Fatma
12/336677/PSA/07190
Penulisan
sejarah selalu dipengaruhi jiwa zamannya (zeit
geiz). Sangat tepat menggambarkan bahwa penulisan sejarah (historiografi)
selalu berkembang dari masa ke masa. Inilah inti pemikiran Heather Sutherland dalam
artikelnya. Menurutnya ada dua hal yang mempengaruhi perkembangan historiografi,
yakni (1). Bagaimana sejarawan menulis sejarah dalam gelanggang politik dan
budaya yang berubah-ubah. Unsur subjektifitas tidak dapat dipisahkan dari
perubahan tersebut. Persoalan subyektifitas dan objektifitas sejarawan selalu
menjadi bahan perdebatan dalam penulisan sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo,
penggambaran peneliti (sejarawan) mengenai peristiwa
sangat bergantung pada segi (sisi) mana pandangan dan pada dimensi mana
perhatian (sejarawan) diarahkan, serta unsur-unsur mana yang hendak diungkap.[1]
(2). Persoalan teoritis dan praktis yang dihadapi peneliti
ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Persoalan
ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti munculnya
paradigma ilmu sosial baru sebagai kritik ataupun perbaikan dari paradigma ilmu
sosial lama. Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut juga berdampak pada kajian
ilmu sejarah berupa keragaman eksplanasi dan keragaman epistemologis.[2]
Heather
Sutherland juga membahas persoalan Eropasentrisme dan politik sejarah, terutama
dalam masyarakat majemuk pascakolonial yang terus hangat diperbincangkan. Setelah
dekolonisasi, disadari bahwa sejarawan harus melangkah untuk menjauhi
perspektif yang Eropasentris. Ini berarti sumber lokal menjadi bagian penting
dalam penulisan sejarah. Seperti di Indonesia pada pasca seminar tahun 1957,
sejarawan Indonesia mencoba merumuskan historiografi Indonesia (Indonesiasentrisme). Indonesiasenterisme
diharapkan menjadi pencerahan baru dalam historiografi Indonesia pascakolonial.
Sejarawan pada masa-masa itu berusaha menjauhi sumber-sumber kolonial dan
berusaha keluar dari Europasentrisme. Namun, kenyataanya Indonesiasentrisme hanya
terkesan seperti tradisi historiografi kolonialsentris yang ingin digantikan.[3]
Peran negara dalam penulisan sejarah
tak luput dari perhatian Heather Sutherland. Menurutnya, penulisan sejarah nasional
terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional. Negara berusaha
menghadirkan sejarah nasional yang memberikan legitimasi kepadanya. Untuk
mencapai hal ini, maka identitas-identitas lama dan konflik-konflik lama harus
ditempatkan jauh di bawah narasi kemenangan nasionalime. Begitupun, dengan
sejarah lokal yang bertentangan dengan pandangan negara, ia hanya dianggap
sebagai cerita rakyat dan terkesan terlupakan. Fenomena ini terlihat jelas
dalam historiografi Indonesia masa orde baru. Bagaimana negara menjadi penguasa
segala bidang kehidupan termaksud sejarah nasional. Pemerintah Orde Baru mencoba
menghapus memori sejarah masyarakat Indonesia dengan menghadirkan memori
sejarah baru yang telah di interpertasikan berdasarkan kepentingannya. Ini
terbukti dengan munculnya enam jilid SNI (Sejarah Nasional Indonesia) pada masa
Orde Baru. Sama halnya, Orde Baru menyusun ulang seluruh epik komunisme di
Indonesia sehingga peranan itu muncul sebagai penyimpangan kecil tetapi berbahaya
dari jalan nasional.[4]
Orde Baru juga berusaha menghapus perspektif
dan identitas lokal dalam sejarah nasional. Sejarawan pada masa ini
terkesan berada di bawah pelukan pemerintah. Namun, ini bukan berarti tidak
memunculkan perlawan dari sejarawan kritis yang berusaha melawan pemerintah,
walaupun nasibnya berakhir di balik jeruji besi dan tiang gantungan.
Heather Sutherland juga melihat
perdebatan pascamodernisme sebagai masalah yang paling umum dihadapi sejarawan.
Ia mengemukakan dua hal; Pertama,
analisis logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas yang
berguna dan merusak, begitupun dengan analisis lingusitik dan budaya. Kedua, ia mengkritisi pemisahan antara
modernisme dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan, antara tekad
untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak
mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Ia menyadari bahwa
ini adalah sebuah kompromi dengan penulisan sejarah yang ditentukan oleh
budaya, bukan hanya Eropasentrisme. Inilah yang patut di contoh oleh para sejarawan
Indonesia generasi berikutnya. Bagaimana mereka dapat bercermin dari sejarah
historiografi Indonesia sebagai bukti pembelajaran masa lalu. Sehingga, harapan
untuk menghadirkan historiografi Indonesia yang berada ditengah-tengah persepektif
Indonesiasentrisme dan Eropasentrisme dapat tercapai. Hal ini mengingatkan pada
kalimat yang dikemukakan oleh Leopold Von Ranke bahwa “Setiap Generasi
Berhak Menulis Sejarahnya Sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar