Menguasai Sejarah, Menekuni, Bahasa,
Menaklukan Jajahan[1]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah:
Historiografi (Review 3)
De taal is
macht...
(Karel Frederik Holle)
Pada abad ke-19 hingga medio
pertama abad ke-20, langgengnya kolonialisme di berbagai tanah jajahan mulai
dari benua Amerika, Afrika, hingga Asia bukan sekedar bermodalkan karena mapannya
kekuasaan politik. Tatkala ekonomi menumbuh dan politik kian menubuh, maka
memasuki abad ke-19 perhatian kolonialisme lebih digiatkan di bidang
pengetahuan, khususnya etnografi. Sebagai cikal bakal antropologi, bidang ini
mulai memetakan bahasa, geografi, dan ragam manusia (taal, land, en volkenkunde) di tanah jajahannya berikut sejarah dan
kebudayaannya.
Sejak abad
ke-19 hingga abad ke-21 ini, identitisikasi sosial dan budaya sendiri makin berkembang
dan berubah pelik seiring bergulirnya kondisi zaman. Perkembangan ini sendiri lebih dilahirkan dari rahim kepentingan politik
kolonial. Manusia di tanah jajahan berikut sejarah dan kebudayaannya
pun diteliti semata-mata bukan untuk sekedar menghasilkan studi etnologi saja,
tapi lebih dari itu, semua ini lebih pada proyek politik kekuasaan pemerintah
kolonial melalui kerja dan karya para sarjananya.
Dalam hal
ini, sejarah dan bahasa menjadi dua saluran penting untuk memapankan eksistensi
kolonial. Dengan kata lain, kata-kata George Orwell setidaknya
terbunyikan : “siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa
kini ; dan yang menguasai masa kini akan menguasai masa depan.” Selain
itu, bahasa-bahasa di tanah jajahan, seperti dibilang linguis Holle, perlu
dikuasai juga sebagai kekuatan (macht)
untuk memahami karakter manusia di tanah jajahannya. Pentingnya penguasaan
sejarah dan bahasa inilah yang setidaknya tersirat dari tulisan Coolhaas bertajuk
Sekitar Sedjarah Kolonial dan Sedjarah
Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Bahasa (1971).
Seperti disiratkan
Coolhaas dari kata-kata de Jonge (hal. 9), bahwa dengan bekal ilmu bahasa, ilmu
bumi, dan ilmu bangsa-bangsa pribumi, pemerintah kolonial dapat menentukan
posisinya sebagai penguasa atas dunia jajahannya. Walhasil, kata-kata de Jonge
itu terbukti. Hampir secara serempak, politik kolonial Eropa berhasil menancapkan kuku kuasanya mulai
dari Asia, Afrika, Amerika, hingga Pasifik. Tak heran Inggris mampu menguasai
hampir seluruh permukaan dunia buah dari ketekunannya mengembangkan politik sejarah
dan bahasa di tanah-tanah koloninya.
Pun halnya
kolonialisme Belanda di Indonesia. Meski hegemoninya tidak semasif Inggris,
Belanda tak kalah serius meneliti Hindia Belanda sebagai aset politik dan
ekonominya. Riset sejarah dan bahasa (inlandsche
taal) para sarjana yang disponsori lembaga semisal Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen menjadi bukti, bahwa proyek-proyek ilmu
pengetahuan berkontribusi penting juga memapankan kekuasaan politik kolonial di
Hindia Belanda.
Tak heran
para sarjana kolonial seperti sejarawan akademisi dan amatir mulai dari
Valentijn, Raffles, de Jonge, Hageman, hingga de Graaf serta para linguis
seperti Herman N. van der Tuuk, Rigg, K.F. Holle, Juynboll, Oosting, dan
Coolsma, mendalami dunia jajahannya secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Punggawa bahasa Nusantara, van der Tuuk, misalnya, menjadi penguasa bahasa Batak, Lampung, Melayu, Jawa,
Sunda, Bali, dan Jawa Kuno. Karya besarnya, Kamus Batak – Belanda (Bataksch-Nederduitsch
Woordenboek [1861]) hingga saat
ini masih menjadi rujukan terandal bagi siapa saja yang meneliti budaya Batak.
Dengan
menguasai bahasa-bahasa di tanah jajahannyalah Tuuk dapat menguasai seluk-beluk
pengetahuan (tradisi, budaya, adat, hingga mentalitas) rakyat pribumi. Dalam
konteks kolonial, bentuk penguasaan ini adalah sejenis penjinakan bahkan
pengadaban rakyat pribumi agar bisa masuk dalam segala kepentingan mereka.
Misi-misi kaum kolonialis Eropa, sebutlah dengan memberi pendidikan,
kristenisasi, penelitian etnografi, serta menjalin hubungan politik dan ekonomi
lokal, dilakukan melalui pengiriman “utusan bahasa” yang salah satunya
dimotivasi oleh misi Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG/Perhimpunan Injil
Belanda) pada paruh pertama abad 19. Sebagai salah satu utusan itu, van der
Tuuk berujar :
“Semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa
Nusantara sama sekali tidak berharga, dan tidak akan ada perubahan, selama
orang tidak mempelajarinya atas kepentingan bahasa-bahasa itu sendiri. Orang
tidak akan banyak mencapai di segala bidang selama melakukan pekerjaan itu
tanpa cinta.” dikutip dari Groeneboer [2002 : 3])”
Sejak
pendiriannya pada 1814, NBG telah mencetak ulang terjemahan Alkitab berbahasa
Melayu beraksara Arab dan Latin. Disusul dengan menerjemahkan Alkitab berbahasa
Jawa seiring mendesaknya kebutuhan politik untuk mengkristenkan Tanah Jawa.
Berlanjut pada 1845, diputuskan membuat Injil dalam terjemahan ke dalam bahasa
Dayak, bahasa Makasar, bahasa Bugis, dan bahasa Batak. Disusul kebijakan NBG
mengirim para “utusan bahasa” seperti B.F. Matthes ke Makasar, van der Tuuk ke
tanah Batak, dan A. Haderland ke Dayak untuk juga menerjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Dayak.
Selain
bidang agama, ”kecintaan” ini pun merasuk juga ke dunia arkeologi. Misalnya
C.M. Pleyte, N.J. Krom, C.C. Berg, dan R.A. Kern yang bertugas di Oudheidkundigen
Dienst (Dinas
Kepurbakalaan) banyak meneliti kebudayaan masa Hindu-Budha. Selain itu, Kern,
misalnya juga, berandil memetakan bahasa Austronesia yang membantu para
peneliti masa-masa kemudian dalam membahas pertautan sejarah bahasa daerah dengan
bahasa di kawasan Asia Pasifik.
Melalui
”pendekatan sejarah dan bahasa” itulah, hubungan kolonial dengan pribumi
dicitakan dapat saling memahami. Namun tujuan pokok di baliknya, dengan merangkum
pemikiran Coolhaas, semua ini semata-mata agar dapat mengikat emosi masyarakat
pribumi supaya yang terjajah bisa masuk serta mendukung segala misi dan
kepentingan si penjajah. Strategi sejarah dan bahasa inilah yang menjadi sebab
langgengnya kolonialisme yang mewariskan juga konstruksi identitas dan
mentalitas bagi anak-anak jajahannya.
[1] Pembacaan atas W.PH. Coolhaas
(1971). Sekitar Sedjarah Kolonial dan
Sedjarah Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Bahasa. Jakarta: Bhratara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar