Kekuasaan di Jawa:
Mitos dalam Sejarah, Sejarah dalam Mitos[1]
Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah:
Historiografi (Review 1)
Dalam rekam jejak kekuasaan
politik masa-masa kerajaan, mitos senantiasa meraga dalam rupa-rupa kitab
tradisional. Babad, carita, tambo, dan hikayat adalah sekian bukti contoh jenis
kitab yang banyak mengetengahkan relasi mitos dengan kekuasaan.
Ketika
masa-masa sumber literer kuno itu diproduksi pada zamannya, hanya raja, pujangga,
dan lingkungan istana sajalah yang mengetahui latar belakang tujuan penulisan
geneologi seorang penguasa sebagai turunan dari para dewa, orang-orang suci,
dan penguasa masyhur. Tentu saja sekumpulan teks pada zaman ketika budaya lisan
masih melekat pada kehidupan manusia itu lebih merupakan sarana legitimasi.
Jika
membicarakan tradisi tulis di Jawa yang berlangsung ratusan hingga ribuan tahun
sebelum manusia mengenal mesin cetak, ciri lazimnya, sebuah naskah ditulis
hanya sedikit, bahkan malah hanya satu. Kelas masyarakat yang melek huruf pun
tidak banyak. Hanya mereka saja yang memiliki akses ke keraton bisa membacanya.
Maka, berjenis-jenis kitab tradisional itu dibuat semata untuk dilanjutkan
dalam fase pelisanan. Di sinilah transmisi naskah berikut kandungannya menyebar
ke masyarakat yang lalu melisankannya secara mewaris. Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (1982: 117) menyarikan teorinya tentang pengaruh
kelisanan, melek kirografik (manuskrip), dan melek cetak, dengan mengatakan
bahwa “tulisan menata kembali kesadaran”. Maka praktis, masyarakat Jawa masa
iliterasi belum memiliki kesadaran atas relasi mitos dengan kekuasaan raja-raja
Jawa. Mereka masih dibalut keimanan segala rupa kegaiban menyatu dalam kekuasaan
para raja (bahkan pun hingga kini).
Dalam
penelitiannya atas peran organisasi struktural dan mitos dalam historiografi
Jawa, Anthony H. Johns menafsir segala sesuatu yang berada di balik dua sumber klasik
historiografi Jawa, Pararaton dan Babad
Tanah Jawi. Dua kitab yang menandai kekuasaan Hindu-Jawa (Pararaton) dan Islam-Jawa (Babad Tanah Jawi).
Sebagai
peneliti naskah-naskah Nusantara era awal poskolonial, Johns boleh dikata
melanjutkan pekerjaan sarjana seperti Kern dan Berg. Penafsiran Johns lebih
mengarah pada penebalan tafsir-tafsir lama atas Pararaton dan Babad Tanah
Jawi. Mula-mula Johns melihat transmisi naskah Jawa dan Melayu yang
memiliki kesamaan menyiratkan relasi kuasa dengan mitos, seperti didapati dalam
cerita Panji. Cara pengisahan
lahirnya kekuasaan raja-raja pun tak jauh berbeda, hanya tumbuh kembangnya
kekuasaan saja yang agaknya membedakan.
Pararaton sebuah
kitab yang mengisahkan raja-raja di Jawa Timur dimulai dengan inkarnasi pendiri
Singhasari (1222 – 1292), Ken Angrok. Dikisahkan Ken Angrok mengorbankan
dirinya kepada Dewa Yamadipati. Dirinya berjanji, setelah berada di alam
kahyangan, ia akan lahir kembali ke dunia sebagai seorang penguasa Singhasari. Dalam
proses menitisnya dikisahkan bahwa Ken Angrok adalah anak hasil hubungan gaib
Dewa Brahma dengan seorang perempuan petani. Saat kelahirannya, tubuh Ken
Angrok memancarkan cahaya. Ia pun diadopsi oleh Ki Lembong, seorang pencuri
yang membesarkan Ken Angrok menjadi seorang kecu.
Namun, bukanlah takdirnya sebagai seorang kriminil. Mengingat ia seorang titisan
dewata, maka kisahnya harus mengembalikan Ken Angrok sebagai seorang penguasa. Seorang
brahmana dari India bernama Lohgawe mengumumkan bahwa Ken Angrok adalah
inkarnasi Wisnu yang akan membawa stabilitas di Tanah Jawa.
Singkat kisah,
kekuasaan Ken Angrok dilalui melalui pengambil-alihan kekuasaan Raja Kediri, Tunggul
Ametung. Hal yang memantik Ken Angrok melakukan ini didorong hasrat merebut
istri sang raja, Ken Dedes yang diisyaratkan Lohgawe memiliki rahim yang
bercahaya. Siapa saja pria yang memiliki Ken Dedes, ia akan menjadi seorang cakravartin, penguasa semesta. Dengan
menggunakan keris khusus buatan Mpu Gandring, hatta, Ken Angrok membunuh Raja
Kediri, lalu mengambil istrinya.
A.H. Johns
menafsirkan kisah dalam Pararaton tersebut
sarat akan symptom tatanan kosmik (mikrokosmos
dan makrokosmos) yang sengaja ditanamkan dalam kekuasaan Ken Angrok dan mewaris
pada para raja sesudahnya. Benar, banyak sekali mitos yang sulit dipercaya.
Tapi, dengan melakukan koroborasi terhadap prasasti dan berita China, Johns
meyakini mitos-mitos dalam Pararaton bukan
tanpa maksud. Kitab itu dibuat sebagai historiografi Jawa yang berkurun 1222 –
1451 untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja masa Singhasari hingga Majapahit.
Begitupun
halnya dengan maksud penulisan Babad
Tanah Jawi (BTJ). Kitab yang
meriwayatkan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah (1582 – 1749) dibuka dengan kisah penyatuan
genealogi dewa-dewa Hindu dan nabi-nabi dalam Islam, keturunan para dewa di
bumi, dan pendirian beragam tatanan dalam kehidupan. Disusun pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613 – 1645), konteks
BTJ lebih rumit daripada Pararaton. Berpijak
dari masa berdirinya negara Mataram di Jawa Tengah oleh Senapati (1582) hingga
mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan cucunya, Sultan Agung. Dikatakan
rumit, pasalnya, BTJ memadukan unsur-unsur Hindu dan Islam yang begitu kuat.
Pengisahan
pasang-surut hingga berakhirnya
kekuasaan Majapahit (1293 – 1478) kemudian bergulirnya kekuasaan Demak, Pajang,
dan Mataram pada abad ke-16 dalam BTJ dijalin padu sebagai historiografi Jawa masa
Islam. Garis besar kisah BTJ pun tak jauh beda dengan alur kisah Ken Angrok
meraih kekuasaan. Sang pujangga melegitimasi klaim kekuasaan seorang penguasa,
memberkatinya dengan kualifikasi untuk memenuhi fungsi-fungsi kosmik, dan
menunjukkan serta menghidupkan pembawaan sifat-sifat ketuhanan pada citra sang
penguasa.
Melalui dua
historiografi Jawa klasik ini, Johns mencoba menafsir mitos yang memuat
pemahaman mendalam atas simbol-simbol universal dalam kekuasaan raja-raja Jawa.
Bisa dirasakan di dalamnya ada ikhtiar menanamkan kekaguman, misteri, dan
dinamika internal jiwa berupa harapan dan ketakutan. Dalam keadaan demikian,
mitos dibutuhkan untuk mengarungi hidup; dan pada masa itu bisa dibayangkan
orang-orang di Jawa menjadi pencerita tangguh. Hakikatnya, kedua historiografi
klasik itu pun menjadi semacam profetik atas struktur kekuasaan dalam budaya
politik Jawa.
Bila riwayat
itu didasarkan lebih jauh lagi pada eksperimentasi dan rasio sebagaimana
dimaknai Johns dalam metode koroborasinya, walhasil yang terlihat bukan hanya
sekedar ada mitos dalam sejarah, tapi juga, ada sejarah dalam mitos. Dengan
begini, historiografi tradisional bisa menjadi sumber yang menarik untuk
ditelusuri segala kandungan maknanya. Bukan hanya dimaknai untuk masa lalu,
tapi juga masa depan kekuasaan di Jawa hari ini dan yang akan datang.
[1] Pembacaan atas Anthony
H. Johns. 1964. “The Role of Structural
Organisation and Myth in Javanese Historiography “, The Journal Asian Studies,
vol. 24 No. 1 (Nov, 1964), pp. 91 – 99.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar