Dekolonialisasi dan Penghadiran ”Sang Liyan”[1]
Fadly Rahman
(11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 6)
“Penjajahan harus dihapuskan
dari muka bumi.” Agaknya kalimat klise itulah yang banyak berlaku di negara-negara
eks-kolonial dengan geliat politik dekolonialisasinya sebagai wujud dari ekspresi
dalam alam kemerdekaan.
Bagi Linda
Tuhiwai Smith, ada hal yang lebih mendasar dan penting untuk dilakukan oleh
dunia ilmu pengetahuan pada masa poskolonial. Hal itu adalah kemestian melakukan
dekolonialisasi terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai seorang ahli sejarah dan
kebudayaan Maori (Selandia Baru) Smith memandang bahwa yang tidak serta-merta
pergi dari dekolonialisasi politik adalah konstruksi ilmu pengetahuan yang
tidak disadari masih memberi peluang menempatkan pribumi sebagai obyek dari imperialisme
dan kolonialisme.
Smith coba
menyadarkan bahwa persoalan rasisme, inferioritas pribumi, dan superioritas
kulit putih sebagian banyaknya adalah hasil-hasil bangunan dari pengetahuan
kolonial. Bangunan itu mengendap dalam berbagai sumber arsip, etnografi, reportase,
hingga media visual yang diproduksi pada masa kolonial. Sumber-sumber itu kini
dipakai dalam berbagai rekonstruksi sejarah. Masalah dasarnya terletak pada
wacana metodologi serta pembacaan dan cara pandang terhadap teks.
Alih-alih
ingin melakukan dekolonialisasi sejarah secara politik, yang terjadi justru
ketidak-sadaran telah terjebak ke dalam reproduksi hegemoni kolonial. Itulah
mengapa di awal introduksi bukunya Decolonializing
Methodologies: Research and Indigeneous Peoples (1999), Smith menegaskan
bahwa terma “research” tak mungkin
lepas dari hubungan dengan imperialisme dan kolonialisme Eropa. Karena dua isme
itulah sejarah dan kebudayaan dari banyak negara-bangsa eks-jajahan dibentuk
melalui para sarjana masa lalu yang sebagian besar punya motif dan muatan
kepentingan politik kolonial. Maka itu Smith mengatakan bahwa penelitian dalam
konteks tata bahasa bangsa yang terjajah ternyata dirasa sebagai hal yang kotor
(hal. 1).
Dapat
dimengerti mengapa Smith memungkinkannya sebagai kata yang ‘kotor’. Pasalnya, dalam
riset sejarah (dan lebih-lebih antropologi), besar sekali kemungkinan dalam
sumber-sumber primer dan sekunder didapati adanya teks-teks semisal ‘primitif’
dan ‘terbelakang.’ Secara logika bahasa, diksi macam itu menunjuk pada
pengutuban sifat dan keadaan manusia yang berada di luar subyek berkutub maju
dan beradab. Di sini, rekonstruksi masa lalu malah mungkin sekali kian
menyudutkan dan meminderkan pihak-pihak yang ditelitinya. Konteks pihak-pihak
ini bisa dalam ranah etnis, tapi lebih luas juga bisa menyentuh ranah bangsa.
Dengan kata lain, wacana poskolonial kadang malah menjadi perangkap yang
menyelubungkan kolonialisme dalam sifat barunya yang halus dan tak kasat
mata.
Smith cukup
beralasan terlebih bila melihat masalah di kawasan Pasifik. Jika Smith lebih
banyak fokus pada studi kasus di Maori, ini bisa dibandingkan dengan karya
Sally Morgan dalam My Place dan
Thomas Keneally dalam The Chant of Jimmie
Blacksmith[2]
yang mengungkap betapa inferiornya orang-orang Aborigin di tengah kehidupan
orang-orang kulit putih di Australia. Dalam narasi-narasi mereka jelas ingin
disampaikan, bahwa sejak James Cook mengkoloni benua Australia, mereka tergusur
dan menjadi liyan (the other) di
tanah airnya sendiri. Sejarah tanah airnya sendiri dibuat oleh orang-orang
kulit putih. Dan di sekolah-sekolah, mereka menjadi para pembacanya. Segala
sifat, ciri, dan identitas orang-orang Aborigin dinarasikan dalam sejarah
buatan orang-orang kulit putih. Dalam kasus di Maori, Smith mengutip kata-kata
sarkastis dari sastrawan Maori, Merata Mita: ”we have a history of people
putting Maori under a microscope in the same way a scientist looks at an
insect. The ones doing the looking are giving themselves the power to define.” (hal.
58).
Maka,
gagasan positional superiority dari
Edward Said, dikatakan Smith amat berguna untuk dapat mengkonseptualisasikan
jalan-jalan pengetahuan dan budaya yang dalam konteks imperialisme sebagian
besar dijadikan sebagai bahan mentah kekuasaan bahkan kekuatan militer untuk
menaklukan tanah koloninya (hal. 58). Dari gagasan Said bisa ditangkap arahnya bagaimana pengetahuan
ditemukan, disadap, dicocokan, dan didistribusikan. Semua ini di/ter-rancang
dalam proses yang terorganisir dan sistematik. Lalu hasil dari itu semua,
bagaimana akhirnya pikiran dikolonisasi. Gagasan Said bagi Smith memang
berfaidah untuk mengurai wacana dekolonialisasi dan menggiring pada bagaimana
”mengkoloni pengetahuan” (colonizing
knowledges) dengan jalan-jalan baru.
Teks secara
tekstual memang bisa abadi sifatnya ketika tertera di kertas-kertas yang
menguning. Tapi, teks secara kontekstual, memiliki sifat yang tidak abadi.
Sifatnya sangat lentur. Selentur bagaimana para pembuat teks memilih diksi
untuk menandai apa yang diamatinya, maka selentur itu pula para pembaca teks
untuk mendekonstruksi teks. Teks didekonstruksi dengan tujuan untuk menangkap
wacana di balik teks yang telah dibuat pada masa silam. Maka jelas, yang
dihakimi Smith bukanlah sumber-sumber tekstual yang tentu hanya bisa membisu
dalam gulir zaman, hingga tiba saat ada yang menyuarakannya. Tapi, para penyuara
tekslah yang bertanggung-jawab mendedahkan makna-makna di balik teks yang
dikajinya.
Maka itu ”permainan
diskursus” –sebagaimana dimaksudkan Jean-François Lyotard– menjadi hadir dalam wacana-wacana
Smith. Bagi pribumi di Asia, Amerika, Pasifik, dan Afrika, banyak yang tidak
disadari bahwa bentuk-bentuk pengetahuan, sistem klasifikasi, teknologi, dan
kode-kode kehidupan sosial yang direkam rinci sejak abad 17 telah mengkoloni
mental dan pikiran mereka. Dalam konteks pengetahuan Barat, ini disebut sebagai
”new discoveries” yang dikomodifikasi
sebagai arsip kultural dan tubuh dari pengetahuan Barat (hal. 61). Sangat
menarik dua variabel yang dihadirkan Smith, bahwa ”mengkoloni disiplin pengetahuan”
(colonizing the discipline) di tanah
jajahan adalah modal bagaimana kolonialisme tumbuh mekar pada masa abad 19. Ini
sejalan iring juga dengan proyek ”mendisiplinkan yang dikoloni” (disciplining the colonized) yang
diterapkan pada elit-elit intelektual pribumi agar mindset mereka sejalan dengan proyek pengetahuan kolonial (hal. 65
– 69).
Terang,
wacana-wacana Smith kena benar jika difokuskan ke dalam konteks dekolonialisasi
(ilmu pengetahuan) di Indonesia yang juga dikitari penuh sumber-sumber pengetahuan
kolonial. Ini semua soal epistemologi dan metodologi bagaimana menghadirkan
pribumi bukan lagi sebagai liyan, tapi sebagai subyek yang bersuara, bukan hanya
disuarakan dan dibuatkan suaranya secara semena-mena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar