Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Membicarakan Pram Dalam Sejarah Indonesia


Sebagai Seorang Pram
 ( Telaah Dari Bab 4 Pramoedya dan Historiografi Indonesia)
Hilmar Farid
Oleh 
Haris Zaky Mubarak
Ø  Overview
            Pramoedya Ananta Toer  memiliki karya – karya dikenal luas dan mendapat perhatian oleh banyak kalangan.Karya-karyanya diterjemahkan dalam banyak bahasa dan berulangkali mendapat penghargaan internasional.Sudah banyak karya ilmiah yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya yang ditulis semasa ditahan di pulau buru yang kemudian menegaskan sebagai penulis novel penting di Indonesia. Disisi lain Pram sebenarnya juga merupakan seorang intelektual dan kritikus budaya termasuk penulis sejarah akan tetapi sedikit peneliti yang memberi ruang bagi Pram pada kedudukan ini. Ada lebih 150 artikel sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial  menyangkut  berbagai aspek sejarah yang disusun antara 1956 secara sistematis sampai 1965 hingga kerja keras dari Pram ini diakhiri secara paksa oleh Orde Baru.
            Alasan utama mengapa nama dan karya- karyanya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan di Indonesia tentunya adalah pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karya sejak 1965 oleh penguasa Orde Baru.[1] Menyimpan dan memperjualbelikan dan membaca karya Pramoedya saat itu dianggap kejahatan yang berakibat hukum. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukum penjara karena ketahuan menjual,membaca dan mendiskusikan buku rumah kaca. Di lingkungan akademik pun situasinya tidak jauh berbeda,dimana aparat kampus menjadi wakil kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari “pikiran beracun”.Pada pertengahan 1081,beberapa waktu ssetelah Pramoedya dilepas dari pulau Buru, beberapa mahasiswa Universitas Indonesia mengundangnya berbicara tentang peranan intelektual dunia ketiga dikampus Fakultas Ilmu Sosial. Saat kegiatan berlangsung, aparat kampus datang untuk membubarkannya. Mahasiswa yang menjadi penyelenggara kegiatan itu dipecat dari Universitas dan sempat ditahan oleh penguasa militer.
            Para penulis lain cendrung berupaya untuk memberi jarak antara karya sastranya dari masa awal dan karya pulau buru yang disebut sebagai novel sejarah dengan kecendrungan Pram untuk bercerita menyangkut ideologi dan kontestasi argumennya menyangkut peristiwa yang terjadi pada 1965.Novel-novelnya Pram telah menjadi tonggak kejayaan sastra prosa Indonesia dalam sejarah sastra Indonesia. Disisi lain perannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menggasak lawan politik melalui tulisan dan aksi membuat sebagian orang  menganggap bahwa karyanya dari periode 1950an sebelum bergabung dengan Lekra dan intelektual  kiri memiliki karya yang lebih baik mutunya daripada sesudah bergabung dengan Lekra. Oleh karenanya wacana yang terjadi mengenai Pram adalah sebagai sastrawan ulung dengan karya yang gemilang dan seorang kritikus yang menggasak lawan politiknya dengan tulisan yang sangat tajam.Dan karena wacana kedua inilah Pram tidak dipandang sebagai sejarawan atau ahli sejarah.
Ø  Making Connections
                        Wacana bahwa Pram bukan sejarawan atau ahli sejarah yang berarti         historiografi Pram tidak dapat diakui kebenarannya inilah yang menjadi inti dari        permasalahan yang ingin dikemukakan oleh Hilmar Farid. Menyimpulkan peran    Pramoedya dalam historiografi Indonesia bukan perkara mudah, karena begitu             banyak yang telah dikerjakannya mulai dari menulis artikel sejarah,mencari,mengumpulkan dan menyusun bahan untuk menjelaskan sosok        orang Indonesia dalam historiografi kolonial atau nasional tampil dalam melalui             pandangan pejabat kolonial.
                  Kritiknya terhadap historiografi Indonesia yang bersemangat membedakan            diri dari historiografi kolonial yang dikritik. Oleh karena yang diperlihatkan Pram           dalam karya - karyanya historiografi rumah kaca punya wajah pribumi yang       seperti menggunakan dialektika dengan subjek yang  dipelajarinya daripada sesama     penulis sejarah atau mencari kesesuai menjelaskan konteks ruang dan waktu       dengan penulis sejarah.Sebagai seorang otodidak menurut Hilmar Farid Pram tidak          pernah dilatih dalam hal teori dan metode sejarah.Ia tidak memiliki dan dilatih             mengenai teori dan metode sejarah dan kapasitas akademis menyusun filsafat    sejarah yang koheren.Tulisannya mengenai sejarah menurut Hilmar Farid lebih tepat    dibaca sebagai sebagai kumpulan fragmen ketimbang sebuah badan pengetahuan       yang utuh.
                        Menyimak dari pandangan Asvi Warman Adam bahwa jasa Pram adalah mengubah perspektif sejarah.Ia mencairkan kebekuan sejarah dengan ide baru dan        tokoh baru Bila selama ini HOS Cokroaminoto yang dianggap tokoh sentral   pergerakan awal abad ini,maka Pram mencoba melihat Tirtoadhisoerjo.Pram             menerbitkan kembali hikayat Siti Mariah karya H.Mukti yang menggambarkan alam         pikir dan jiwa rakyat jelata semasa Tanam Paksa yang tidak disentuh oleh arsip kolonial.Pram tidak menggunakan arsip untuk menggunakan “fakta” tetapi seperti    ditulis Hilmar Farid (Pramoedya dan Historiografi Indonesia,2005),membacanya           secara terbalik. Ia melihat arsip sebagai rekaan kekuasaan kolonial yang ingin             mengkonstruksi “kebenaran:,Selanjutnya tulisan Pram tentang Yugun Ianfu di Pulau         Buru sangat memperkaya sejarah lisan di tanah air.[2]
                         Saya pun menilai bahwa Pram dalam konteks sebagaimana yang             dituturkan oleh Asvi telah memberikan kontribusi terobosan dalam hal pewarnaan      historiografi Indonesia. Dalam konteks ini Saya menilai bahwa Pram sesungguhnya   sudah berupaya untuk memberikan   informasi yang sedapatnya ia dapat lakukan             “sebagai seorang Pram”. Artinya, kalau dicermati  konteks pengakuan keakademisan      narasi sejarah memang menjadi aktivitas lanjutan bagi sejarawan yang berkutat    dalam dunia akademis. Pada sisi lain Bambang Purwanto menyatakan secara           implisit dalam tulisan Sejarawan Akademik   dan Disorientasi Historiografi: Sebuah            Otokritik, pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu       Budaya Universitas Gadjah Mada bahwa kepedulian dan karya - karya yang          dihasilkan para “sejarawan amatir” itu ternyata mampu mengisi kekosongan           yang tidak mampu dilakukan oleh sebagian besar    sejarawan akademik untuk          menjadikan sejarah benar-benar berfungsi sebagai kritik sosial (Kuntowijoyo, 2000)[3]


[1] Pramoedya adalah satu dari ratusan seniman,intelektual  dan penulis yang termasuk “daftar orang terlarang” yang dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.Larangan itu tadinya hanya berlaku di lingkungan depatemen tersebut,tapi kemudian yang berlaku untuk umum.Pada 1983 ketika menjadi Rektor Universitas Indonesia,Nugroho Nutosusanto memerintahkan agar perpustakaan kampus termasuk fakultas sastra tempatnya mengajar,dibersihkan dari “buku - buku beracun”,termasuk didalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri atau negara-negara sosialis.Lihat dalam Pramoedya dan Historiografi Indonesia oleh Hilmar Farid, Perspektif  Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (Jakarta,YOI&KITLV, 2005), hlm.80.
[2] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah(Jakarta,Penerbit Buku Kompas,2010)hlm.160.
[3] Bambang Puwanto,Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi :Sebuah Otokritik, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah FIB, Universitas Gadjah Mada,28 September 2004,hlm.11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar