Adrian
Perkasa
338934
Sangat menarik! Itulah komentar pertama
kali yang terlontar dalam pikiran ketika menyimak tema dari Studium Generale
yang diadakan pada tanggal 20 Desember yang lalu. Selain pengalaman dari Mike G
Vann yang melakukan penelitian di tempat
yang asing, pembicara lainnya Guo Quan Seng membawakan materi yang tak kalah
menarik khususnya tentang masalah aktivisme bagi sejarawan. Walaupun tidak
memberikan presentasi yang komplit seperti yang dilakukan oleh Vann, pembicara
yang merupakan kandidat Doktor dari Universitas Chicago ini semakin meyakinkan
pengulas tentang apa yang sedang dilakukannya berada di jalur yang tepat. Apa
yang dibicarakannya akan saya ulas dalam tulisan singkat ini.
Mengapa anda memilih sejarah sebagai
subjek yang ditekuni? Pertanyaan itu dikemukakan oleh Seng di depan forum.
Menurut pengulas, pertanyaan tersebut bukanlah sekedar pertanyaan retoris
belaka, melainkan sebuah pertanyaan ontologis bagi siapa saja yang telah
menekuni sejarah sebagai disiplin akademisnya. Tentu saja masing–masing diri
kita memiliki motivasi, cita–cita, tujuan, dan ekspektasi tersendiri ketika
memutuskan hal tersebut. Tidak sedikit yang menjawab dengan alasan yang begitu
rasional. Akan tetapi jawaban pengulas sendiri terhadap pertanyaan tersebut
sangat sederhana karena alasan yang cenderung emosional, saya mencintai
disiplin ilmu ini. Sulit bagi pengulas untuk menjelaskan secara rasional alasan
mengapa demikian. Di titik ini, pengulas kemudian ingat apa yang pernah
disebutkan oleh Kuntowijoyo.
Apa hubungannya dengan Kuntowijoyo? Pak
Kunto telah memberikan sesuatu yang esensial ketika menjelaskan tentang metode
dalam ilmu sejarah. Sebelum seorang sejarawan menggunakan metode yang lazim
dari urut–urutan heuristik hingga verifikasi, ada satu tahapan di awal yang
jarang diperhatikan sejarawan yakni pemilihan topik. Di sinilah menurut Pak
Kunto seorang sejarawan ketika dalam fase ini disarankan untuk memilih topik
yang menurutnya memiliki kedekatan baik kedekatan intelektual maupun kedekatan
emosional. Sejauh yang pengulas tangkap dari maksud Pak Kunto adalah adanya
faktor di luar pertimbangan rasional yang harus diperhatikan oleh seorang
sejarawan khususnya tentang topik apa yang benar–benar menarik perhatiannya. Di
sini pengulas melakukan apa yang dianjurkan oleh Pak Kunto misalnya pada saat
mengerjakan skripsi pada saat studi di program sarjana. Pengulas mengambil
topik penelitian tentang sejarah Indonesia klasik dimana pengulas tidak pernah
mendapatkan secuil pun ilmu untuk mendalami topik tersebut misalnya arkeologi
secara formal. Gambaran tersebut memberikan contoh bahwa tidak banyak terdapat
kedekatan intelektual dengan topik yang dipilih. Namun karena sedari awal telah
ada keinginan yang begitu besar untuk menelitinya, maka tetap topik tersebut
yang pengulas pilih. Dari sini terlihat kedekatan emosional yang lebih
mendominasi daripada kedekatan intelektual.
Kondisi tersebut dapat pengulas
analogikan ketika memilih untuk menekuni disiplin ilmu sejarah. Pada awalnya
memang pertimbangan rasional ketika menempuh pendidikan sarjana mengakibatkan
pengulas menempuh dua disiplin ilmu sekaligus mulai awal hingga selesai yakni
ilmu hubungan internasional selain ilmu sejarah. Akan tetapi seiring perkembangan
pemikiran dan anjuran Pak Kunto yang pernah penulis baca, pilihan akhir
tersebut semakin jelas bahwa memang ilmu sejarah yang memiliki kedekatan
emosional yang lebih tinggi. Ibarat seorang pemuda yang sedang dimabuk asmara,
tak peduli betapa pun kesulitan yang menghadang, tak menyurutkan langkahnya
untuk memadu kasih dengan gadis pujaan hatinya. Perkembangan perjalanan
intelektual dan pengalaman selama menempuh pendidikan sarjana semakin
menegaskan pilihan pengulas. Secara ontologis maupun epistemologis ketika
pengulas mendalami disiplin ilmu hubungan internasional, memperlihatkan bahwa
disiplin tersebut banyak bergantung pada disiplin ilmu lain khususnya ilmu
politik dan ilmu sejarah. Tak jarang teoritisi ilmu sejarah menyumbangkan teori
dan konsep penting dalam ilmu hubungan internasional misalnya E.H.Carr,
H.J.Morgenthau dan masih banyak lainnya.
Berbeda dengan ilmu sejarah yang ada
dalam pemikiran pengulas. Apabila digambarkan secara hirarkis dalam filsafat
ilmu, posisi dari disiplin ilmu ini benar–benar berada setingkat di bawah
filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Ilmu sejarah merupakan
perspektif yang dibutuhkan oleh ilmu–ilmu lainnya baik ilmu sosial maupun ilmu
alam. Melihat pentingnya posisi dan kontribusi ilmu sejarah tentu saja semakin
meyakinkan pengulas untuk mendalami disiplin ini. Namun kemudian muncul
pertanyaan lagi bagaimana dengan praxis seorang sejarawan itu sendiri, apakah
hanya sebatas membuat tulisan sejarah alias historiografi atau lebih dari itu?
Pengulas berada dalam posisi yang bersepakat dengan argumen dari Antonio
Gramsci bahwa intelektual harus menjadi intelektual organik dimana akan mampu
menjadi berkat bagi sekelilingnya. Pengulas tidak sependapat dengan pemikiran
yang menyebutkan bahwa intelektual khususnya akademisi dan perguruan tinggi
diposisikan sebagai menara gading.
Rupanya kegelisahan yang sama juga
dirasakan oleh Seng ketika ia menceritakan pengalamannya di Singapura, negara
dimana Seng dibesarkan. Dalam presentasinya juga disebutkan beberapa sejarawan
yang terlibat aktivisme khususnya yang sering disinggung tentu saja
E.P.Thompson. Thompson sendiri merupakan figur nyata bahkan mungkin juga
role–model bagi seorang sejarawan cum aktivis. Bagaimana tidak, melalui karya
historiografi The Making of the English Working Class yang menarasikan sejarah
tentang kelas pekerja Inggris didukung dengan peran aktifnya sebagai seorang
fungsionaris partai komunis hingga bertransformasi ke dalam pembentukan
generasi kiri baru di Inggris Raya namanya kian diperhitungkan. Bahkan sampai
menjelang akhir hayatnya, Thompson masih bergiat dengan aktivisme khususnya
gerakan anti senjata nuklir di Eropa. Tentu saja disiplin ilmu sejarah sendiri
merupakan potensi bagi latar belakang seseorang untuk terlibat dalam aktivisme.
Hal tersebut terjadi karena sifat alami atau nature dari ilmu sejarah sendiri
yang menuntut kebenaran–kebenaran dari peristiwa yang menjadi objek
penelitiannya. Selubung yang menutupi fakta sesungguhnya baik itu yang bersifat
mitis hingga politis adalah kewajiban bagi sejarawan untuk membukanya kemudian
menuliskannya dalam historiografi.
Di titik inilah kemudian muncul
kesadaran yang tidak hanya sebatas kesadaran akan pentingnya penulisan yang
mendekati kebenaran (karena tentu saja kebenaran atau truth yang sesungguhnya
mustahil tercapai) tetapi juga kesadaran untuk bergerak melakukan sesuatu dalam
tataran praxis. Kondisi ini juga berlaku seturut dengan pengalaman yang
pengulas hadapi sendiri. Misalnya ketika pengulas mengerjakan topik penelitian
tentang situs Trowulan ternyata banyak sekali masalah membelit objek
penelitian, khususnya dalam hal pelestarian atau konservasi. Melihat kondisi
tersebut tentu saja pengulas tidak bisa tinggal diam. Ada kepentingan terhadap
pelestarian kawasan tersebut baik itu kepentingan akademis maupun yang lain.
Untuk kepentingan akademis, jelas apabila semakin banyak kerusakan yang timbul
maka sedikit demi sedikit hilang pula sumber bagi penulisan sejarah. Tentu saja
hal ini tidak diinginkan bagi siapapun peneliti atau sejarawan yang menjadikan
situs Trowulan sebagai salah satu sumber atau bahkan objek penelitiannya. Maka
di sinilah pengulas terlibat dalam aktivisme pelestarian kawasan situs
tersebut. Apa yang kemudian membuat heran pengulas adalah para pegiatnya pada
umumnya berprofesi sebagai arsitek bukan arkeolog ataupun sejarawan. Namun
setelah mendalami sejarah aktivisme di kawasan tersebut, memang yang menjadi
pionir adalah seorang arsitek dan juga antiquarian, Henry Maclaine Pont. Selain itu, kian menjamurnya aktivisme dalam
sejarah seperti komunitas pecinta sejarah malah menunjukkan tingginya kalangan
di luar sejarawan profesional yang terlibat. Entah mengapa kondisi di skala
Jawa Timur menunjukkan sedikitnya keterlibatan sejarawan profesional dalam
aktivisme tersebut. Sudah seharusnya sejarawan harus ikut ambil bagian terlibat
di sana, walaupun tentu saja tidak sedikit perbedaan yang mencolok antara
idealitas sejarawan dengan praxis yang ada di lapangan. Namun apabila sejak
awal telah ada kedekatan emosional dengan aktivisme yang dijalani
kendala–kendala tersebut menjadi tidak masalah lagi, ibarat si pemuda yang
sedang jatuh cinta tadi bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar