Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

On The Study of Southeast Asian History (By: D.G.E. Hall End Historicism and Historiography In Indonesia (By: Sue Nichterlein)


Nama   : Irwan
NIM    : 12/339246/PSA/7258

Dalam artikel pertama,  D.G.E. Hall mengupas tentang perkembangan studi sejarah untuk kawasan Asia dan Asia Tenggara. Hall memulai artikelnya dengan konferensi penelitian dan penulisan sejarah untuk bangsa-bangsa Asia yang dilaksanakan oleh universitas studi oriental Asia dan Afrika London pada 1956. Dalam pertemuan-pertemuan sebelum konferensi terungkap bahwa ada dua permasalahan mendasar dalam studi sejarah untuk kawasan Asia; (pertama) Cakupan pembahasan keilmuwan sejarah yang sangat luas, (kedua) Kurangnya sumber daya dalam penulisan dan penelitian sejarah untuk kawasan Asia. Menurut Hall, sampai tahun 1960, sudah banyak para ilmuwan Eropa terutama Belanda dan Perancis yang memfokuskan kajiannya pada wilayah Asia Tenggara, meski diakui oleh Hall, peran-peran yang mereka lakukan masih terbatas pada tataran penemuan dan pengumpulan bukti. Hall mengutip beberapa nama seperti, Bernard Philippe Groslier yang menulis tentang Angkor; membahas tentang peradaban khmer kuno di Kamboja. JG de Casparis; Mengkaji tentang prasasti di Jawa pada abad kedelapan dan kesembilan. Paul Wheatley; Meneliti tentang catatan Cina, Yunani, Arab, Persia dan India yang terkait dengan sejarah masa lalu melayu. Gordon Luce; Menulis sejarah Burma sampai akhir abad 13 M, dan Profesor CC Berg yang memfokuskan diri dalam penelitian sastra Jawa kuno.

Menurut Hall, kajian-kajian dari para ahli Eropa tersebut telah menginspirasi dunia kesejarahan Asia tenggara bahwa banyak metode dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang sampai 1960 an dianggap masih konvensional. Ada 4 metode yang bisa dilakukan oleh sejarawan dalam meneliti kawasan asia tenggara, yaitu;
1.      Mengkaji sumber-sumber kuno dari Cina, sebagaimana diketahui bahwa bangsa-bangsa di Asia telah lama mengadakan hubungan dengan cina, dan banyak catatan para pedagang maupun utusan yang datang ke daerah-daerah di Asia Tenggara.
2.      Kajian-kajian terhadap teks-teks kuno yang terdapat dalam setiap kawasan di Asia tenggara. Kajian ini sebenarnya memberikan bisa banyak informasi selain kajian sejarah itu sendiri. Dalam naskah kuno tersebut para sejarawan bisa mengetahui kondisi social, paradigm masyarakat, struktur politik dan ekonomi meski hampir mayoritas penyajiannya dilakukan dengan cerita ataupun tembang.
3.      Arkeologi, Hall menekankan bahwa sampai tahun 1960, para sejarawan hanya melihat bukti sejarah yang berada di atas tanah saja, padahal banyak bukti sejarah tertimbun oleh tanah dan untuk mengetahuinya harus melalui pendekatan arkeologi.
4.      Cerita-cerita masyarakat local baik lisan maupun tulisan.

Dengan menggunakan metode di atas, para sejarawan di Asia tenggara diperkirakan mampu lebih mengekspresikan nilai-nilai sejarahnya local dengan perspektif local pula. Ini berguna untuk menyeimbangkan interpretasi kesejarahan yang banyak didominasi oleh orang-orang Eropa. Hall menyatakan bahwa sesungguhnya hubungan Barat dan Asia yang berlangsung lama menguntungkan Asia tenggara, terutama dalam penulisan dan penelitian sejarah. Eropa yang bertindak sebagai kolonial banyak menulis catatan dan buku tentang penduduk pribumi. Namun diingatkan oleh Hall bahwa para sejarawan Asia Tenggara tidak terjebak dengan sumber-sumber Eropa yang menurut Hall masih Eropa-sentries. Ini bisa dilihat dari argument yang dikemukakan seperti Dr JG de Casparis dalam esainya "Twintig Jaar studie van de geschiedenis van Indonesie oudere", yang berkesimpulan bahwa sejarah Indonesia adalah bagian dari sejarah politik dan kolonialisme Eropa di Asia.

Menggunakan empat metode di atas tidak semudah seperti yang dipikirkan. Hall mencontohkan keluhan Van Leur dalam esainya “Pada Studi Sejarah Indonesia” bahwa dunia sejarah Indonesia seperti dunia yang tidak dikenal. Keluhan Van Leur ini terkait dengan sumber sejarah seperti naskah dan cerita rakyat yang banyak dibumbuhi oleh mitos dan sukar dipahami oleh dunia Eropa yang mengedepankan rasio. Sehingga banyak tulisan Eropa tentang Asia hanya berkutat pada observasi dan dari wawancara sekilas. Terkait dengan kebimbangan para sejarawan Indonesia yang membagi periodesasi sejarah Indonesia, Hall membuat periodesasi sejarah Indonesia dan Asia Tenggara sebagai berikut; (1) Periode sebelum Eropa, (2) Asia Tenggara selama fase awal ekspansi Eropa, (3) Periode ekspansi wilayah Eropa, dan (4) Nasionalisme dan Tantangan dominasi Eropa. 

Dalam artikel kedua tentang historisisme dan historiografi di Indonesia, Sue Nichterlein menulis tentang fenomena historicisme dalam historiografi Indonesia. Mengutip pendapat Karl Mannheim bahwa historicisme adalah kecendrungan (paradigm) para intelektual kotemporer barat dalam melihat sejarah, yang berorientasi kepada hakikat dari sejarah itu. Sejarah dipandang tidak hanya berisi informasi-informasi masa lalu tetapi juga berhubungan dengan proses yang membentuk kondisi kekinian. Nichterlein mengutip pendapat penyair Meksiko Oktavio Paz yang menyatakan bahwa “sejarah itu adalah citra manusia tentang dunia”. Member makna terhadap sejarah bisa dipahami dengan mengaitkan sejarah dengan filsafat. Dalam historicisme sejarah dipandang sebagai salah satu instrument membentuk nilai-nilai.

Dalam perumusan historiografi Indonesia, pendekatan historicisme dilakukan sejarawan-sejarawan pemerintah seperti Soedjatmoko, Muhammad Yamin, Nugroho Notosusanto dan lain sebagainya. Dalam seminar sejarah pertama 1957 di Yogyakarta, Soedjatmoko mengungkapkan sejarah bisa membentuk kepercayaan messianisme dan milenarianisme yang masyarakat dalam bergerak untuk menentukan nasibnya. Dengan kata sejarah bisa membentuk identitas kebangsaan dan nasionalisme dan berujung kepada meningkatnya semangat “bela Negara”. Semangat pembentukan nilai ini kemudian terbentur kebimbangan para sejarawan tersebut dalam merumuskan periodesasi sejarah Indonesia. Seperti pendapat Hall pada artikel sebelumnya bahwa semangat nasionalisme berarti mengingkari kolonialisme. Dengan sendirinya informasi yang berasal dari colonial harus didekontruksi agar tercapai harapan “menjadi nasionalis”. Dan hasilnya adalah historiografi yang berbanding terbalik dengan produksi colonial walaupun sebenarnya masih terikat dengan colonial (mirip). Pola historiografi Indonesia dengan pendekatan historicisme ini dilakukan oleh sejarawan non akademis sehingga menimbulkan perdebatan dengan kalangan akademis maupun sejarawan lain yang tidak terkait dengan pemerintah.

Historiografi yang pada awal bertujuan membentuk nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme kemudian berevolusi menjadi pengkultusan terhadap Negara dan pemerintah. Nichterlein mencontohkan Kartono Hadhi dalam “sejarah Pemimpin-Pemimpin Indonesia” yang menyanjungkan Soekarno sebagai pewaris dari orang besar masa lalu seperti Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar dan sebagainya. Padahal perjuangan dari masing-masing pahlawan sama sekali berbeda tujuan dan praktis dengan yang Soekarno. Historiografi yang serupa juga dilakukan oleh Nugroho Notosusanto dalam “sejarah Gestapu” nya.

Diakhir tulisannya, Nichterlein mengungkapkan kecendrungan munculnya pola historiografi Indonesia yang berbeda dengan pola pertama. Kemunculan pola ini dipelopori oleh para sejarawan akademisi seperti Sartono Kartodirjo. Sartono menulis sejarah dengan menjadikan masyarakat sebagai objek.

Dalam kedua artikel ini, Hall dan Nichterlein sama menekannkan pentingnya sebuah metode dan nilai dalam historiografi. Kalau Hall, memfokuskan historiografi pada metode pengumpulan data dengan lebih menitikberatkan pada sumber local dan asia sekaligus menggunakan sumber-sumber eropa sebagai bahan perbandingan. Sedangkan Nichterlein menekankan pada pentingnya paradigm historicisme pada penulisan historiografi dan dia mengangkat tentang pola historicisme dalam historiografi Indonesia.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar