Sebagai Seorang Pram
( Telaah Dari Bab 4 Pramoedya dan
Historiografi Indonesia)
Hilmar Farid
Oleh
Haris Zaky Mubarak
Ø Overview
Pramoedya Ananta Toer
memiliki karya – karya dikenal luas dan
mendapat perhatian oleh banyak kalangan.Karya-karyanya diterjemahkan dalam
banyak bahasa dan berulangkali mendapat penghargaan internasional.Sudah banyak
karya ilmiah yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya yang
ditulis semasa ditahan di pulau buru yang kemudian menegaskan sebagai penulis
novel penting di Indonesia. Disisi lain Pram sebenarnya juga merupakan seorang
intelektual dan kritikus budaya termasuk penulis sejarah akan tetapi sedikit
peneliti yang memberi ruang bagi Pram pada kedudukan ini. Ada lebih 150 artikel
sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial
menyangkut berbagai aspek sejarah
yang disusun antara 1956 secara sistematis sampai 1965 hingga kerja keras dari
Pram ini diakhiri secara paksa oleh Orde Baru.
Alasan utama mengapa nama dan karya-
karyanya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan di Indonesia tentunya adalah
pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karya sejak 1965 oleh penguasa Orde
Baru.[1]
Menyimpan dan memperjualbelikan dan membaca karya Pramoedya saat itu dianggap
kejahatan yang berakibat hukum. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga orang anggota
sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukum penjara karena
ketahuan menjual,membaca dan mendiskusikan buku rumah kaca. Di lingkungan
akademik pun situasinya tidak jauh berbeda,dimana aparat kampus menjadi wakil
kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari “pikiran beracun”.Pada
pertengahan 1081,beberapa waktu ssetelah Pramoedya dilepas dari pulau Buru, beberapa
mahasiswa Universitas Indonesia mengundangnya berbicara tentang peranan
intelektual dunia ketiga dikampus Fakultas Ilmu Sosial. Saat kegiatan
berlangsung, aparat kampus datang untuk membubarkannya. Mahasiswa yang menjadi
penyelenggara kegiatan itu dipecat dari Universitas dan sempat ditahan oleh
penguasa militer.
Para penulis lain cendrung berupaya
untuk memberi jarak antara karya sastranya dari masa awal dan karya pulau buru
yang disebut sebagai novel sejarah dengan kecendrungan Pram untuk bercerita
menyangkut ideologi dan kontestasi argumennya menyangkut peristiwa yang terjadi
pada 1965.Novel-novelnya Pram telah menjadi tonggak kejayaan sastra prosa
Indonesia dalam sejarah sastra Indonesia. Disisi lain perannya dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menggasak lawan politik melalui tulisan dan aksi
membuat sebagian orang menganggap bahwa
karyanya dari periode 1950an sebelum bergabung dengan Lekra dan
intelektual kiri memiliki karya yang
lebih baik mutunya daripada sesudah bergabung dengan Lekra. Oleh karenanya
wacana yang terjadi mengenai Pram adalah sebagai sastrawan ulung dengan karya
yang gemilang dan seorang kritikus yang menggasak lawan politiknya dengan
tulisan yang sangat tajam.Dan karena wacana kedua inilah Pram tidak dipandang
sebagai sejarawan atau ahli sejarah.
Ø Making Connections
Wacana bahwa
Pram bukan sejarawan atau ahli sejarah yang berarti historiografi Pram tidak dapat diakui kebenarannya inilah
yang menjadi inti dari permasalahan
yang ingin dikemukakan oleh Hilmar Farid. Menyimpulkan peran Pramoedya dalam historiografi Indonesia bukan
perkara mudah, karena begitu banyak
yang telah dikerjakannya mulai dari menulis artikel sejarah,mencari,mengumpulkan dan menyusun bahan untuk menjelaskan
sosok orang Indonesia dalam historiografi
kolonial atau nasional tampil dalam melalui pandangan
pejabat kolonial.
Kritiknya terhadap
historiografi Indonesia yang bersemangat membedakan diri dari historiografi kolonial yang dikritik. Oleh
karena yang diperlihatkan Pram dalam
karya - karyanya historiografi rumah kaca punya wajah pribumi yang seperti menggunakan dialektika dengan
subjek yang dipelajarinya daripada
sesama penulis sejarah atau mencari
kesesuai menjelaskan konteks ruang dan waktu dengan
penulis sejarah.Sebagai seorang otodidak menurut Hilmar Farid Pram tidak pernah dilatih dalam hal teori dan
metode sejarah.Ia tidak memiliki dan dilatih mengenai
teori dan metode sejarah dan kapasitas akademis menyusun filsafat sejarah yang koheren.Tulisannya mengenai
sejarah menurut Hilmar Farid lebih tepat dibaca
sebagai sebagai kumpulan fragmen ketimbang sebuah badan pengetahuan yang utuh.
Menyimak dari
pandangan Asvi Warman Adam bahwa jasa Pram adalah mengubah perspektif sejarah.Ia mencairkan kebekuan sejarah dengan
ide baru dan tokoh baru Bila selama
ini HOS Cokroaminoto yang dianggap tokoh sentral pergerakan awal abad ini,maka Pram mencoba melihat
Tirtoadhisoerjo.Pram menerbitkan
kembali hikayat Siti Mariah karya
H.Mukti yang menggambarkan alam pikir
dan jiwa rakyat jelata semasa Tanam Paksa yang tidak disentuh oleh arsip kolonial.Pram tidak menggunakan arsip untuk
menggunakan “fakta” tetapi seperti ditulis
Hilmar Farid (Pramoedya dan Historiografi Indonesia,2005),membacanya secara terbalik. Ia melihat arsip
sebagai rekaan kekuasaan kolonial yang ingin mengkonstruksi
“kebenaran:,Selanjutnya tulisan Pram tentang Yugun Ianfu di Pulau Buru sangat memperkaya sejarah lisan di
tanah air.[2]
Saya pun menilai bahwa Pram dalam konteks
sebagaimana yang dituturkan
oleh Asvi telah memberikan kontribusi terobosan dalam hal pewarnaan historiografi Indonesia. Dalam konteks ini
Saya menilai bahwa Pram sesungguhnya sudah
berupaya untuk memberikan informasi yang
sedapatnya ia dapat lakukan “sebagai
seorang Pram”. Artinya, kalau dicermati konteks pengakuan keakademisan narasi sejarah memang menjadi aktivitas
lanjutan bagi sejarawan yang berkutat dalam
dunia akademis. Pada sisi lain Bambang Purwanto menyatakan secara implisit dalam tulisan Sejarawan
Akademik dan Disorientasi Historiografi:
Sebuah Otokritik, pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada bahwa kepedulian dan karya - karya yang dihasilkan para “sejarawan amatir” itu
ternyata mampu mengisi kekosongan yang
tidak mampu dilakukan oleh sebagian besar sejarawan
akademik untuk menjadikan sejarah
benar-benar berfungsi sebagai kritik
sosial (Kuntowijoyo, 2000)[3]
[1] Pramoedya adalah satu dari ratusan
seniman,intelektual dan penulis yang
termasuk “daftar orang terlarang” yang dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan
dan Kebudayaan.Larangan itu tadinya hanya berlaku di lingkungan depatemen
tersebut,tapi kemudian yang berlaku untuk umum.Pada 1983 ketika menjadi Rektor
Universitas Indonesia,Nugroho Nutosusanto memerintahkan agar perpustakaan
kampus termasuk fakultas sastra tempatnya mengajar,dibersihkan dari “buku - buku
beracun”,termasuk didalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri
atau negara-negara sosialis.Lihat dalam Pramoedya dan Historiografi Indonesia
oleh Hilmar
Farid, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Henk Schulte Nordholt, Bambang
Purwanto dan Ratna Saptari (Jakarta,YOI&KITLV, 2005), hlm.80.
[2] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah(Jakarta,Penerbit
Buku Kompas,2010)hlm.160.
[3] Bambang Puwanto,Sejarawan Akademik dan
Disorientasi Historiografi :Sebuah Otokritik, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam Ilmu Sejarah FIB, Universitas Gadjah Mada,28 September 2004,hlm.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar