Nama :
Irwan
NIM :
12/339246/PSA/7258
Dalam artikel pertama, D.G.E. Hall mengupas tentang perkembangan
studi sejarah untuk kawasan Asia dan Asia Tenggara. Hall memulai artikelnya
dengan konferensi penelitian dan penulisan sejarah untuk bangsa-bangsa Asia
yang dilaksanakan oleh universitas studi oriental Asia dan Afrika London pada
1956. Dalam pertemuan-pertemuan sebelum konferensi terungkap bahwa ada dua
permasalahan mendasar dalam studi sejarah untuk kawasan Asia; (pertama) Cakupan
pembahasan keilmuwan sejarah yang sangat luas, (kedua) Kurangnya sumber daya
dalam penulisan dan penelitian sejarah untuk kawasan Asia. Menurut Hall, sampai
tahun 1960, sudah banyak para ilmuwan Eropa terutama Belanda dan Perancis yang
memfokuskan kajiannya pada wilayah Asia Tenggara, meski diakui oleh Hall, peran-peran
yang mereka lakukan masih terbatas pada tataran penemuan dan pengumpulan bukti.
Hall mengutip beberapa nama seperti, Bernard Philippe
Groslier yang menulis tentang Angkor; membahas tentang peradaban khmer kuno di
Kamboja. JG de Casparis; Mengkaji tentang prasasti di Jawa pada abad kedelapan
dan kesembilan. Paul Wheatley; Meneliti tentang catatan Cina, Yunani, Arab,
Persia dan India yang terkait dengan sejarah masa lalu melayu. Gordon Luce; Menulis
sejarah Burma sampai akhir abad 13 M, dan Profesor CC Berg yang memfokuskan
diri dalam penelitian sastra Jawa kuno.
Menurut
Hall, kajian-kajian dari para ahli Eropa tersebut telah menginspirasi dunia
kesejarahan Asia tenggara bahwa banyak metode dalam mengumpulkan sumber-sumber
sejarah yang sampai 1960 an dianggap masih konvensional. Ada 4 metode yang bisa
dilakukan oleh sejarawan dalam meneliti kawasan asia tenggara, yaitu;
1.
Mengkaji sumber-sumber kuno dari Cina, sebagaimana
diketahui bahwa bangsa-bangsa di Asia telah lama mengadakan hubungan dengan
cina, dan banyak catatan para pedagang maupun utusan yang datang ke
daerah-daerah di Asia Tenggara.
2.
Kajian-kajian terhadap teks-teks kuno yang terdapat dalam
setiap kawasan di Asia tenggara. Kajian ini sebenarnya memberikan bisa banyak
informasi selain kajian sejarah itu sendiri. Dalam naskah kuno tersebut para
sejarawan bisa mengetahui kondisi social, paradigm masyarakat, struktur politik
dan ekonomi meski hampir mayoritas penyajiannya dilakukan dengan cerita ataupun
tembang.
3.
Arkeologi, Hall menekankan bahwa sampai tahun 1960, para
sejarawan hanya melihat bukti sejarah yang berada di atas tanah saja, padahal
banyak bukti sejarah tertimbun oleh tanah dan untuk mengetahuinya harus melalui
pendekatan arkeologi.
4.
Cerita-cerita masyarakat local baik lisan maupun tulisan.
Dengan
menggunakan metode di atas, para sejarawan di Asia tenggara diperkirakan mampu
lebih mengekspresikan nilai-nilai sejarahnya local dengan perspektif local
pula. Ini berguna untuk menyeimbangkan interpretasi kesejarahan yang banyak
didominasi oleh orang-orang Eropa. Hall menyatakan bahwa sesungguhnya hubungan Barat
dan Asia yang berlangsung lama menguntungkan Asia tenggara, terutama dalam
penulisan dan penelitian sejarah. Eropa yang bertindak sebagai kolonial banyak
menulis catatan dan buku tentang penduduk pribumi. Namun diingatkan oleh Hall
bahwa para sejarawan Asia Tenggara tidak terjebak dengan sumber-sumber Eropa
yang menurut Hall masih Eropa-sentries. Ini bisa dilihat dari argument yang
dikemukakan seperti Dr JG de Casparis dalam esainya "Twintig Jaar studie van de geschiedenis van Indonesie
oudere", yang berkesimpulan bahwa sejarah Indonesia adalah bagian dari
sejarah politik dan kolonialisme Eropa di Asia.
Menggunakan
empat metode di atas tidak semudah seperti yang dipikirkan. Hall mencontohkan
keluhan Van Leur dalam esainya “Pada Studi Sejarah Indonesia” bahwa dunia
sejarah Indonesia seperti dunia yang tidak dikenal. Keluhan Van Leur ini
terkait dengan sumber sejarah seperti naskah dan cerita rakyat yang banyak
dibumbuhi oleh mitos dan sukar dipahami oleh dunia Eropa yang mengedepankan
rasio. Sehingga banyak tulisan Eropa tentang Asia hanya berkutat pada observasi
dan dari wawancara sekilas. Terkait dengan kebimbangan para sejarawan Indonesia
yang membagi periodesasi sejarah Indonesia, Hall membuat periodesasi sejarah
Indonesia dan Asia Tenggara sebagai berikut; (1) Periode sebelum Eropa, (2)
Asia Tenggara selama fase awal ekspansi Eropa, (3) Periode ekspansi wilayah
Eropa, dan (4) Nasionalisme dan Tantangan dominasi Eropa.
Dalam
artikel kedua tentang historisisme dan historiografi di Indonesia, Sue Nichterlein menulis tentang fenomena historicisme dalam
historiografi Indonesia. Mengutip pendapat Karl Mannheim bahwa historicisme
adalah kecendrungan (paradigm) para intelektual kotemporer barat dalam melihat
sejarah, yang berorientasi kepada hakikat dari sejarah itu. Sejarah dipandang
tidak hanya berisi informasi-informasi masa lalu tetapi juga berhubungan dengan
proses yang membentuk kondisi kekinian. Nichterlein mengutip pendapat penyair
Meksiko Oktavio Paz yang menyatakan bahwa “sejarah itu adalah citra manusia
tentang dunia”. Member makna terhadap sejarah bisa dipahami dengan mengaitkan
sejarah dengan filsafat. Dalam historicisme sejarah dipandang sebagai salah
satu instrument membentuk nilai-nilai.
Dalam perumusan historiografi Indonesia,
pendekatan historicisme dilakukan sejarawan-sejarawan pemerintah seperti Soedjatmoko, Muhammad Yamin, Nugroho Notosusanto dan
lain sebagainya. Dalam seminar sejarah pertama 1957 di Yogyakarta, Soedjatmoko mengungkapkan
sejarah bisa membentuk kepercayaan messianisme dan milenarianisme
yang masyarakat dalam bergerak untuk menentukan nasibnya. Dengan kata sejarah
bisa membentuk identitas kebangsaan dan nasionalisme dan berujung kepada
meningkatnya semangat “bela Negara”. Semangat pembentukan nilai ini kemudian
terbentur kebimbangan para sejarawan tersebut dalam merumuskan periodesasi
sejarah Indonesia. Seperti pendapat Hall pada artikel sebelumnya bahwa semangat
nasionalisme berarti mengingkari kolonialisme. Dengan sendirinya informasi yang
berasal dari colonial harus didekontruksi agar tercapai harapan “menjadi
nasionalis”. Dan hasilnya adalah historiografi yang berbanding terbalik dengan
produksi colonial walaupun sebenarnya masih terikat dengan colonial (mirip).
Pola historiografi Indonesia dengan pendekatan historicisme ini dilakukan oleh
sejarawan non akademis sehingga menimbulkan perdebatan dengan kalangan akademis
maupun sejarawan lain yang tidak terkait dengan pemerintah.
Historiografi yang pada awal bertujuan
membentuk nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme kemudian berevolusi menjadi
pengkultusan terhadap Negara dan pemerintah. Nichterlein mencontohkan Kartono
Hadhi dalam “sejarah Pemimpin-Pemimpin Indonesia” yang menyanjungkan Soekarno
sebagai pewaris dari orang besar masa lalu seperti Diponegoro, Tuanku Imam
Bonjol, Teuku Umar dan sebagainya. Padahal perjuangan dari masing-masing
pahlawan sama sekali berbeda tujuan dan praktis dengan yang Soekarno. Historiografi
yang serupa juga dilakukan oleh Nugroho Notosusanto dalam “sejarah Gestapu”
nya.
Diakhir tulisannya, Nichterlein
mengungkapkan kecendrungan munculnya pola historiografi Indonesia yang berbeda
dengan pola pertama. Kemunculan pola ini dipelopori oleh para sejarawan
akademisi seperti Sartono Kartodirjo. Sartono menulis sejarah dengan menjadikan
masyarakat sebagai objek.
Dalam kedua artikel ini, Hall dan Nichterlein
sama menekannkan pentingnya sebuah metode dan nilai dalam historiografi. Kalau
Hall, memfokuskan historiografi pada metode pengumpulan data dengan lebih
menitikberatkan pada sumber local dan asia sekaligus menggunakan sumber-sumber
eropa sebagai bahan perbandingan. Sedangkan Nichterlein menekankan pada
pentingnya paradigm historicisme pada penulisan historiografi dan dia
mengangkat tentang pola historicisme dalam historiografi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar