Nama :
Hendra Afiyanto
NIM :
339981
Mata Kuliah : Historiografi
Buku berjudul Sultan, Pahlawan dan Hakim karya
Henri Chambert-Loir kiranya merupakan sekumpulan karya sastra dari Melayu yang
sangat penting untuk dikaji. Karya sastra Melayu ini merupakan sumber sejarah
yang sangat jarang dikaji, karena kebanyakan karya sastra Javasentrislah yang
sering dimunculkan. Bagi sebagian orang karya sastra ini tidak lebih dari
kumpulan bait-bait syair/puisi yang tidak ada artinya. Henri Chambert-Loir
adalah salah satu yang mengkaji karya-karya sastra ini untuk kemudian
dibukukan. Karya sastra Melayu ini merupakan sumber data yang dapat digunakan
sebagai sumber sejarah. Karya sastra tersebut mengandung sumber data yang tidak
ditemukan dalam sumber lain. Begitu juga dengan karya sastra berjudul Syair Sultan Fansuri yang ditulis
sekitar abad 19 merupakan sumber data dari Kerajaan Barus. Sebagian orang
mungkin juga masih merasa asing tentang Kerajaan Barus, karena jarang sekali
ditemukan tulisan menyangkut kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia.
Begitu mendengar kata syair atau puisi
konstruksi kita langsung mengarah kepada puisi, rima, sajak,dll. Namun perlu
diperhatikan dalam karya sastra lama arti dari nilai serta sumber sejarah
merupakan bagian terpenting. Melihat karya satra Jawa seperti Babad Tanah Jawa
dan Serat Pararaton yang penuh akan sumber sejarah, maka karya sastra Syair Sultan Fansuri juga kaya akan sumber
sejarah di dalamnya.
Syair Sultan Fansuri menceritakan asal mula terbentuknya
Kerajaan Barus sampai terbebasnya Kerajaan Barus dari dominasi Kerajaan Aceh.
Diceritakan berdasarkan syair yang diberikan Sultan Barus (Sutan Baginda)
kepada Kapten Inggris David Jones tahun 1815 bahwa raja pertama di Kerajaan
Barus adalah Sultan Hulu. Dia kemudian mendirikan kerajaan di Sitiga Bulan.
Pemerintahan dilakukan secara turun temurun, hingga kemudian lokasi kerajaan
berpindah ke Kampung Dalam. Mengenai pindahnya kerajaan dalam syair ini tidak
dijelaskan apa alasannya. Lama berselang terdapat 2 kerajaan dan salah satu
rajanya yang mashur bernama Sutan Ibrahim. Selanjutnya dalam syair ini juga
tidak dijelaskan apa alasan Kerajaan Aceh menyerang Kerajaan Barus dan memenggal
kepala dari Sutan Ibrahim. Kepala Sutan Ibrahim kemudian dibawa ke Kerajaan
Aceh dengan nampan perak dan diletakkan dihadapan raja. Raja lalu memalingkan
muka dan menjadi marah, ditendanglah kepala itu hingga terguling-guling ke
tanah. Seketika itu Sultan Aceh merasa bersalah dan memuliakan kepala Sutan
Ibrahim tersebut serta menyatakan Kerajaan Barus terbebas dari kekuasaan
Kerajaan Aceh.
Karya sastra berjudul Syair Sultan Fansuri yang berjumlah 501 baris ini sudah dapat
menggambarkan kondisi Kerajaan Barus. Dari sini kita sudah bisa mendapatkan
gambaran mengenai kehidupan politik, ekonomi, dan keagamaan Kerajaan Barus.
Karya sastra ini merupakan alat legitimasi Kerajaan Barus. Legitimasi ini
berupa pengakuan genelogis maupun pengakuan wilayah kekuasaan. karena dari
syair ini memuat genealogi raja-raja Barus saat itu dengan raja-raja
pendahulunya serta wilayah kekuasaannya. Sedikit kekurangan menurut saya adlah
kurang kronologisnya sumber sejarah dalan syair ini. Seperti kebanyakan
historiografi tradisional lainnya, karya sastra ini juga miskin akan kronologi
tetapi kaya akan unsur genealogi sebagai alat legitimasi. Sangat kurangnya
kronologi di dalam syair ini memunculkan kekaburan fakta serta kurangnya
interpretasi dari syair ini. Kecerdikan Henri Chambert-Loir dalam menggunakan
karya sastra ini sebagai sumber sejarah ialah dengan mencari arsip lain sebagai
pembanding, baik berupa syair atau pun kronik dengan tujuan mencari keterkaitan
untuk mengisi kekosongan dari kronologis. Hal ini tercermin dari ketidak
jelasan pemindahan lokasi Kerajaan Barus dari Sitiga Bulan ke Kampung Dalam. Dalam
menjelaskan hal ini Henri Chambert-Loir menggunakan sumber pembanding lain
yaitu Hikaijat Tjarita Baros untuk
menghubungkan dan mencari kulminasi dari syair tersebut sebagai sumber sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar