Nama :
Hendra Afiyanto
NIM :
339981
Mata Kuliah : Historiografi
Membandingkan dua artikel dari D. G. E. Hall dan T.
N. Harper merupakan sebuah hal
yang boleh dikatakan sulit. Kedua artikel ini ditulis dalam masa yang berbeda
dan tentunya dengan jiwa zaman yang berbeda pula. Artikel karya D. G. E. Hall ditulis lebih dari
sudut pandang kolonialis dengan perspektif ideologis sedangkan artikel karya T. N. Harper ditulis lebih pada historiografi modern dengan perspektif lain
(budaya, social, ekonomi, dll).
Dalam artikel On the Study of
Southeast Asian History
oleh D. G. E. Hall membuat periodisasi dalam historiografi masyarakat
Asia Tenggara. Periode ini diawali dengan banyaknya historiografi yang
bertemakan klasik seperti karya dari Bernard Philippe yang menulis Angkor et
le Cambodge au XVI sidcle d'apres les sources portugaises et espagnoles (Paris,
1959) mengenai peradaban kuno Khmer yang sisa-sisa kemegahaan arsitekturnya
masih tak tertandingi sampai sekarang. J.G. de Casparis yang merevolusi
pengetahuan tentang periode Sailendra dalam sejarah Indonesia dan studi tentang
prasasti abad kedelapan dan abad kesembilan dari jawa. Kemudian Paul Wheatley meneliti
tulisan-tulisan Cina, Yunani, Arab, Persia dan India yang berkaitan dengan
sejarah awal geografi Malaya. Wheatley menulis penelitiannya dalam buku yang
berjudul The Golden Khersonese. Dan
juga Profesor C.C. Berg yang meneliti tentang studi sastra jawa kuno, seperti
Negarakertagama, Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Pada periode berikutnya
ditandai dengan mulai adanya kontak atau hubungan antara masyarakat Asia
Tenggara dengan Bangsa Eropa. Dalam periode ini banyak historiografi
berdasarkan perspektif eurosentris. Dari dua periode ini penekanan dari artikel
karya D. G. E. Hall adalah perlunya pembangunan identitas
kolektif bangsa-bangsa Asia Tenggara. Identitas bersama ini diperlukan sebagai jiwa
historiografi masyarakat Asia Tenggara. Para Sejarawan barat juga sudah
mencontohkan bahwa mayarakat Asia Tenggara bisa membangun identitas bangsa
berdasarkan sejarah local dari bangsanya. Kekurangan dari artikel karya D. G.
E. Hall adalah kurangnya menampilkan historiografi karya sejarawan local.
Disini D. G. E. Hall selalu menampilkan contoh dari historiografi
sejarawan barat. Jika merujuk pada publikasi artikel ini diduga bangsa-bangsa
Asia Tenggara masih berkutat dengan kolnialisme. Historografi dari sejarawan
lokan masih sangat kuat dimasuki oleh jiwa jamannya yang condong pada sikap
antikolonialis sehingga banyak dari sejarawan barat yang berasumsi bahwa
historiografi dari sejarawan local bersifat kurang ilmiah. Diduga karena hal
tersebut D.G.E. Hall lebih banyak menampilkan historiografi dari sudut pandang
sejarawan barat yang dianggap lebih ilmiah.
Artikel Historiographical
Review 'Asian Values' And Southeast Asian Histories oleh T. N. Harper lebih berusaha membuat jalan tengah antara pandangan barat
terhadap timur serta pandangan timur terhadap barat. Dalam artikelnya, seorang
bernama Samuel Huntington menyatakan tampaknya peradaban bukan eropa memiliki
kesamaan yang tidak jauh dengan konghuchu dan islam (dimaksudkan peradaban asia),
terutama pada konteks keutamaan keluarga dan masyarakat atas hak-hak individu.
Nilai-nilai asia ini memiliki ketimpangan dengan peradaban liberal barat.
Ketimpangan ini muncul dari bacaan sejarah yang menbicarakan seribu kesuraman
dan harapan menyingsing abad pasifik. Ini sangat ironis dan sangat banyak
terekonstruksi dalam pikiran dikalangan asia. Akibat pandangan ini bangsa timur
menganggap barat sebagai colonial, dan bangsa barat menganggap bangsa timur
jauh dari kesan menghargai hak-hak asasi manusia dan hak individu. Munculnya
perspektif seperti ini membuat historiografi sejarawan Asia Tenggara sulit
lepas dari perspektif politik. Munculnya perspektif seperti ini membuat
historiografi masyarakat Asia Tenggara hanya terpaku pada sejarah orang-orang
besar serta fiksi tentang keagungan dan kebesaran masa lalu. Untuk mengubah
perspektif seperti ini diperlukan adanya nilai-nilai Asia seperti yang telah
disinggung di atas. Oleh Dr. Mahatmir Muhammad nilai-nilai Asia hanya dipahami
sebagai tantangan neo-imperalisme barat. Nilai-nilai asia ini menjadi sebuah
perdebatan sejarah dan menimbulkan sebuah pertanyaan apa modernitas? Apakah
nilai Asia itu adalah penolakan terhadap barat? Prof. O.W. Wolters menguraikan
beberapa ciri budaya Asia tenggara seperti yang disaksikan dalam awal sejarah.
Banyak fitur yang mungkin tidak menjadi ciri khas Asia Tenggara, kongfigurasi
ini muncul dan hadir dalam pikiran yang mana rasa Asia Tenggara selalu modern.
Pergerakan intelektual tentang nilai-nilai Asia merupakan suatu produk yang
menyebabkan asia tenggara harus memeriksa kembali pertemuan masyarakat asia
tenggara dengan modernitas. Pandangan saya menyikapi nilai Asia adalah suatu
nilai yang memungkinkan masyarakat Asia Tenggara untuk mendekonstruksi ulang
historiografinya sehingga tercipta Asia Tenggara yang lebih modern. Agaknya
nilai Asia kini telah berkembang pesat di Asia Tenggara, historiografi
masyarakat Asia Tenggara sudah tidak berkutat pada perspektif politik, tapi
sudah pada multidisiplin ilmu seperti kata Sartono Kartidirdjo. Upaya T. N.
Harper untuk menghubungkan pandangan
Bangsa Timur dengan Bangsa Barat dengan menggunakan nilai-nilai Asia agaknya
sudah cukup membuahkan hasil. Rekonstruksi dari Bangsa Timur yang semula
menganggap Barat sebagai colonial sudah berganti dengan sebuah dekonstruksi
bahwa barat memberikan sumbangan paham dan pemikiran baru tentang
historiografi. Begitu pula dengan Barat yang semula menganggap timur sebagai
daerah yang kurang menghargai hak-hak asasi juga daerah terbelakang tebelakang
dalam hal historiografi agaknya sudah mendekonstruksi bahwa timur memberikan
sumbangan besar terhadap penelitian bangsa barat dan ikut membangun peradaban
ilmu pengetahuan barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar