan berkeliling ke
beberapa daerah di Hindia Belanda, maka terciptalah suatu perasaan menghargai
karakteristik kedaerahan yang ada di kepulauan ini. Ia juga mengikuti argumen
dari Ki Hajar Dewantara yang menganggap bahwa kebudayaan Indonesia merupakan
puncak–puncak kebudayaan dari berbagai daerah.
Namun pandangan –pandangan umum semacam
ini mendapat tentangan dari William O’Malley. Hipotesis dari O’Malley seperti
yang dikutip dalam artikel ini menyatakan bahwa gerakan nasionalis tidak
sebesar atau sepenting apa yang dituliskan dalam historigrafi baik Barat maupun
Indonesia. Terdapat banyak contoh tentang keterputusan antara kaum nasionalis
yang melakukan pergerakan khususnya di tingkat nasional dengan kenyataan rakyat
jelata di tingkat lokal. Seperti pada penelitian yang dilakukan penulis di Bali
maupun korespondensi dengan William Frederik tentang Surabaya, argumen dari
O’Malley ini tampak menunjukkan kebenarannya bahwa memang terdapat jurang
pemisah antara pemimpin pergerakan dengan anggota masyarakat lainnya.
Anasir–anasir yang sering disebut para pejuang revolusioner baru benar–benar
muncul setelah proklamasi kemerdekaan Republik. Apabila konsekuen mengikuti
sejarah lokal di beberapa daerah di Indonesia, maka negara modern yang bernama
Indonesia baru ada sejak penyerahan kedaulatan dan bangsa yang bernama
Indonesia baru mengikuti keberadaan negara itu sejak tahun 1950–an.
Apa yang ditulis Adrian Vickers dalam
artikel ini membawa pemahaman menarik bagi para sejarawan untuk menuliskan
kembali periode tahun 1950–an dengan perspektif yang lebih segar dan berwarna
khususnya memperhatikan sisi lokalitas yang ada di Indonesia. Selain itu
argumen kontinuitas yang sering didapati dalam beberapa historiografi Indonesia
dari masa revolusi hingga munculnya orde baru rupanya juga harus berbagi tempat
dengan adanya diskontinuitas di banyak babakan sejarah. Seperti yang dituliskan
oleh penulis di akhir artikel ini yang menunjukkan bagaimana perkembangan
penulisan sejarah pasca 1965 yang begitu berbeda dalam melihat para pemimpin di
tahun 1950–an yang tersingkirkan. Di sinilah kemudian berbagai kemungkinan
untuk melihat periode terbentuknya bangsa Indonesia dapat digali lebih dalam
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar