Membebaskan “Benak
yang Terbelenggu”:
Ilmu Sosial di
Asia dalam Wacana Alternatif[1]
Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas
Mata Kuliah: Historiografi (Review 7)
Pada
1957 terbit sebuah buku yang disusun oleh Vera Micheles Dean. Tajuk bukunya The Nature of Non-Western World. Dean
tidak sendirian menyusunnya. Harry J. Benda, Varren S. Hunsberger, dan Vernon
McKay menyumbang pikiran dalam buku Dean dengan masing-masing kepakarannya mengulas
permasalahan di China, Asia Tenggara, Jepang, Amerika Latin, hingga Afrika.
Pokoknya, segala kawasan yang berada di luar konsep wilayah Barat ditempatkan
dan diperlakukan khusus dalam buku itu.
Terkhusus kawasan Asia, dipetakan
dalam buku itu dalam batas-batas kekhasannya tersendiri. Kawasan Asia Barat (sebagai
bagian dari Timur Tengah) dikatakan sebagai ruang “Islam versus westernism”; India
dan Pakistan sebagai ruang “Anglo-Asia synthesis”; China sebagai ruang
saing “Confucius and Commissars[2]” Jepang sebagai “Asian Westernism”; dan Asia Tenggara sebagai “non-Western pluralism” yang tengah mengalami transisi selepas masa kolonial.
Setidaknya ada dua hal menarik dari
buku Dean. Pertama, untuk menyebut Asia (dan kawasan lainnya) perlu disebut
dengan istilah non-western. Kedua,
dan ini yang lebih kentara, (istilah) Barat selalu hadir dalam segala
batas-batas dunia Asia. Dengan kata lain, Barat selalu menghantui, membayangi,
hingga menguasai ruang hidup dunia Asia. Kuasa Barat menyelinap halus khususnya
melalui pandangan-pandangan ilmu sosial mereka. Dalam hal ini, kajian-kajian
akademis selepas kolonial yang mengusung orientalisme dengan tetap berkiblat
pada Barat (baca: Eurosentrisme) memunculkan polemik pemikiran tersendiri di
dunia Asia yang dibahas dalam buku Dean itu. Asia adalah salah satu dunia yang
mengalami “keterbelengguan benak” karena pengaruh ilmu-ilmu sosial Barat yang
kuat memengaruhi alam pikiran Asia. Menariknya, tigapuluh sembilan tahun
sebelum Samuel P. Huntington menerbitkan pemikiran kontroversialnya dalam The Clash of Civilization (1996), buku
Dean telah memetakan wajah Asia yang menyekam masalah dan konflik. Pelbagai
konsep dan teori ilmu sosial seringkali dipakai untuk memecahkan masalah di
Asia. Ini menunjukkan awetnya dominasi Barat yang kian kemari kian kokoh
sebagai kiblat ilmu sosial di Asia. Lalu, selesaikah semua masalah?
Kenyataannya, tidak seluruhnya bisa diharapkan. Tengok saja, selepas Perang
Dingin dan rontoknya satu demi satu rezim komunis di Asia, muncul dan mekar
radikalisme Islam sebagai simbol baru menentang Barat. Ilmu sosial Barat acap
hadir sebagai –meminjam istilah Francis Fukuyama– sebagai “the last man” yang bisa menyelesaikan rupa-rupa masalah di Asia.
Tapi mengapa ilmu sosial Barat ibarat dua sisi mata uang: diterima tapi juga
dihujat? Apakah ini menunjukkan ketidak-sesuaian konteks ilmu sosial Barat dengan
realita Asia?
Memang, ada Edward Said yang pada
1978 menerbitkan Orientalism sebagai sebentuk
responsnya atas praktik dan pemikiran para orientalis Barat dalam masa
kesilamannya menginferiorisasi Timur. Malah pada 1991, Hassan Hanafi, seorang
filsuf kiri dari Mesir yang merasa belum puas dengan Said, menerbitkan Occidentalism demi membalikkan kemapanan
Barat memandang Timur. Tapi, apakah ini semua berarti membebaskan “benak dari
keterbelengguan” ilmu-ilmu sosial Barat?
Nyatanya, tidaklah semudah membalikan
telapak tangan. Sebab akar masalahnya ada pada ketidak-seimbangan pemikiran
para ilmuwan sosial Barat dengan kenyataan Asia. Ditambah kebergantungan
ilmuwan sosial Asia terhadap ilmu-ilmu sosial Barat begitu besar. Hingga
akhirnya, sebuah wacana alternatif dari Syed
Farid Alatas mencoba menengahi dan memecah kebuntuan wacana. Istilah “the captive mind” (benak terbelenggu)
–yang istilahnya telah saya pinjam di muka tulisan ini– dipakai Alatas untuk
menunjuk ketergantungan ilmu sosial di Asia terhadap Barat yang kadung diamini sebagai
sumber peradaban pengetahuan.
Dalam wacananya, Alatas bukan bermaksud
mengabaikan permasalahan Eurosentrisme dan Orientalisme. Justru dikatakannya,
ia ingin mengimbangi ilmu sosial yang Eurosentris. Alatas melakukan ini karena
ia sadar diri bahwa bagaimanapun konteks yang dominan tetaplah Eurosentrisme
(hal. xv). Hanya kesadaran diri ini bukan berarti tetap mendudukan ilmu sosial
Asia sebagai yang inferior. Pengimbangan yang dilakukan Alatas memagut pada
sifat dan konsekuensi hubungan antara komunitas ilmu sosial di Asia dengan
koleganya di Barat (khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis).
Memang, kegairahan terhadap impor ilmu
sosial Barat ke Asia makin tinggi seiring besarnya arus masuk dan penerjemahan
buku-buku asing atau kian banyaknya ilmuwan sosial di Asia lulusan dari
negara-negara Barat. Terkesan distribusi ilmu sosial Barat ini membawa pada
pencerahan. Tapi nyatanya, dikatakan Alatas, juga memunculkan benak-benak yang
terbelenggu. Alatas mengatakan ini semua sebagai sebentuk captive mind, beralaskan pada kecenderungan ilmuwan sosial di Asia
yang mana tatkala mereka mempelajari masyarakatnya sendiri, mereka sebenarnya
terbelenggu dalam perspektif ilmuwan-ilmuwan sosial Barat yang menopang
pemikirannya. Ditambah lagi mereka enggan ke luar dari “halaman rumahnya”
sendiri. Berbeda dengan para ilmuwan Barat yang memiliki kepakaran dunia
sebagai Sinolog, Islamolog, atau Indonesianis.
Umumnya para ilmuwan sosial Asia lebih
berkutat dengan riset empiris yang terkait dengan kebijakan. Akibatnya, seperti
dikatakan Alatas, karya ilmuwan sosial di Asia kekurangan perspektif
perbandingan dan hanya memberi kontribusi pas-pasan terhadap teori (hal. xvi –
xvii). Pernyataan Alatas ini menarik. Lebih-lebih ia mengambil contoh karya-karya
Marx dan Weber yang menjadi landasan para sosiolog, antropolog, dan sejarawan Asia
dalam menelaah India, China dan Islam. Yang diwanti-wanti Alatas, perlunya
kesadaran para ilmuwan Asia untuk menghindari pembacaan makna-makna Eropa ke
dalam data non-Eropa. Inilah yang agaknya memampatkan kontribusi teori sosial
Asia yang dikatakan Alatas: “pas-pasan.”
Meski begitu, keterbelengguan ini tidak
merata terjadi di seluruh Asia. Didapati adanya skala perbandingan antarnegara
di Asia. India misalnya, punya ciri khas yang kuat dengan tren Subaltern Studies dalam kajian-kajian
sosialnya. Sebut saja Gayatri Spivak sebagai corong ilmu sosial Asia yang
diakui dan ditanggap oleh publik ilmuwan sosial di Eropa. Spivak adalah satu
contoh sintesis relasi “Barat – Asia” yang lebih melampaui konsep “Anglo – Asia”
yang disematkan Dean terhadap India. Spivak ingin mendekonstruksi historiografi
India untuk melepas segala inferiorisasi yang dikonstruksi Inggris selaku
eks-kolonialisnya.
Studi subaltern tentu salah satu saja alternatif. Tapi, apa yang
diinginkan Alatas lebih luas dari lokus studi Spivak. Selama kelindan istilah:
“dunia ketiga” dan “negara berkembang” yang jamak dipakai oleh Ilmuwan Asia,
maka Alatas akan bilang bahwa benak-benak Asia masihlah terbelenggu. Alatas
ingin mengajak kita untuk membebaskan benak-benak yang terbelenggu dari segala
perangkap ilmu sosial Barat tersebut. Tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar