Nama :
Siti Nur Hadisah B Hari/Tgl :
Kamis, 11 Okt 2012
NIM :
12/340216/PSA/07401 Dosen Pengampu : Dr.
Sri Margana
Mata Kuliah :
Historiografi
Artikel
ini memaparkan tentang terkaan sejarah dalam tulisan Marsden, Raffles, dan
Crawfurd. Tulisan yang dimaksud dalam hal ini yakni tulisan Masrden dalam “History
of Sumatra in 1783” dan tulisan Crawfurd dalam “History of Indian
Archipelago in 1820”. Apabila
Marsden lebih pada klasifikasi dalam bentuk tabel dan membuat sebuah pernyataan
bahwa untuk melihat informasi secara lebih baik dengan melakukan terkaan atau
dugaan terhadap masa lampau, berbeda dengan Crawfurd yang cenderung berusaha
menjelaskan pimikirannya dalam suatu terminologi. Meskipun secara sekilas tidak
ada perbedaan, namun sebenarnya terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Hal
ini terlihat ketika teks Raffles dan Crawfurd dibandingkan dengan Marsden, yang
memperlihatkan kedalaman sejarah dengan memberi dorongan kedalam satu tempat
sejarah. Dengan demikian, terlihat perubahan dalam penulisan sejarah menjadi
“dugaan sejarah”.
Tulisan
Crawfurd tentang “History of Indian Archipelago” secara penuh melakukan
terkaan (dugaan) tentang masa lampau. Menurut Crawfurd ketika sejarah penduduk
asli terdapat berbagai permasalahan, hal ini menurut Crawfurd karena “terlalu
banyak kebodohan, ketidaktahuan dan tidak konsisten” seperti Crawfurd percaya
pada sejarah penduduk asli Asia Tenggara. Kemungkinan dugaan sejarah “orang
tanpa sejarah” merupakan bagian penting dalam lingkungan pergaulan abad ke-18
dan awal abad ke-19, yang sejenak menjelaskan dalam suatu gagasan bahwa
masyarakat berkembang secara berturut-turut dalam tahapan logika (pemikiran).
Secara
terminologi “dugaan sejarah” digunakan pada akhir abad ke-18, guna menyampaikan
sesuatu agar lebih mudah atau lebih fleksibel dengan mereka menggunakan “dugaan”
tentang gambaran masyarakat pada masa lampau. Mereka merasa dan menekankan bahwa
dugaan sejarah sejarah diterima masyarakat. Hal ini sangat menarik untuk
dilihat, bagaimana suatu penyampaian sejarah berdasarkan dugaan, terkaan, atau
perkiraan sejarah yang ada dalam pemikiran penulis sejarah tersebut dan cara
mengaplikasikan penulisan sejarah tersebut.
Tulisan
ini juga memaparkan ketika Masrden mengidentifikasi orang-orang Sumatra mengucapkan
sumpah seperti orang-orang Kristen Jerman abad ke-17. Dilain pihak, Raffles
menyatakan bahwa orang-orang Jawa memperbanyak kepemilikan tanah yang
menunjukkan bahwa mereka dalam suatu masyarakat “tahapan partial” dan mereka kekurangan
tanah dalam artian “feodal” masa Eropa. Crawfurd mempertimbangkan sumber-sumber
Jawa dalam “kemajuan beberapa negara… seperti Yunani pada waktu dipimpin Homer
dan Calidonia dibawah Ossian”.
Selanjutnya,
keadaan Jawa dalam contoh-contoh yang digunakan menunjukkan bagaimana
orang-orang dapat menempatkan perbedaan dalam tahapan sejarah. Meskipun
kekurangan bahan rujukan, literature mereka menempatkan orang-orang Jawa dalam
tahapan yang sama dengan Yunan kuno dan Skotlandia, sehingga orang-orang Jawa
dalam ketegori yang sama seperti orang-orang feodal Eropa. Namun, pernyataan
ini tidak sesederhana dalam rangkaian, tetapi menggunakan suatu tabel-tabel
yang komplek dimana tabel tidak hanya dilihat secara temporal saja tetapi juga dilihat
secara spasial.
Masrden,
Raffles dan Crawfurd menggunakan dugaan sejarah untuk melegitimasi peningkatan
dominasi orang-orang Eropa di Asia Tenggara. Sehingga, dugaan sejarah yang
digunakan dalam teks Marsden menggagas untuk menyimpan Sumatra yang primitif
dalam pengertian kebijaksanaan isolasi Inggris. Begitu juga dalam tulisan
Raffles dan Crawfurd, apabila Raffles berusaha membangkitkan kemuliaan Jawa
kuno dengan memanggil atau mengajak masyarakat untuk memperbaiki. Crawfurd
lebih pada meramalkan dan melegitimasi kolonialisasi yang dilakukan oleh
orang-orang Eropa di Asia Tenggara seperti pemenuhan secara alami dalam suatu
keaslian.
Dengan
demikian, kelebihan pada chapter dua ini secara umum lebih berupaya untuk memperlihatkan
gambaran bahwa suatu “dugaan sejarah” terkadang membuat seseorang salah
memahami sesuatu yang didalamnya dan memperhatikan bahwa dalam penulisan
sejarah tidak hanya dengan menggunakan sumber-sumber yang valid saja, tetapi
dalam penulisan sejarah harus berdasarkan penafsiran disertai bukti yang kuat
dengan melihat sumber-sumber dari masyarakat yang diteliti itu sendiri. Namun,
kekurangan dalam tulisan Mary ini tidak lain lebih cenderung pada tulisan
Marsden.
Disadur
dari tulisan Mary Catherine Quilty. 1998. Textual Empires. Australia:
Monash Asia Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar