Diskursus Dalam Ilmu Sosial Asia
Tanggapan Terhadap Eurosentrisme
Bab 7 Kuasa dan Diskursus Alternatif
Syed Farid Alatas
Oleh
Haris Zaky Mubarak
Ø Overview
Dalam
bab kuasa dan diskursus alternatif,dijelaskan mengenai ketergantungan secara institusional dan teoritis atas ilmu
sosial barat para ilmuwan dunia ketiga atas ilmu sosial Barat telah
membangkitkan seruan atas diskursus alternatif dikalangan intelektual di
masyarakat berkembang. Seruan diskursif alternatif sendiri penuh dengan kesulitan. Uraian Foucault mengenai
relasi antara diskursus dan kekuasaan kemudian dipakai untuk memperlihatkan
masalah peniruan ilmu sosial maupun masalah yang muncul dalam seruan terhadap
diskursus ilmu sosial alternatif di masyarakat berkembang.Tujuannya untuk
menghadirkan sebuah pemahaman mengenai peniruan maupun wawasan tentang
rintangan yang dihadapi dalam menciptakan diskursus alternatif berdasarkan
relasi antara diskursus dan kekuasaan.Memahami studi pembangunan,peniruan dan
kebutuhan akan diskursus aSyed Farid Alatas,lternatif, Gunnar Myrdal (1957)
memperingatkan bahaya pengadopsian teori dan metodologi secara tidak kritis di
negara –negara berkembang.Oleh karenanya
perlunya disusun kembali teori ekonomi agar relevan dengan masalah dan
kepentingan negara berkembang.
Pada
tataran yang yang lebih praktis, S.H Alatas (1956) menunjukkan fakta bahwa
sistem ekonomi dunia, metode pemerintahan hukum,ide demokrasi,prosedur
pemiludan konsepsi kesejahteraan telah diadopsi secara tidak kritis dan
didukung oleh para elit masyarakat berkembang.[1]Sementara
itu J.P.S Uberoi (1968) mengemukakan masalah ilmu sosial Barat secara umum.Ia memperhatikan kurangnya
pendekatan ilmu ulayat dalam ilmu sosialdi banyak dunia berkembang karena
penerapan ilmu sosial secara tidak kritis dan ditiru secara tidak terkontrol. Hal
ini bukan untuk mengikari depedensi secara akademis yang yang merelasikan
antara ilmuwan sosial pusat dan ilmuwan diluar itu (pinggiran). Depedensi
secara akademis terhadap pusat menyangkut dana riset dan kuasa untuk melakukan
pengembangan. Selain juga permasalah jurnal-jurnal ilmiah yang secara otoritas
dikendalikan oleh institusi akademis di negara pusat.
Seruan
atas diskursus alternatif bukanlah sekedar untuk mendekati masalah ulayat
secara ilmiah sosial dengan perspektif untuk konsep dan metode yang cocok dan
memodifikasi dari apa yang tealah berkembang
dalam latar Barat. Dan diskursus ini sebenarnya merupakan wujud ide bahwa teori dan konsep dan
metodologi ilmiah sosial juga dapat diambil dari sejarah dan kebudayaan non
barat.
Analisis wacana
kemudian disadur dan dikembangkan untuk kepentingan yang lebih luas dan umum
termasuk pada akhirnya analisis wacana berkembang di ranah ilmu sosial
(sosiologi) sebagai salah satu bentuk analisis baru yang dikembangkan. Diskusi
yang kemudian dikembangkan dalam diskursus ilmu sosial lebih pada memotret
perbedaan dan penggunaan teori ilmu sosial yang diterapkan dan ‘dipaskan’ dalam
memotret masalah sosial yang ada melalui struktur text yang muncul dari
berbagai paradigma, artikel, gagasan dan ide yang telah dikembangkan terlebih
dulu. Pengetahuan dalam analisis wacana menghasilkan klaim interpretif dengan
memandang pada efek kekuasaan dari wacana dalam kelompok-kelompok orang, tanpa
klaim yang dapat digeneralisasikan pada konteks lain. Dasar teoritis untuk
analisis wacana didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah dalam
pengetahuan, dan teori sosial. Sebagai suatu pendekatan pada analisis yang
sistematik dalam pembentukan pengetahuan (wacana), analisis wacanapun tidak
dipungkiri juga mengambil bagian dari beberapa tradisi pemikiran barat. Tradisi
ini banyak dipengaruhi
perkembangan analisis Foucaultian.
Dalam pandangan Foucault diskursus atau wacana
adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. Wacana
adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu
pengetahuan. Suatu dominasi atau hegemoni tertentu menggunakan wacana sebagai
‘elemen taktis’ untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat, ini semua terkait
dengan pembangunan sebuah dominasi dan pelestarian kekuasaan.
Hegemoni teori sosial
Barat memberi banyak pengaruh pada peta keilmuwan sosial di Indonesia. Fakta
bahwa sebagian besar ilmu sosial dan humaniora di masyarakat (negara)
berkembang datang dari barat telah memunculkan masalah relevansi ilmu-ilmu
sosial bagi kebutuhan dan masalah dunia ketiga. Tokoh-tokoh barat terkadang
diposisikan sebagai penemu, perintis beberapa teori sosial yang pada tahapannya
akhirnya ditanamkan dan digunakan di masyarakat non-barat. Masyarakat
diposisikan sebagai konsumen yang selalu membeli teori-teori pemikiran dari
dunia barat yang terkadang tidak sesuai dengan kajian masyarakat di negara
dunia ketiga. Hegemoni teori sosial barat menjadi suatu keniscayaan karena
perkembangan pengetahuan barat yang maju beberapa langkah dibanding
perkembangan keilmuwan di dunia ketiga.
Kritik
atas ilmu sosial Barat dari segi kontrol dan pembatasan terhadap upaya ilmu
sosial ulayat tidak boleh hanya dibatasi pada kritik atas epistemologi
positivis tetapi diperluas pada hal nativis dalam ilmu sosial interpretif.
Jelas bahwa seruan ulayatisasi sekaligus seruan mencari sebuah diskursus yang
membebaskan untuk menerebos rezim kekuasaan,kontrol dan normalisasi. Sementara
ilmu sosial positivis membantu normalisasi masyarakat berkembang metode interpetif
menurut Alatas belum tentu mampu membongkar proses normalisasi tersebut yang
dipropagandakan oleh para aktor ulayat (nativis).Oleh karenanya Alatas melihat
bahwa yang harus dilibatkan dalam proyek ilmu sosial alternatif pada tingkatan
konseptual dan empiris.
Ø Making Connections
Kuntowijoyo, memberikan
kritik yang tajam tentang perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia. Dalam
pandangannya Ilmu Sosial di Indonesia mengalami proses kemandegan bahkan
kehilangan kerangka nilai yang mengarahkan kemana transformasi masyarakat di
Indonesia digerakan. Dalam kaitan ini untuk memperbaiki kondisi ilmu-ilmu sosial
di Indonesia Kuntowijoyo mengusulkan perlunya memberikan ruang untuk hadirnya
apa yang disebut dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP).
Berkaitan dengan pentingnya
ditumbuhkan sikap kritis, kiranya perlu dicatat bahwa Ilmu sosial Barat tentu
lahir dan berkembang dari struktur dan sistem sosial sertapranata sosial yang
berbeda dengan masyarakat Indonesia, bahkan para orientalis membaca Timur
menurut kategori dan perspektif Barat. Intelektual-akademisi Nusantara
terpesona dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat, bahkan isu-isu dan
masalahyang menjadi topik kajian para intelektual Barat juga menjadi topik yang
ditiru oleh Intelektual kita, tanpa memiliki dasar pijakan empiris yang kuat.
Keadaan itu terusberlangsung, bahkan setelah lebih dari satu abad ilmu-ilmu
sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada teori-teori sosial yang
dihasilkan oleh intelektual kitadalam rangka menjelaskan kehidupan sosial
masyarakat secara memadai. Keadaan ini barangkali rendahnya penghargaan sesama
intelektual Nusantara dalam menghargai idedan gagasan diantara mereka, atau
tradisi kutip-mengutip di antara mereka, sehingga ilmu sosial Nusantara tidak
pernah mengalami perkembangan, bahkan mereka yang selesai belajar di Barat
dengan sangat bangga dan hebat meniru-niru dan mengulang-ulang apa yang mereka
pelajari di Barat tersebut, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan
teori-teori sosial yang orisinal dan khas Nusantara[2]
[1] Syed Farid Alatas,Diskursus
Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia, Tanggapan Terhadap Eurosentrisme,
(Jakarta Selatan,Mizan Publika,2011),hlm.160.
[2]
Syarifuddin Jurdi, Pengislaman Ilmu dan Pengilmuan Islam
dalam Ilmu-Ilmu Sosial ISP
Kuntowijoyo dan Diskursus
Alternatif Ilmu Sosial Indonesia, Makalah Diskusi Publik LSB
Yogyakarta, tahun 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar