Historiografi dan Jembatan
Menjadi Bangsa[*]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 5)
Satu
kebutuhan mendesak bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada masa awal kemerdekaannya
adalah segera membuat sejarahnya sendiri. Kemendesakan ini semata-mata dilatari
oleh hasrat penjungkiran segala nilai-nilai lama yang ditatankan dalam
historiografi kolonial. Nilai-nilai Asia (Asian
values) pun akhirnya menyeruak mendesak segala berbau kolonial untuk angkat
kaki dari negara-bangsa yang baru menikmati kemerdekaannya itu.
Maka yang didapati pada masa awal
poskolonial adalah bentuk-bentuk –meminjam istilah Samuel P. Huntington– “benturan
peradaban” Timur (baca: Asia) dengan Barat (baca: eks kolonialis Eropa). Meski
istilah terkenal Huntington ini mendapat banyak kritikan, salah satunya dari
T.N. Harper (1997) yang mengatakan istilah “clash
of civilization” adalah tipologi yang sewenang-wenang; apalagi konsepsi
benturan itu sebatas dirumuskan dalam retorika Perang Teluk (baca: Barat versus
Islam). Harper menyalahkan konsepsi benturan Huntington yang hanya melihat
latar belakang benturan bukan dari soal sekat-sekat budaya, tapi sebatas kepentingan
negara. Padahal dalam konteks Asia Tenggara poskolonial, benturan kebudayaan
–saya lebih memilih diksi ini ketimbang peradaban– sangat-sangat kompleks. Satu
sisi nilai-nilai Asia ingin mendepak segala bentuk kolonialisme, tapi sisi lain
segala bentuk identitas dan mentalitas (etnik, budaya, bahkan bangsa itu
sendiri) sebenarnya lebih merupakan konstruksi tatanan kolonial, tanpa banyak
disadari. Bahkan benturan bukan hanya antara nilai-nilai Asia
dengan kolonialisme itu sendiri. Tapi, benturan pemikiran bahkan fisik di dalam
nilai-nilai Asia sendiri sangat rawan terjadi. Sebagaimana bisa dibuktikan pada
masa-masa awal Indonesia merdeka hingga menjelang masa transisi ke Orde Baru.
Maka itu,
nilai-nilai Asia yang mengemuka pada masa poskolonial tak lebih perubahan iklim
intelektual yang lebih mengedepan sebagai sebuah pengujian kembali persentuhan
awal masyarakat Asia Tenggara dengan modernitas. Dalam hal ini, modernitas itu
adalah: nasionalisme. Sebagai sebuah ideologi yang menggeliat pada awal abad
20, nasionalisme memang membayang-bayangi spirit kehidupan masyarakat di Asia
Tenggara. Dekolonialisasi pun merayap mulai dari perlawanan pemikiran hingga
fisik. Dan historiografi nasional sentris pun muncul dan berkembang menjadi bukan
cuma jembatan dekolonialisasi, tapi lebih dari itu demi –meminjam istilah
Benedict Anderson– ”membayangkan sebuah kesatuan”: bangsa.
Tentu saja nation building bagi negara-negara Asia
Tenggara semisal Indonesia dan Malaysia yang merasa memiliki sejarah masa
keemasan (golden age) perlu dibubuhkan
ke dalam historiografi nasional mereka. Heroisme para tokoh bangsa pun
dimunculkan demi menginjeksi spirit kebangsaan warga negaranya.
Maka dalam
dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, buku babon sejarah hingga kurikulum sejarah
pun dikemas secara nasional sentris. Serangkaian periode penting, heroisme
dalam peperangan, dan tokoh-tokoh besar dijejalkan melalui teks-teks sejarah. Hanya
saja problema besar ketika wacana historiografi ditulis dari atas (baca:
kekuasaan politik), maka masa lalu sebagai jembatan masa kini dan akan datang
tidak dihadirkan sebagai sarana refleksi. Sejarah yang dihadirkan pun cuma
narasi-narasi besar (sejarah dari atas/kekuasaan). Hal-hal kecil atau lapis
bawah, semisal kehidupan petani dan korban-korban politik tidak dibahas secara
utuh dan tersendiri. Hanya sepintas lalu saja. Secara implisit terkesan
mendudukan orang-orang biasa (rakyat, petani, buruh) sebagai ‘pemberontak’,
‘makar’, dan ‘tidak punya peran’ dalam sejarah.
Sejarah
macam inilah yang oleh Henk Schulte Nordholt dalam De-colonising Indonesian Historiography (2004) dikatakan sebagai
“sejarah tanpa manusia” (a history
without people) yang menghasilkan “manusia tanpa sejarah” (people without history). Historiografi
yang nasional sentris justru –jika harus jujur– merepetisi insidious mind dalam historiografi kolonial yang dikritiknya
sebagai despotisme kekuasaan.
Historiografi
kolonial memang sistematis mencitrakan tanah jajahannya sebagai “si liyan” (the other). Pengasingan Indonesia dari
sejarahnya sendiri telah dirintis pada masa kolonial tatkala –salah satu misalnya–
F.W. Stapel menyusun lima jilid buku besar sejak 1938 hingga 1940 bertajuk Geschiedenis
van Nederlandsch-Indië (sejarah
Hindia Belanda). Pada
dua jilid pertama buku, terbahas sejarah tua Jawa pada masa kerajaan-kerajaan
Hindu dan Islam. Namun pada jilid 3 dan selebihnya, ketika Belanda datang,
sejarah Nusantara pun berubah. Belanda dinarasikan Stapel sebagai superior.
Adapun kedudukan pribumi termarginalkan dalam narasinya.
Inilah salah satu sebab yang
melatar-belakangi diselenggarakannya Seminar
Sejarah pada 1957. Sebagai yang perdana, seminar ini menginisiasikan
dorongan untuk menulis sejarah Indonesia sebagai salah satu wujud
dekolonialisasi. Para partisipan pun menujukan dirinya pada beberapa persoalan pokok
konseptual. Meski bukan sebagai seorang sejarawan akademik, Soedjatmoko
terbilang progresif menyorot soal mesianisme dan millenarianisme yang melatari
gerakan protes petani pada masa kolonial. Tersirat dari pemikiran Soedjatmoko,
bahwa gerakan protes (dan juga Revolusi 1945) mengindikasikan sebagai klimaks
lahirnya gerak(an) kebangsaan. Fenomena sosial dan budaya ini menjadi
determinan yang merembeskan kesadaran sejarah terhadap pikiran kolektif
masyarakat (di) Indonesia yang terbingkai ahistoris itu. Soedjatmoko pun
menekankan perbandingan antara l’histoire-realité
dengan l’histoire recité yang
harus dikedepankan oleh para sejarawan Indonesia agar tidak terjebak dalam
anakronisme.
Keseriusan Soedjatmoko mengomentari
sejarawan Indonesia pra dan pasca-Seminar Sejarah bukan tanpa maksud. Ia
bermaksud menengahi hasrat dan motif para sejarawan menyejarahkan Indonesia
yang dinilainya masih terjebak dalam nasionalisme yang banal. Misal saja ada
Sanusi Pane yang menolak etika Barat dan lebih mengedepankan warisan Timur
dalam historiografinya. Pun L.M. Sitorus dan M.D.Mansur yang tak jauh beda
hasratnya dengan Pane dalam menghadirkan “orisinalitas” ke-Indonesia-an. Wajar
jika Mohammad Hatta memperingatkan kedangkalan hasrat keaslian ini yang –saya
siratkan maksudnya– malah hanya akan membawa Indonesia ke arah chauvinisme.
Kesempitan menjadi serba nasional ini jugalah yang didapati pada penanganan
historiografi oleh Mohammad Yamin dan Nugroho Notosusanto.
Selain halnya kekritisan Soedjatmoko dan
Hatta (yang non-sejarawan), sejarawan Mohammad Ali dan Sastroprajitno sejatinya
menjadi tonggak penting bagi pemikiran kritis sejarah Indonesia saat ini.
Pemikiran keduanya begitu bermakna untuk menyikapi dua dari enam rumusan
Laporan Seminar Sejarah: konsep filosofi sejarah nasional dan periodeisasi
sejarah Indonesia yang dinilai oleh sejarawan Sue Nichterlein (1974) sebagai
terlalu prematur dan ambisius.
Konsepsi
sejarah yang banal dapat menghasilkan kebanalan historiografi. Historiografi
yang banal dapat menghasilkan kebanalan nasionalisme. Inilah problema pelik yang
menggerayangi ”nilai-nilai Indonesia”, khususnya, dan ”nilai-nilai Asia”,
umumnya, pada masa poskolonial. Ternyata, menjadi nasional bukan serta-merta terbebas
dari jerat permasalahan masa lalunya.
[*] Pembacaan atas T.N. Harper.
1997. “’Asian Values’ and Southeast Asian Histories” dalam The Historical Journal, vol. 40, No. 2 dan Sue Nichterlein. 1974.
“Historicism and Historiography in Indonesia” dalam History and Theory, vol. 13 No. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar