Menziarahi Teks-Teks Arab-Melayu
pada Piring-Piring Inggris[1]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah:
Historiografi (Review 2)
Banyak kisah yang dikandung dari
rupa-rupa artefak yang tertorehkan teks. Mulai dari inskripsi-inskripsi batu,
kayu-kayu yang dipahat, lontar, hingga daluang, semuanya menjadi sarana bagi teks
membunyikan segala rupa peristiwa, maklumat, ayat-ayat suci, hingga syair.
Setiap
artefak hakikatnya punya ceritanya tersendiri. Misal saja kisah ”Cawan Suci” (Holy Grail) dalam kisah ”Perjamuan
Terakhir” (Last Supper) yang
dilukiskan secara menawan oleh Leonardo da Vinci. Saat-saat terakhir
kebersamaan Yesus bersama murid-muridnya yang ditutup oleh sebuah perjamuan,
terlihat Maria Magdalena menyodorkan Cawan Suci kepada Yesus. Cawan berisi
anggur menjadi simbol kesucian pengorbanan darah Yesus saat-saat menjelang
penyaliban. Dan Brown sebagai novelis sejarah mencoba merekonstruksi kisah
Cawan Suci dalam narasi yang hidup dari baur imajinasi dan fakta-faktanya yang
terintegrasi kuat. Tentu, nilai historis wadah seperti cawan akan lain makna
historisnya jika bukan sekedar sebagai wadah minum, tapi juga wadah bagi teks-teks
pengetahuan. Pun halnya larik-larik syair klasik Rubaiyyat-nya Ommar Khayam yang digandrungi dunia Eropa pada abad
19, berkali-kali menyebut “cawan anggur” sebagai simbol kebahagiaan jasmani dan
ruhani.
Setidak-tidaknya itu juga barangkali yang
terbuktikan dari piring-piring Inggris berhias sajak-sajak Melayu sebagaimana
didapati di makam-makam Islam dalam penelitian Henri Chambert-Loir. Seperti
halnya perburuan kisah Cawan Suci dan atau mereguk cawan anggur, barangkali itu
juga yang dilakukan Henri. Sebagai filolog cum sejarawan yang piawai membaca
aksara-aksara kuno Nusantara, Henri memeriksa sajak-sajak Melayu yang menghiasi
piring-piring Inggris. Dan tersirat, bagi Henri teks-teks Melayu dalam piring Inggris,
dalam segi filologis bukan hanya soal menangani aksara, tapi juga mempunyai
dimensi ideologi dan historis. Dimensi yang pertama agaknya tidak terlalu aneh
baginya. Tapi, dimensi yang kedua telah membawa Henri kepada suatu penziarahan
menarik yang melintasi ruang dan waktu tak diduga-duga.
Piring-piring itu tertempel pada
tembok di makam Sunan Bonang di Tuban, serta makam Sunan Gunung Jati dan Ki
Gede Kebangusan di Cirebon. Memang, bukan hanya piring-piring buatan Inggris, tapi
juga ada buatan Tionghoa. Hanya saja yang menarik dari buatan Inggris ini
adalah teks-teks yang tertoreh di atas piring itu berbahasakan Melayu dengan
teks beraksara Arab. Piring-piring bersajak Melayu itu tentu punya makna
ideologis, dengan pasal itu ditempelkan di makam-makam Islam. Makam-makam itu sendiri
berkurun tahun tua, tapi usia piring-piring itu lebih muda usianya karena dibuat
dan banyak beredar pada pertengahan abad ke-19 di tempat-tempat berjauhan
(Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Malaysia). Sehingga jelas
penempelan piring-piring itu di tembok-tembok makam dilakukan jauh belakangan. Apa
alasan penempelan tersebut?
Menyoal ini, Henri memilah sisi lain dari teks-teks itu demi menemukan sisi historisnya. Baginya, jelas, sastra
dan sejarah adalah dua hal yang saling berkaitan. Namun, semua teks berupa
syair dalam piring-piring Inggris ternyata berkaitan dengan sejarah suatu nama,
keluarga, dan produsen piring-piring tersebut yang nun berada di Eropa (Inggris
dan Belanda). Semua jenis piring Inggris berupa piring makan biasa dan piring
sup memuat pantun di tepi dan syair di tengahnya. Ini menjadi pijakan awal
Henri menziarahi teks-teks yang bukan hanya didapati di piring, tapi juga
membunyikannya melalui telusur literatur. Serupa benar dengan kerja Sherlock
Holmes menyusun puzzle kasus-kasus
misteri. Dari empat buah pantun dalam tepian piring itulah puzzle misteri piring-piring Inggris disusun. Satu contoh pantunnya
berbunyi begini: “yang membuat namanya Adam, Wakilnya Tolson di Betawi, Syair
dan pantun banyaklah ragam, Janganlah Tuan kikir membeli.”
Sebuah larik pantun ternyata bisa membawa peneliti
sejarah seperti Henri ke dalam dunia korporasi niaga yang tak ada hubungannya
dengan makam-makam Islam. Pelacakannya atas rupa-rupa sumber literatur mulai
dari “ensklopedia manufaktur porselin Inggris”, hingga “sejarah keluarga Adams”
untuk membunyikan fakta-fakta di balik piring-piring Inggris itu berhasil
mengenalkan Henri kepada perusahaan Tolson atau Anderson Tolson di Batavia yang
menjadi agen dari “Adam” maupun “Anderson Hunt” di Inggris (hal. 155-157).
Sisi
menariknya, piring-piring itu menempel di tembok-tembok makam Islam. Menjadi
lebih menarik, teks-teks yang tertera di piring-piring itu bertuliskan aksara
Arab berbahasa Melayu yang sedikit saja memuat tema religius. Selebihnya
teks-teks bertema syair cinta dan wanita yang cenderung ‘erotis.’ Ambil misal bunyi syair yang
dikutip Henri ini (hal: 163):
“Pahanya seperti paha belalang
Laksana manikam di dalam baling
Permainya bukan alang-kepalang
Barang yang memandang rasanya
walang”
Hal yang
menguatkan alasan mengapa tema erotis yang tak
bernafas religius sedikitpun –meski
sebenarnya syair bagi Omar Khayyam juga punya nilai religiusitas tersendiri– pada piring bisa ‘tersasar’ di tembok-tembok makam, tak lain karena aksara Arabnya. Dengan lain kata, huruf Arab bagi si
penempel piring itu dinilai merepresentasikan keislaman. Dan sebaliknya, Islam
bagi si penempel, seperti halnya masyarakat muslim Indonesia, kadung
diidentikan dengan Arab. Semua yang berhuruf Arab dipastikan Islam(i). Karena
Islami, maka huruf-huruf itu disakralkan. Ini juga yang membuat kisah sebuah
piring bertuliskan basmalah dan hamdalah pada 1984 dilarang oleh
pemerintah Indonesia dengan alasan tidak patut menaruh makanan di atas asma
Allah (hal. 153 – 154).
Pada sisi
ideologis, ini memang menarik, bahkan sangat menggelikan. Tapi, setidaknya,
secara filologis Henri ingin memberi unjuk betapa secara paratext, aksara Arab-Melayu punya kisah-kisah menarik untuk
ditafsirkan.
[1]
Pembacaan atas Henri Chambert-Loir. 2011. “Melahap Teks: Piring-Piring Inggris
Berhiasan Sajak Melayu”, dalam Sultan,
Pahlawan dan Hakim. Jakarta:
KPG & EFEO (hal. 153 – 169)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar