Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Kuasa dan Diskursus Alternatif - Bab 7


Nama                           : Irwan
NIM                            : 12/339246/PSA/7258



Tulisan ini mengupas tentang perlunya diskursus alternative bagi ilmuwan social dunia ketiga terhadap ilmu social barat yang selama ini mendominasi keilmuan di dunia ketiga dan diadopsi secara tidak kritis. Penulis buku mencoba mengupas judul diatas dengan berlandas pada teori Foucault mengenai relasi antara diskursus dengan kekuasaan. Ilmu sosial yang dikupaspun terbatas pada studi pembangunan di dunia ketiga.

Diawal tulisannya tentang studi pembangunan, penulis buku mengutip sejumlah pendapat para ahli dari dunia ketiga seperti Gunnar Myrdal (1957), S.H. Alatas (1956), dan J.P.S. Umbero (1968) yang menyatakan bahwa para ilmuwan dunia ketiga harus berhati-hati terhadap pengadopsian dan penerapan ilmu social barat dalam perumusan pembangunan dan pembangunan itu sendiri di dunia ketiga. Mereka menekankan pada pentingnya para ilmuwan social dunia ketiga untuk memperhatikan konteks wilayah dan ulayat. Dalam hal ini ilmu social yang berbasis pada dunia barat tentunya disusun dan dirumuskan berbasis konteks wilayah dan kebutuhan masyarakatnya baik secara metodelogi maupun teori. Terkait dengan konteks wilayah dan kebutuhan masyarakat, dunia ketiga pasti memiliki perbedaan (bahkan perbedaan sigfinifika) dengan masyarakat barat.

Di sisi lain, Barat juga menunjukkan hegemoni dalam ilmu social dengan cara menyediakan dana riset dan memonopoli penerbitan jurnal-jurnal ilmiah oleh universitas-universitas di Barat. Hegemoni ini juga terjadi pada ranah nilai dan standar terhadap sebuah karya ilmiah sehingga tercipta imeg bahwa apa yang dirumuskan oleh dunia barat dalam ilmu social tersebut adalah sesuatu yang universal. Ironinya, pemahaman keuniversalan ilmu social barat ini diikuti ilmuwan sosial dunia ketiga yang menyebabkan penggunaan teori-teori barats secara tidak kritis. Contohnya dalam membuat konsep tentang pengangguran tanpa memilah berdasar jenis kelamin. Di dunia barat yang rasional dan kuat mainstreaming gender, mungkin hal ini tidaklah bermasalah, namun jika dikaitkan dengan konteks dunia ketiga hal tersebut adalah persoalan. Dampak pengangguran bagi laki-laki dinilai berbeda dengan dampak pengangguran terhadap perempuan. Hal-hal seperti kurang diperhatikan oleh ilmuwan social dunia sehingga beberapa teori dalam pembangunan tidak berjalan baik.

Relasi ilmu sosial yang tidak seimbang antara dunia barat dengan dunia ketiga, dirasa oleh penulis perlu dijembatani dengan menggunakan teori relasi diskursus dengan kekuasaan Foucault. Menurut Foucault, inti dari kekuasaan itu adalah mendominasi, menciptakan standard  atau nilai dan lain-lain terhadap pihak yang didominasinya. Kekuasaan tidak harus berbentuk Negara atau kekuatan lainnya, tapi juga bisa diperankan oleh salah satu pihak seperti seorang perempuan menunjukkan kuasanya terhadap seorang laki-laki dengan menampilkan konsep kecantikan yang disepakati sebuah budaya. Wanita di Cina menampilkan kuasanya di hadapan dengan mengecilkan kaki-kakinya, wanita di Arab menunjukkan kuasanya dengan memerahkan bibirnya. Dan banyak contoh lain yang mengekspresikan bentuk kekuasaan secara sederhana. Dan Foucault menyakini bahwa proses dominasi kekuasaan dalam sebuah relasi adalah sesuatu keniscayaan.

Dalam relasi kuasa dan diskursus alternative ini, penulis buku tertarik dengan kecendrungan Foucault terhadap bahasa ekspresif yang bisa dimaknai dengan sebuah simbol memiliki makna sejauh simbol tersebut mengungkapkan pemikiran, persepsi atau kepercayaan terhadap objek. Jadi dalam hal ini Foucault tidak mempercayai tentang sebuah keuniversalan terhadap symbol. Dan jika dikaitkan dengan ilmu social, maka dalam ilmu social terdapat banyak keunikan dan perbedaan yang hanya bisa digali dengan sudut pandang terdekat dengan keunikan tersebut. Keunikan ilmu social dunia ketiga tidak dieksplorasi dengan pendekatan seperti yang dilakukan di dunia Barat.

Dalam studi pembangunan, ilmuwan social dunia ketiga sangat terpengaruh oleh pendekatan barat yang menempatkan factor genetic sebagai factor dominan. Factorgenetic merujuk pada apa yang dihasilkan oleh manusia. Dalam konteks barat, perhatian terhadap factorgenetic mungkin tidak terlalu dipersoalkan karena resource manusia dan etos kerjanya dianggap memadai. Namun jika ini diterapkan pada dunia ketiga maka akan terjadi ketimpangan-ketimpangan. Contoh, di banyak negara berkembang, kebijakan fiscal-moneter, nilai tukar tidak efektif dan peminjaman hutang besar-besaran menyebabkan inflasi. Padahal kebijakan serupa dilakukan sebelumnya oleh dunia barat dengan capaian memuaskan. Dalam dunia ketiga, perhatian terhadap aktorgenetik harus didahulukan dibanding dengan factorgenetic.

Dengan apa yang dilakukan oleh ilmuwan social dunia ketiga terhadap ilmu-ilmu social saat ini seperti tertulis di atas, penulis mencatat berbagai sebab dan akibat terkait dengan perilaku ini, antara lain;
  1. Studi pembangunan yang mubazir
  2. Kehadiran teori dan konsep yang salah
  3. Irelevansi teori dan konsep barat dalam konteks non-barat
  4. Ketidakmampuan membedakan yang universal dari yang particular
  5. Tiruan negative
  6. Kurangnya perhatian terhadap isu-isu metodelogis
  7. Simplikasi pembangunan
  8. Kesalahan memerinci patologi pembangunan
  9. Mengabaikan patologi pembangunan yang rill
  10. Normalisasi sebagai westernisasi

Adapun beberapa kendala dalam diskursus alternative ini disampaikan oleh penulis buku dengan berpijak pada pendapat Foucault tentang adanya beberapa prosedur seperti pengucilan, pembatasan, dan control melalui penerapan perangkat analisis. Analogi Foucault tentang kondisi orang gila pada abad pertengahan di Eropa yang tidak dianggap sebagai sama dengan yang lainnya. Seluruh perkataan dan perilakunya dianggap sesuatu yang kosong dan tidak berarti apa-apa. Padahal Foucault menyakini bahwa apa yang disampaikan oleh orang gila tersebut adalah sesuatu berbeda atau menentukan perbedaan. Penulis buku menganalogikan tentang kondisi ulama di dunia Arab yang tradisional dan konservatif, ketika mereka menyorot tentang westernisasi dengan pelarangan pemakaian jilbab, maka para ilmuwan social barat sama sekali tidak menjadi kritik yang disampaikan oleh ulama tersebut sebagai bahan kajian. Malah mereka ulama yang mengeluarkan statmen tersebut sebagai objek penelitian. Dalam hal ini penulis buku melihat bahwa sudut masyarakat dunia ketiga dikucilkan dan sama sekali tidak didengar. Selain itu pengucilan melalui organisasi disiplin ilmu juga menjadi tantangan dalam diskursus alternative ini. Ilmuwan barat menerapkan standar tinggi dalam ilmu social mencakup metodelogi eksperimental statistic, yang mustahil dipenuhi oleh ilmuwan dunia ketiga. Para ilmuwan dunia ketiga tidak didengar suaranya karena validitas epistimologi mereka diingkari.

Tantangan lain terhadap diskursus alternative ini adalah pertentangan antara benar dan salah. Kehendak yang benar bergerak melalui bentuk yang disebarkan diskursus, objek yang dibicarakan dan teknik yang digunakan. Penulis buku mengungkapkan bahwa kehendak benar menurut barat ini kemudian mengatur ekspresikan ilmu social dunia Islam pada dua macam model, yaitu;
a.       Ilmuwan social Islam kembali kepada “logika masa lalu”, rasionalitas prudensial. Rasionalitas ini adalah sebuah proses cara berpikir mengenai dunia fisik menuju dunia spiritual. Konsep berpikir juga bisa diasumsikan sebagai bentuk perlawanan ilmuwan social dunia terhadap rasionalitas instrumental barat.
b.      Ilmuwan social muslim yang mengadopsi keilmiahan barat dengan membungkus pemikirannya dengan terminalogi Islam. Sebagai “ilmu ekonomi islam” yang berlandaskan pada konsep kesejahteraan dan distribusi versi ilmu ekonomi barat. Yang menurut penulis, ilmu semacam ini tidak akan berhasil.

Dengan adanya ketimpangan-ketimpangan dalam relasi antara ilmu social di barat dan di dunia ketiga, penulis mengajukan beberapa solusi sebagai bagian dari diskursus alternative. Beberapa solusi tersebut adalah;
1.      Perlunya studi terhadap bentuk peniruan dan adopsi yang tidak kritis terhadap ilmu social barat.
2.      Perlunya kajian seputar stategi dan teknik normalisasi yang muncul dari adopsi dan penerapan teori pembangunan secara tidak kritis di dunia ketiga.
3.      Perlunya mempelajari berbagai cara penghapusan dan pengawasan suara-suara ulayat.
4.      Aktivitas ilmiah social mempertimbangkan pandangan dunia, konteks sejarah, dan praktek budaya masyarakat Asia sehingga konsep dan teori alternative dapat dikembangkan
5.      Ilmu social alternative harus memiliki implikasi bagi politik praktis, kerja social, rumusan kebijakan, dan penerapan program.
  




















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar