Nama :
Suriani
NIM : 12/338550/PSA/07236
Dekade Yang Menghilang[1]
Periode sejarah tahun 1950-an masih
dianggap sebagai periode yang sedikit membingungkan dalam historiografi
Indonesia, karena tidak dapat dimasukkan ke dalam periodesasi sejarah Indonesia
yang manapun. Periode ini menjadi sebuah periode yang sedikit di“anti”kan oleh
sejarawan. Padahal banyak sekali
“rahasia” dan fakta yang
tersembunyi dalam periode ini.
Hakikatnya,
periode tahun 1950-an merupakan periode “kunci” dalam sejarah bangsa Indonesia,
karena pada periode ini terdapat banyak persoalan-persoalan yang sangat
sensitive dan menarik. McVey mengemukakan bahwa membicarakan periode ini
berarti membicarakan mengenai “Indonesia seharusnya seperti apa”, di dalamnya
termasuk sistem politik dan juga demokrasi macam apa yang seharusnya dimiliki
Indonesia, juga masalah apa itu sebenarnya bangsa Indonesia, dan bagaimana
bangsa Indonesia itu lahir.
Tidak hanya
masalah tersebut, masalah yang juga terkait dengan periode ini adalah defenisi
kapan sebenarnya “tahun 1950-an” itu berlangsung. Feith menjelaskan bahwa
periode 1950-1957 sebagai sebuah periode Demokrasi Konstitusi, tidak termasuk
dalam periode Demokrasi Terpimpin pada tahun 1960-an. Jika begitu, maka periode
1950-an adalah periode sangat pendek. Adrian Vickers sendiri menganggap bahwa
periode itu tidak sependek itu, ia beranggapan bahwa periode itu harus dilihat
jauh sebelumnya, mulai dari tahun 1940-an sampai tahun 1960-an dan juga bisa
saja sampai tahun 1968 dan 1974. Jika periode itu sepanjang seperti anggapan
Vickers maka semangat membebaskan diri dari cengkraman kolonial, keinginan
menyerap yang dianggap modern dan keinginan mengabdi pada pembangunan bangsa
baru akan sangat mungkin tercakup dalam pembahasan periode ini.
Masih juga
berkaitan dengan masalah-masalah dalam periode ini, tentang kelahiran bangsa
Indonesia dan juga masalah “nasionalisme”. O’Malley mengatakan bahwa Indonesia
baru lahir pada tahun 1945 atau bahkan 1949. Jika begitu maka pernyataan Geertz
benar bahwa “nasionalisme” Indonesia lahir lebih dulu dibandingkan dengan
negara Indonesia. Namun hal itu tentu tidak sesuai dengan pernyataan Yamin yang
menganggap bahwa Indonesia sudah ada sejak masa Majapahit dan Sriwijaya,
Indonesia yang terbentuk belakangan hanyalah kebangkitan kembali dari Indonesia
sebelumnya itu. Selain itu, Benedict Anderson dan Kahin mengatakan bahwa asal
usul bangsa Indonesia terletak pada periode kolonial, karena pada periode
tersebut menghasilkan kepemimpinan nasional, dan juga kaum intelektual. Perbincangan
masalah lahirnya Indonesia sebagai negara dan Indonesia sebagai sebutan atau
istilah juga dibahas oleh RE. Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia: a History.
Masalah identitas
kebangsaan dan nasionalisme juga sangat menarik dalam periode ini, periode yang
dimulai tahun 1940-an maksudnya, karena masa itu adalah masa-masa dimana
Indonesia sebagai negara baru terbentuk. Selain itu, pada masa itu juga
masyarakat pemegang kekuasaan dan perekonomian pada masa itu juga belum secara
lengkap terbentuk. Sehingga kembali memunculkan persoalan siapa orang-orang
yang mendirikan Indonesia? Jika membahas masalah tersebut akan memunculkan
masalah elite birokrasi dan aristokrasi. Didalamnya terdapat peranan priyayi/bangsawan
dalam pembentukan patron-klien yang berperan besar setelah proses revolusi Indonesia dan juga elite
militer yang medominasi pada periode tersebut.
Pada
periode ini, seperti yang disebutkan sebelumnya sebagai “rahasia” dan fakta yang tersembunyi, hal tersebut
adalah dalam istilah saya, (maaf), sebuah borok, yaitu kegagalan proses
institusionalisasi demokrasi menjadi
dasar bagi ketegangan dan kekecewaan yang melahirkan penentangan. Masa Ini juga
digambarkan sebagai tahun-tahun usaha yang gagal untuk menegakkan demokrasi
parlementer dan tahun-tahun tegarnya dan gelisahnya daerah menghadapi usaha
mempersatukan Indonesia[2]. Melalui
padangan Elson dalam bukunya, kita memperoleh gambaran kelabu tentang segala
perkembangan politik yang ada, dan kemudian menjadikan “ketergantungan pada
pemimpin” dan “sifat para pemimpin” sebagai sumber masalah. Dengan kata lain,
proyek politik Sukarno menjadi sebuah proyek gagal yang “buahnya berakhir pada
banjir darah” dan juga “politik otoriter” Orde Baru[3].
Pada awal
periode ini, banyak sekali pencapaian yang dihasilkan, seperti penciptaan
negara modern dari bahan-bahan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang,
peanggulangan utang atas penjajahan, pembentukan undang-undang dan pembentukan
dan perluasan pendidikan. Namun ketika penentangan feodalisme, pelaksanaan
mobilitas sosial dan penciptaan semangat kebangsaan tidak tercapai, yang muncul
adalah kekecewaan akan pemimpin dan pemerintahan pada masa itu. Keadaan
tersebut dimanfaatkan secara optimal oleh pihak yang mengerti, dan memunculkan
sebuah bentuk kekuasaan baru seanjutnya dengan nama Orde Baru. Dan kekuasaan
baru ini menutup dan mengaburkan semua pencapaian baik yang dihasilkan pada
periode 1950-an tersebut.
Sampai pada
kesimpulan, kesulitan pengungkapan periode 1950-an ini dalam sejarah Indonesia awalnya
adalah akibat dari visi pemerintahan Soeharto mengenai sejarah yang menekankan
stabilitas. Namun setelah pemerintahan Soeharto berakhir, periode ini juga
tidak banyak diungkap. Padahal periode 1950-an adalah periode yang patut
dilihat menurut hakikatnya sendiri sebagai periode dengan harapan-harapan yang
masih belum terwujud.
[1] Sebutan Ruth McVey
untuk era 1950-an dalam sejarah Indonesia
[2] Remco
Raben. Bangsa, Daerah, dan Ambiguitas
Modernitas di Indonesia tahun 1950-an dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. YOI dan KITLV :
Jakarta. 2011
[3] R.E.
Elson. The Idea of Indonesia : A History. New York: Cambridge University Press, 2008.
hal 238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar