Fatma
12/336677/PSA/07190
Perbincangan tentang
diskursus alternatif dalam Ilmu Sosial hangat diperbincangkan. Syed Farid
Alatas mencoba menghadirkan diskursus ini dengan prespektif model yang sedikit
berbeda. Menurutnya terdapat dua rintangan universal dalam diskursus tersebut
yakni struktur kebergantungan akademis dan lingkungan budaya diskursus akademis.
Kenyataanya sebagian besar Ilmuwan sosial Asia belum mampu keluar dari belenggu
Eurosentrisme. Sehingga, memunculkan karya yang terkesan membalikan keadaan. Hal
ini senada dengan kajian Linda T. Smith sebelumnya yang juga menyoalkan
dekolonisasi metodologi di
Indonesia misalnya, bagaimana sejarawan Indonesia mencoba keluar dari
perspektif kolonial menuju perspektif Indonesiasentrisme.
Jika
hanya membalikkan keadaan saja tanpa data-data terbaru dan juga perspektif yang
baru pula, maka upaya pembalikan itu juga hanya akan menciptakan hasil yang
sama dengan sebelumnya. Sebab itu, langkah terpenting sekarang, menciptakan
satu model (kajian) yang benar-benar berbeda dengan kajian sebelumnya, yakni
dengan menggunakan data yang belum dipergunakan oleh ilmuwan manapun. Cara ini
sebenarnya sangat penting untuk dilakukan, karena dapat menghadirkan sebuah
pemahaman yang berbeda terhadap fenomena sosial di masyarakat dewasa ini.
Begitu juga dengan masa lalu yang selalu aktual untuk dibicarakan terus. Tiada
henti untuk menciptakan kebaruan perspektif (alternatif) dalam ilmu sosial.
Dalam buku ini Syed
Farid Alatas mendiskusikan berbagai diskursus-diskursus Alternatif dalam Ilmu
Sosial di Asia. Diskursus-diskursus tersebut disebabkan oleh aliran-aliran
pemikiran dalam Ilmu sosial yakni Amerika, Inggris dan Prancis. Aliran-aliran
ini mengakibatkan munculnya para pengikut pemikiran-pemikaran tersebut yang
selalu menjadikanya sebagai landasan berpiki.
Hal inilah yang dikritisi oleh Syed Farid Alatas. Ia
tidak menginginkan
para Ilmuwan membebek dengan aliran-aliran tersebut. Selain itu, Syed Farid
Alatas juga mengkritisi pandangan orang Asia terhadap Eurosentrisme. Kritik-kritik
tersebut mencakup tinjauan terhadap Orientalisme, Eurosentrisme, belenggu pemikiran (the captive mind), imperialisme
akademis, dan kebergantungan akademis, yang semuanya menyerukan perlunya
diskursus alterlatif yang lebih membebaskan, demi menghasilkan pengetahuan yang
terdekolonisasi, tradisi ilmu sosial yang otonom, dan mengulayatisasikan ilmu
sosial. Pembelengguan pemikian pada dasarnya hanya menciptakan
kemunduran, bukan kemajuan ilmu pengetahuan, khusus Ilmu Sosial di Asia
Tenggara. Nah, itulah kenyataan yang ada dan terjadi di Indonesia, salah
satunya.
Menurutnya hal
serius yang harus ditangani adalah adanya “benak terbelenggu” (captive mind). Hal ini menyangkut pemikiran
Asia yang ingin menghadirkan prespektif lokal dengan mengabaikan prespektif
Eurosentrisme. Hal ini tidak akan memunculkan tradisi ilmu sosial yang otonom, yang selama ini
menjadi harapan orang Asia. Menurutnya, komitmen bahwa sumber teori, konsep,
dan ide secara keseluruhan bersifat universal, meskipun terdapat variasi
menyangkut sejauh mana ide-ide dari luar lokalitas dibawa masuk dan
didomestikan, bergantung pada ketaatan terhadap kriteria relevansi.
Diskursus-diskursus
alternatif yang diperbincangkan selama ini adalah munculnya para Ilmuwan yang
mampu berada di dua prespektif tersebut. Ilmuwan-ilmuwan ini diharapkan
meninjau ulang literatur diagnostik dan perspektif masa lalu, dan memiliki
perhatian serta kemauan untuk menumbuhkan hal baru dalam konsep, kategori,
metode, dan teknik serta agenda riset. Menurutnya para ilmuwan sosial di Asia bisa
keluar dari captive mind apabila ia
mampu menghadirkan penulisan yang berimbangan antara prespektif lokal dengan
Eurosentrisme. Sehingga, harapan penulisan ilmu sosial otonom dapat tercapai.
Ketidakmampuan
seorang ilmuwan mempertemukan dua perspektif dalam satu kajian, menjadi masalah
besar dalam upaya menghadirkan sebuah kajian yang komprehensif. Oleh karena
itu, Syed Farid Alatas memberikan sebuah kritik atas kenyataan yang telah ada
selama ini. Kelemahan tersebut ada dalam tradisi keilmuwan ilmu sosial di
Indonesia, yang belum melihat sebuah persoalan dalam beragam perspektif. Jika
ini disebut sebuah alternatif, maka benar adanya. Atau bahkan dapat dikatakan
sebagai jalan baru dalam upaya menghadirkan kajian terbaik dalam bidang Ilmu
Sosial. Salah satunya yang memang harus menggunakan jalan baru (alternatif) ini
adalah Ilmu Sejarah. Penghadiran Sejarah Indonesia yang balance menjadi sesuatu yang penting dalam menyikapi perkembangan
Teori dan Metodologi Sejarah di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar