”Kerajaan Tekstual”:
Bukan Awal dari Sebuah Akhir[1]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah:
Historiografi (Review 4)
”Tidak ada apapun di luar teks”
(Jacques Derrida, Of
Grammatology)
Dengan merekam realita dalam
sekumpulan teks, berarti seorang penulis telah mereduksi segala obyektivitas
kehidupan yang diamatinya. Walhasil sekumpulan teks adalah sekumpulan
subyektivitas yang dilahirkan dari berbagai kecenderungan, entah itu politik,
ekonomi, sosial, budaya, hingga mentalitas sang penulis menghadapi subyek atau
obyek yang ditulisnya. Dengan begini, jelas sudah, yang diabadikan dari
kata-kata, tak lebih hanya pengabadian atas alam pikiran sang penulis.
Itulah yang
membuat Mary Catherine Quilty menyebut sejarah pengaruh Inggris di Asia
Tenggara lebih sebagai “Kerajaan Tekstual.” Dalam bukunya Textual Empire; A Reading of Early British Histories of Southeast Asia (1998),
Mary menelisik bagaimana pengaruh teks-teks yang dihasilkan oleh sosok-sosok
seperti William Marsden, M. Symes, Thomas Stamford Raffles, John Crawfurd, dan
J. Anderson berandil besar menubuhkan citra negeri koloni berdasar perspektif
mereka.
Melebihi
aspek politik dan militer, modal yang abadi untuk menguasai tanah jajahan
adalah menanamkan segala pengetahuan ke dalam karya-karya historiografis.
Pengaruh Inggris di Asia Tenggara dilandasi juga oleh modal demikian. Meski
pengaruh politiknya tidak selama dan sebesar Belanda di Hindia Timur atau
Perancis di Indo-China, Inggris sangat sadar diri untuk menghadirkan diri
mereka melalui ”Kerajaan Tekstual”-nya. Hal ini terasa sekali ketika memasuki
betapa kuasanya kata-kata sebagai sebuah jalan baru untuk mentransmisikan
pengetahuan kepada khalayak pembaca Eropa. Dalam sudut pandang orientalisme, transmisi
pengetahuan buah karya orang-orang Inggris ini dilandasi lebih pada kesan bagaimana
kawasan Asia Tenggara ’dijinakan.’ Kata ’dijinakan’ bisa hadir dalam benak dan
pikiran pembaca melalui teks-teks yang dibacanya. Jika begini, maka para
penulis teks telah berhasil menyebarkan gagasan ke pada khalayak pembaca
mengenai citra kawasan Asia Tenggara yang terdedahkan dari alam pikirannya,
bukan dari realitas sebenarnya.
Setidak-tidaknya,
hal ini terbuktikan dari karya tersohor semisal History of Sumatra-nya Marsden.
Sebagai karya yang saintifik bagi para penulis Inggris, karya Marsden ini
menjadi semacam model dalam menelaah kawasan Asia Tenggara pada paruh pertama
abad 19. Kecenderungan lebih saintifik sendiri sebagaimana dikatakan Michel de
Certeau (1988) adalah buah dari hasrat Enlightenment
yang merasuk jiwa Eropa pada masa abad 18. Tujuan teks-teks yang dihasilkan
Marsden, kemudian diikuti Symes, Raffles, Crawfurd, dan Anderson adalah semacam
jalan pencerahan untuk mendidik publik.
Karya-karya
orang Inggris di Asia Tenggara sungguh lebih sebagai semacam panduan (handbook) untuk mengubah cara dan
kebiasaan hidup masyarakat yang diobservasinya. Mereka melakukan kritik dan
komentar terhadap teks-teks terdahulu (abad 16 – 18) yang dirasanya terlalu
dangkal atau tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya.
Maka itu,
kesan saintifik dengan menelusur detil segala obyek yang ditelaahnya lebih
menggejala pada awal abad 19. Crawfurd dalam History of the Indian Archipelago (1820) terkesan lebih menilai teks-teks
terdahulu atas Asia Tenggara lebih banyak diselimuti fiksi. Tapi pada awal abad
19 ia yakin segala fiksi itu dapat ditaklukan oleh realitas melalui pemikiran
orang Eropa (seperti dirinya). Tak heran, seperti halnya Crawfurd, Raffles
dalam dua jilid magnum opus-nya History
of Java, menelaah segala beluk alam Jawa mulai geografi, manusia pribumi,
pertanian, flora, fauna, hingga reruntuhan candi secara rinci dilengkapi oleh
lukisan dan peta sebagai sarana untuk menayangkan teks-teksnya. Bagi mereka, menjadi
lebih saintifik mengesankan semacam kepercayaan diri untuk lebih menjinakan
alam Timur secara lebih wibawa dan beradab. Atau dalam kata-kata Crawfurd –saat
ia mengomentari candi-candi di Jawa yang dinilainya dibuat ceroboh tanpa
imajinasi seni– demi ”menjinakan si ceroboh” (to ’tame’ the ’wanton’).
Keilmiah macam
inilah yang dikatakan Foucault dipakai untuk ”membatasi kebebasan wilayah
pengalaman dirinya” atas yang ditelitinya. Meski masih ada cara pandang macam
Crawfurd, tapi jika dibandingkan dengan para peneliti masa-masa sebelumnya yang
terperangkap mentalnya dalam meliyankan si obyek yang ditelitinya, maka
generasi awal abad 19 setidaknya lebih proporsional dalam teks-teksnya.
Sebagai
misal pengamatan Marsden dan Anderson atas kanibalisme di kalangan orang Batta
(Batak) yang mewanti-wanti pembaca untuk lebih bijak memahaminya. Keduanya
tidak menemukan citra dan cerita berlebihan yang dilekatkan oleh laporan para
petualang sebelumnya (old travellers).
Anderson bahkan lebih berimbang dengan menekankan adanya sisi-sisi eksotik di
balik kengerian citra dan cerita yang ia terima sebelumnya. Pun ini dilakukan
juga oleh Crawfurd saat mengomentari tentang citra dan cerita tradisi
pengorbanan janda (suttee) di Bali
yang tak pernah ia saksikan. Justru citra dan cerita suttee ia dapati dari banyak orang-orang di luar Bali.
”Kerajaan
Tekstual” para peneliti Inggris paruh pertama abad 19 memang memberi nuansa
berbeda melalui pengilmiahan gaya narasi mereka atas sejarah Asia Tenggara.
Meski begitu, sebagaimana juga mereka mengeluarkan dunia pengetahuan dari
teks-teks lama dan memasukan dunia mereka sendiri dalam teks-teks barunya, ini
memberi kesan bahwa ”Kerajaan Tekstual” mereka bukanlah awal dari sebuah akhir.
Jejak teks-teks
mereka memang kian menua. Jika meminjam arkeologi pengetahuan-nya Foucault,
akankah teks-teks mereka memfosil dilumat oleh ”Kerajaan Tekstual” baru yang
bisa menandingi mereka?
[1] Pembacaan atas Mary Catherine
Quilty. 1998. “Natural Histories: The New Ways of Knowing” dalam Textual Empire; a Reading of Early British
Histories of Southeast Asia. Monash: Monash University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar