Adrian
Perkasa
338934
Penulisan sejarah suatu bangsa khususnya
di daerah yang pernah menjadi koloni bangsa relatif sulit. Kesulitan tersebut
pada umumnya berawal dari pertanyaan tentang identitas nasional, seperti apakah
identitas bangsa tersebut akan dibentuk? Sejarah nasional dengan segala
kelebihan dan kekurangannya memang mewakili suatu rejim tertentu ketika
ditulis. Seperti yang dapat kita lihat dari buku Sejarah Nasional Indonesia
yang diedit oleh Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened. Sejarah yang
dituliskan dalam buku tersebut jelas merupakan representasi terbaik bagaimana
pemerintah Indonesia saat itu membutuhkan suatu sejarah tentang bangsanya.
Apabila pembaca tidak kritis terhadapnya, maka penilaian yang didapat dari buku
tersebut akan menjadi positif karena memaparkan historiografi dengan data
termutakhir tentang masing–masing periode. Di sini pengulas akan membahasnya
lebih lanjut sembari melakukan ulasan atas kata pengantar dua buku tentang
sejarah Indonesia yakni Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500–1900: Dari
Emporium ke Emporium karya Sartono Kartodirjo dan Sejarah Indonesia Modern
karya M.C.Ricklefs.
Satu poin penting yang segera pengulas
dapatkan begitu membaca pengantar buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru adalah
posisi dari Sartono yang mencoba menuliskan sejarah total dari Indonesia.
Rupanya Sartono secara konsisten berada dalam kategori sejarawan yang disebut
Alun Munslow sebagai kalangan konstruksionis. Sejarawan dari kalangan ini melakukan
penulisan sejarah dengan menggunakan teori dan konsep dari ilmu–ilmu sosial
lain untuk mendapatkan dan menyajikan gambaran yang komprehensif tentang masa
lalu. Teori dan konsep dalam ilmu sosial lain seperti ekonomi jelas terlihat
dalam pengantar buku ini misalnya tentang konsep sistem, struktur, model bahkan
istilah emporium dan imperium mengacu pada konsep ilmu ekonomi politik. Hal
tersebut bisa dibaca sejak halaman pertama sampai akhir dari bagian pengantar.
Di sini pengulas melihat konsistensi dari seorang Sartono Kartodirjo yang sejak
ditulis magnum opus–nya
“Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya
– Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia”. Di dalam karya
beliau itu telah dilakukan suatu terobosan besar di kalangan sejarawan
Indonesia yakni dalam pemakaian ilmu–ilmu sosial dalam historiografi. Bahkan
selanjutnya disadari ataupun tidak pemikiran Sartono tersebut disebut sebagai
mazhab penulisan sejarah tersendiri yakni mazhab Bulaksumur.
Dari sebutan tersebut, memang pengulas
meyakini ada benarnya jika menyebut pemikiran yang diajarkan oleh Sartono
tersebut membawa banyak perubahan baru dalam penulisan sejarah di Indonesia
sehingga tak salah apabila disebut sebagai mazhab tersendiri. Namun harus pula
diingat bahwa penggunaan ilmu–ilmu sosial dalam penulisan sejarah telah
dirintis sejak awal abad XX di Eropa barat khususnya dari kelompok sejarawan
Perancis yang kemudian menerbitkan jurnal yang disebut Annales. Diawali dari generasi pertama seperti Lucien LeFebvre dan
Marc Bloch dan dilanjutkan generasi penerusnya seperti Fernand Braudel, mereka
telah memasukkan konsep–konsep dari ilmu sosial lainnya ke dalam penulisan
sejarah. Bahkan Braudel dengan historiografinya tentang Perairan Mediterania
dianggap telah menunjukkan standar tentang bagaimana suatu sejarah total
ditulis. Di sini lah Sartono memiliki keinginan yang sama untuk membuat sejarah
total di Indonesia, tetapi bukan sekedar mengumpulkan sejarah lokal
masing–masing daerah di nusantara seperti yang bisa kita lihat pada halaman
xvii.
Penulisan sejarah total yang dilakukan
Sartono ini membawa implikasi tidak adanya atau diabaikannya unsur periodesasi
yang ketat beserta pembatasannya. Hal ini merupakan perbedaan mendasar lainnya
antara historigrafi ini dengan Sejarah Nasional Indonesia maupun Sejarah
Indonesia Modern. Apabila ditemukan suatu periodesasi dari buku Sartono ini
bukanlah merupakan suatu yang ketat melainkan hanya sebagai pegangan untuk
menggambarkan proses sejarah di Indonesia, bukan hanya bangsa Indonesia seperti
yang diinginkan oleh Sejarah Nasional Indonesia. Proses yang melihat adanya
kontinuitas maupun diskontinuitas merupakan unsur utama dari historiografi
Sartono sehingga menurutnya periodesasi secara mutlak tidak atau kurang menemukan
relevansinya. Jelas karya ini berbeda jika dibandingkan dengan Sejarah Nasional
Indonesia yang berpatokan pada periodesasi yang ketat dimana masing–masing
jilidnya dibagi antar babakan sejarah yang berbeda. Dengan kekakuan yang
terdapat dalam periodesasi tersebut, maka kita akan kesulitan untuk memasukkan
misalnya dimanakah sejarah Majapahit itu ditulis karena dalam jilid II hanya
menuliskan tentang masa Hindu–Budha dan jilid III telah berbicara tentang masa
Islam. Padahal fakta yang ada menunjukkan wajah kerajaan tersebut yang
kosmpolitan bahkan banyak anasir di dalamnya menunjukkan keislaman. Penggunaan
periodesasi sebagai acuan penulisan sejarah juga dilakukan oleh Ricklefs dalam
historiografinya, namun tidak sekaku pembabakan dalam Sejarah Nasional
Indonesia.
Memang sudah sewajarnya Ricklefs insyaf
bahwa Sejarah Nasional Indonesia masih mewarisi produk penulisan sejarah
kolonial khususnya F.W.Stapel, maka periodesasi yang ada dalam Sejarah
Indonesia Modern bukan yang demikian. Seperti yang disebutkan sendiri oleh
Ricklefs di halaman 15 bagian pengantar bukunya bahwa yang ditulisnya adalah
narasi yang rinci dari peristiwa–peristiwa masa lalu di Indonesia. Tentu saja
pengulas akan memasukkan Ricklefs ke dalam sejarawan dalam kategori yang
disebut oleh Munslow sebagai rekonstruksionis. Dalam kategori ini sejarawan
berusaha mengikuti apa yang menjadi statemen dari Leopold von Ranke yakni
sejarawan harus mengungkapkan masa lalu secara apa adanya (wie es eigentlich gewesen). Melalui penilaian yang kritis dan
elaborasi terhadap sumber maka memungkinkan untuk dituliskan sejarah dengan
obyektif. Narasi menjadi kendaraan bagi sejarawan untuk menggambarkan masa lalu
dengan dokumen dan sumber yang dimilikinya. Di sinilah pentingnya periodesasi
karena mengikat narasi itu untuk kemudian membuatnya menjadi kronologis.
Menurut pengulas yang menarik dari kata pengantar buku ini bukan pada narasi
maupun periodesasi dari karya ini yang berbeda dari Sejarah Nasional Indonesia,
melainkan pemilihan istilah modern dan meletakkannya pada abad XIII masehi.
Pertanyaan tentang mengapa abad tersebut
dipilih sebagai titik awal apa yang disebut Indonesia modern oleh Ricklefs
telah tersedia jawabannya di kata pengantar buku ini. Menurut Ricklefs, periode
tersebut telah ada unsur–unsur fundamental yang membuat kesatuan historis
Indonesia yaitu unsur kebudayaan dan agama terutama Islam yang berlanjut hingga
dewasa ini, unsur topik relasi antara orang Indonesia dan Barat, dan terakhir
unsur historiografi dimana sumber–sumber primer seperti dokumen dan karya
sastra ditulis dalam bahasa Indonesia modern termasuk Jawa dan Melayu maupun
bahasa–bahasa Eropa. Sebenarnya pemilihan Ricklefs yang arbiter ini bisa
dijelaskan lagi lebih rinci untuk menjadikan pembacanya lebih paham apakah
maksud dan tujuan penulisan ini. Apabila tidak dituliskan seperti ini wajar
saja jika kemudian ada beberapa kalangan yang berpikir bahwa historiografi ini
ditulis oleh Ricklefs, terlepas dari kecermatannya dalam menuliskan sejarah
Indonesia, karena ada kepentingan tertentu khususnya politik maupun akademik.
Pengulas pun merupakan salah satu diantaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar