Nama :
Fatma
NIM :
12/336677/PSA/07190
Tulisan Mary Catherine Quilty telah
memberikan cara pandang baru dalam historiografi Indonesia. Metode yang dipilih
Mary Catherine dalam menulis yakni mendiskusikan karya-karya Ilmuan Inggris
yang mengkaji Indonesia. Catherine mencoba membandingkan tulisan-tulisan ilmuan
Inggris mulai dari yang paling awal meneliti sampai yang terakhir, yaitu Marsden,
Symes, Raffles, Crawfurd dan Anderson. Hasil bacaannya mengenai tulisan-tulisan
kelima penulis abad XVIII dan IX tersebut, ia menemukan fakta bahwa dalam
masyarakat nusantara (Indonesia) masa itu terdapat pembedaan berdasarkan jenis
kelamin dalam kekuasaan. Kemudian terlihat juga ada ruang-ruang khusus yang
menempatkan perempuan berada di pinggiran kekuasaan, padahal berada di pusat
kekuasaan itu sendiri. Sehingga terasa sekali, jika kekuasaan itu masih milik
laki-laki. Bukti konkritnya, mungkin sulit sekali ditemukan seorang wanita yang
ikut menandatangani perjanjian dengan pemerintah Belanda (VOC atau Hindia
Belanda). Apa yang membuat kondisi riil itu terjadi? Jawabannya adalah budaya
patriarki yang melekat pada sistem kebudayaan masyarakat. Budaya yang memandang
bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan.
Melalui cara membandingkan
tulisan-tulisan tersebut, Catherine berhasil mengungkapkan fenomena sejarah
ekonomi dengan menemukan fakta budaya patriarki yang sangat mengakar dalam
kebudayaan Indonesia telah memposisikan perempuan sebagai “the second class”,
dan hal ini hanya dilihat dari perspektif kebudayaan saja. Padahal budaya “patriarki”
dapat dilihat dari berbagai prespektif (ekonomi, sosial, dan politik). Patriarki
telah mengurangi akses perempuan dalam dunia publik. Dari sisi ekonomi,
Perempuan tetap diposisikan sebagai ibu yang menjalankan tugas-tugas rumah
tangga demi kesejahteraan keluarga. Sisi Sosial, perempuan “dilarang” atau
mungkin pula hanya diatasi saja untuk mengikuti kegiatan sosial di luar
kehidupan sehari-harinya. Begitu juga di bidang politik, budaya “patriarki”
dapat menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Implikasi dari delegasi
laki-laki, yakni sistem feodal menjadikan kehidupan menjadi milik laki-laki.
Sementara perempuan hanya berada di ruang privat yakin ruang pribadi,
seksualitas, dan perkawinan.
Patriarki dapat memunculkan pembagian
kelompok atau ras dalam masyarakat. Pembagian kelompok pribumi, kulit putih, Cina,
Arab. Perempuan dan non-Eropa ras yang kurang beruntung di bawah kontrak ke
titik di mana perbudakan. Pra-ada hierarki rasial menemukan pembenaran baru
dalam ilmu ekonomi. Buruh dibagi sepanjang garis ras menurut kemampuan alami,
sebagai penduduk Asia Tenggara yang mendukung perekonomian Inggris melalui
tenaga kerja dan konsumsi. Dalam
kasus ini perempuan mengalami ketidaksetaraan.
Menariknya lagi, Chaterine juga
menyampaikan bahwa perempuan Indonesia pada penulisan teks-teks dari Inggris tidak
ditempatkan sebagai pelaku utama dalam sejarah. Mereka hanya diposisikan
sebagai pelengkap sejarah. Perempuan dipandang sebagai penjaga peradaban.
Penulis buku ini juga pada dasarnya
telah memberikan kritik terhadap penulisan sejarah gaya kolonial. Historiografi
kolonial umumnya hanya menekankan pada aspek politik saja, sementara
aspek-aspek lain seperti terabaikan begitu saja. Salah satunya adalah yang
disampaikan oleh Chaterine dalam bukunya tersebut. Namun demikian, sang penulis
tidak pernah menyalahkan para penulis sebelumnya, sebab ia memahami bahwa
sejarah tidak dipergunakan untuk menyalahkan orang lai. Kritik yang dilontarkan
sebenarnya hanyalah sebuah pertanggungjawaban ilmiah guna melengkapi fakta-fakta
sejarah yang telah ditulis sebelumnya. Chaterine telah membuktikan kekurangan
penulisan sejarah kolonial, walaupun
mereka berasal dari Inggris, bukan dari Belanda. Olehnya itu, perspektif
baru seperti yang diinginkan oleh perkembangan historiografi kini menjadi dasar
menarik dalam menulis sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar