Nama :
Irwan
NIM :
12/339246/PSA/7258
Tulisan ini mengupas tentang perlunya
diskursus alternative bagi ilmuwan social dunia ketiga terhadap ilmu social
barat yang selama ini mendominasi keilmuan di dunia ketiga dan diadopsi secara
tidak kritis. Penulis buku mencoba mengupas judul diatas dengan berlandas pada
teori Foucault mengenai relasi antara diskursus dengan kekuasaan. Ilmu sosial
yang dikupaspun terbatas pada studi pembangunan di dunia ketiga.
Diawal tulisannya tentang studi
pembangunan, penulis buku mengutip sejumlah pendapat para ahli dari dunia
ketiga seperti Gunnar Myrdal (1957), S.H. Alatas (1956), dan J.P.S. Umbero
(1968) yang menyatakan bahwa para ilmuwan dunia ketiga harus berhati-hati
terhadap pengadopsian dan penerapan ilmu social barat dalam perumusan
pembangunan dan pembangunan itu sendiri di dunia ketiga. Mereka menekankan pada
pentingnya para ilmuwan social dunia ketiga untuk memperhatikan konteks wilayah
dan ulayat. Dalam hal ini ilmu social yang berbasis pada dunia barat tentunya
disusun dan dirumuskan berbasis konteks wilayah dan kebutuhan masyarakatnya
baik secara metodelogi maupun teori. Terkait dengan konteks wilayah dan
kebutuhan masyarakat, dunia ketiga pasti memiliki perbedaan (bahkan perbedaan
sigfinifika) dengan masyarakat barat.
Di sisi lain, Barat juga menunjukkan
hegemoni dalam ilmu social dengan cara menyediakan dana riset dan memonopoli
penerbitan jurnal-jurnal ilmiah oleh universitas-universitas di Barat. Hegemoni
ini juga terjadi pada ranah nilai dan standar terhadap sebuah karya ilmiah
sehingga tercipta imeg bahwa apa yang dirumuskan oleh dunia barat dalam ilmu
social tersebut adalah sesuatu yang universal. Ironinya, pemahaman keuniversalan
ilmu social barat ini diikuti ilmuwan sosial dunia ketiga yang menyebabkan
penggunaan teori-teori barats secara tidak kritis. Contohnya dalam membuat
konsep tentang pengangguran tanpa memilah berdasar jenis kelamin. Di dunia
barat yang rasional dan kuat mainstreaming gender, mungkin hal ini tidaklah
bermasalah, namun jika dikaitkan dengan konteks dunia ketiga hal tersebut
adalah persoalan. Dampak pengangguran bagi laki-laki dinilai berbeda dengan
dampak pengangguran terhadap perempuan. Hal-hal seperti kurang diperhatikan
oleh ilmuwan social dunia sehingga beberapa teori dalam pembangunan tidak
berjalan baik.
Relasi ilmu sosial yang tidak seimbang
antara dunia barat dengan dunia ketiga, dirasa oleh penulis perlu dijembatani
dengan menggunakan teori relasi diskursus dengan kekuasaan Foucault. Menurut
Foucault, inti dari kekuasaan itu adalah mendominasi, menciptakan standard atau nilai dan lain-lain terhadap pihak yang
didominasinya. Kekuasaan tidak harus berbentuk Negara atau kekuatan lainnya,
tapi juga bisa diperankan oleh salah satu pihak seperti seorang perempuan
menunjukkan kuasanya terhadap seorang laki-laki dengan menampilkan konsep
kecantikan yang disepakati sebuah budaya. Wanita di Cina menampilkan kuasanya di
hadapan dengan mengecilkan kaki-kakinya, wanita di Arab menunjukkan kuasanya
dengan memerahkan bibirnya. Dan banyak contoh lain yang mengekspresikan bentuk
kekuasaan secara sederhana. Dan Foucault menyakini bahwa proses dominasi
kekuasaan dalam sebuah relasi adalah sesuatu keniscayaan.
Dalam relasi kuasa dan diskursus
alternative ini, penulis buku tertarik dengan kecendrungan Foucault terhadap
bahasa ekspresif yang bisa dimaknai dengan sebuah simbol memiliki makna sejauh
simbol tersebut mengungkapkan pemikiran, persepsi atau kepercayaan terhadap
objek. Jadi dalam hal ini Foucault tidak mempercayai tentang sebuah
keuniversalan terhadap symbol. Dan jika dikaitkan dengan ilmu social, maka
dalam ilmu social terdapat banyak keunikan dan perbedaan yang hanya bisa digali
dengan sudut pandang terdekat dengan keunikan tersebut. Keunikan ilmu social
dunia ketiga tidak dieksplorasi dengan pendekatan seperti yang dilakukan di
dunia Barat.
Dalam studi pembangunan, ilmuwan social
dunia ketiga sangat terpengaruh oleh pendekatan barat yang menempatkan factor
genetic sebagai factor dominan. Factorgenetic merujuk pada apa yang dihasilkan
oleh manusia. Dalam konteks barat, perhatian terhadap factorgenetic mungkin
tidak terlalu dipersoalkan karena resource manusia dan etos kerjanya dianggap
memadai. Namun jika ini diterapkan pada dunia ketiga maka akan terjadi
ketimpangan-ketimpangan. Contoh, di banyak negara berkembang, kebijakan
fiscal-moneter, nilai tukar tidak efektif dan peminjaman hutang besar-besaran
menyebabkan inflasi. Padahal kebijakan serupa dilakukan sebelumnya oleh dunia
barat dengan capaian memuaskan. Dalam dunia ketiga, perhatian terhadap
aktorgenetik harus didahulukan dibanding dengan factorgenetic.
Dengan apa yang dilakukan oleh ilmuwan
social dunia ketiga terhadap ilmu-ilmu social saat ini seperti tertulis di
atas, penulis mencatat berbagai sebab dan akibat terkait dengan perilaku ini,
antara lain;
- Studi
pembangunan yang mubazir
- Kehadiran
teori dan konsep yang salah
- Irelevansi
teori dan konsep barat dalam konteks non-barat
- Ketidakmampuan
membedakan yang universal dari yang particular
- Tiruan
negative
- Kurangnya
perhatian terhadap isu-isu metodelogis
- Simplikasi
pembangunan
- Kesalahan
memerinci patologi pembangunan
- Mengabaikan
patologi pembangunan yang rill
- Normalisasi
sebagai westernisasi
Adapun beberapa kendala dalam diskursus
alternative ini disampaikan oleh penulis buku dengan berpijak pada pendapat
Foucault tentang adanya beberapa prosedur seperti pengucilan, pembatasan, dan
control melalui penerapan perangkat analisis. Analogi Foucault tentang kondisi
orang gila pada abad pertengahan di Eropa yang tidak dianggap sebagai sama
dengan yang lainnya. Seluruh perkataan dan perilakunya dianggap sesuatu yang
kosong dan tidak berarti apa-apa. Padahal Foucault menyakini bahwa apa yang
disampaikan oleh orang gila tersebut adalah sesuatu berbeda atau menentukan
perbedaan. Penulis buku menganalogikan tentang kondisi ulama di dunia Arab yang
tradisional dan konservatif, ketika mereka menyorot tentang westernisasi dengan
pelarangan pemakaian jilbab, maka para ilmuwan social barat sama sekali tidak
menjadi kritik yang disampaikan oleh ulama tersebut sebagai bahan kajian. Malah
mereka ulama yang mengeluarkan statmen tersebut sebagai objek penelitian. Dalam
hal ini penulis buku melihat bahwa sudut masyarakat dunia ketiga dikucilkan dan
sama sekali tidak didengar. Selain itu pengucilan melalui organisasi disiplin
ilmu juga menjadi tantangan dalam diskursus alternative ini. Ilmuwan barat menerapkan
standar tinggi dalam ilmu social mencakup metodelogi eksperimental statistic,
yang mustahil dipenuhi oleh ilmuwan dunia ketiga. Para ilmuwan dunia ketiga
tidak didengar suaranya karena validitas epistimologi mereka diingkari.
Tantangan lain terhadap diskursus
alternative ini adalah pertentangan antara benar dan salah. Kehendak yang benar
bergerak melalui bentuk yang disebarkan diskursus, objek yang dibicarakan dan
teknik yang digunakan. Penulis buku mengungkapkan bahwa kehendak benar menurut
barat ini kemudian mengatur ekspresikan ilmu social dunia Islam pada dua macam
model, yaitu;
a. Ilmuwan
social Islam kembali kepada “logika masa lalu”, rasionalitas prudensial.
Rasionalitas ini adalah sebuah proses cara berpikir mengenai dunia fisik menuju
dunia spiritual. Konsep berpikir juga bisa diasumsikan sebagai bentuk
perlawanan ilmuwan social dunia terhadap rasionalitas instrumental barat.
b. Ilmuwan
social muslim yang mengadopsi keilmiahan barat dengan membungkus pemikirannya
dengan terminalogi Islam. Sebagai “ilmu ekonomi islam” yang berlandaskan pada
konsep kesejahteraan dan distribusi versi ilmu ekonomi barat. Yang menurut
penulis, ilmu semacam ini tidak akan berhasil.
Dengan adanya ketimpangan-ketimpangan
dalam relasi antara ilmu social di barat dan di dunia ketiga, penulis
mengajukan beberapa solusi sebagai bagian dari diskursus alternative. Beberapa
solusi tersebut adalah;
1. Perlunya
studi terhadap bentuk peniruan dan adopsi yang tidak kritis terhadap ilmu
social barat.
2. Perlunya
kajian seputar stategi dan teknik normalisasi yang muncul dari adopsi dan
penerapan teori pembangunan secara tidak kritis di dunia ketiga.
3. Perlunya
mempelajari berbagai cara penghapusan dan pengawasan suara-suara ulayat.
4. Aktivitas
ilmiah social mempertimbangkan pandangan dunia, konteks sejarah, dan praktek
budaya masyarakat Asia sehingga konsep dan teori alternative dapat dikembangkan
5. Ilmu
social alternative harus memiliki implikasi bagi politik praktis, kerja social,
rumusan kebijakan, dan penerapan program.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar