NAMA : HERVINA NURULLITA
NIU : 12/339971/PSA/07380
Secara umum, hadirnya buku ini ingin
memberikan gambaran bahwa bangsa-bangsa di Asia atau yang biasa disebut sebagai
negara berkembang, masih berada pada penjajahan akademis yang disetarakan oleh penjajahan
ekonomis dan politis. Pada bab 3 buku ini Alatas mencoba menjelaskan seberapa bergantungnya
negara-negara Asia terhadap ilmu-ilmu sosial Barat. Sebagian besar Negara Asia mengadopsi
ilmu-ilmu Barat (amerika) sebagai rujukan ilmu social di Negara-negara
tersebut. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Alatas menjelaskan mengenai definisi kebergantungan
akademis yang mengacu pada imperialisme akademis yaitu sebuah fenomena yang
sepadan dengan imperialisme ekonomi dan politik.
Secara umum, imperialisme atau empireisme (empireism)
dipahami sebagai kebijakan dan praktek dominasi politik dan ekonomi di wilayah
jajahan oleh bangsa yang lebih maju sejak abad ke-16 melalui penaklukan dan
penundukan militer. Selain itu Alatas juga memberikan pengertian lain dari
imperialism akademis yaitu “dominasi satu bangsa oleh bangsa lain melalui pola
pikir”. Terdapat relasi-relasi imperialistik di dunia ilmu sosial yang paralel
dengan relasi imperialistik di dunia ekonomi politik internasional. Imperialisme
dalam pengertian tersebut dimulai dengan pendirian dan mengontrol sekolah,
universitas dan penerbit-penerbit di daerah koloni oleh penguasa kolonial. Hal
inilah yang melandasi terbentuknya “struktur ekonomi politik imperialisme yang
menimbulkan struktur paralel dalam cara berpikir penduduk di daerah jajahan. Paralel
tersebut memiliki enam cirri utama yaitu; eksploitasi, pengawasan, konformitas,
peran sekunder intelektual dan ilmuwan di kawasan yang didominasi, rasionalisasi
misi memperadabkan, dan watak inferior ilmuwan dalam negeri yang justru
mengkhususkan diri pada telaah-telaah di wilayah koloni. Pada masa kolonial
imperialisme akademis dipelihara melalui kekuatan kolonial, saat ini
neokoloniaisme dipertahankan melalui kondisi kebergantungan akademis. Kontrol dan
pengaruh Barat tersebut dipengaruhi oleh kebergantungan para ilmuwan dan
intelektual Negara berkembang pada ilmu sosial Barat.
Kebergantungan akademis adalah sebuah
teori tentang kondisi kebergantungan global ilmu-ilmu social. Teori ini berasal
dari Brazil pada tahun 1950-an. Para pendukung teori ini menyatakan bahwa ilmuwan-ilmuwan
social Amerika harus memutuskan ikatan dengan kuasa ilmu social Barat, dan
mereka mengembangkan ilmu social yang otonom. Dalam prespektif ini memandang Dunia
ketiga (Negara berkembang) sangat bergantung pada ilmu social Barat hingga
mencapai taraf bahwa definisi wilayah persoalan metode, dan standart keutamaan
berasal dari komunitas ilmu social lain.
Dijelaskan oleh Theotonio Dos Santos bahwa
kebergantungan akademis menurutnya adalah kondisi pada saat ilmu social
beberapa Negara bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan ilmu social di
Negara-negara yang berkuasa. Dalam hal ini terdapat semacam pusat dari ilmu
social tersebut yang dapat berekspansi menurut criteria perkembangan dan
kemajuan tertentu, sedangkan bagian di luar pusat tersebut yaitu dunia ketiga
merupakan daerah ekspansi. Von Gizycki mengutip keterangan Lengyel
menggambarkan pusat tersebut sebagai “karya-karya yang dihasilkan disana
mendapat perhatian dan pengakuan yang lebih dibandingkan dengan daerah lain.
Pusat adalah tempat yang memancarkan pengaruh.” Menurut Wallerstein, et. Al pelembagaan ilmu
social berlangsung terutama di lima tempat, yaitu Inggris, Prancis, Jerman, Italia
dan Amerika Serikat terutama karena prestise internasional dan bobot
universitasnya.
Alatas membagi dimensi-dimensi
kebergantungan akademis menjadi: (1) kebergantungan pada gagasan, (2)
kebergantungan pada media gagasan, (3) kebergantungan pada teknologi
pendidikan, (4) kebergantungan pada bantuan riset dan pengajaran, (5) kebergantungan
pada investasi pendidikan, (6) kebergantungan ilmuwan social Dunia Ketiga pada
permintaan Barat akan ketrampilan mereka.
Semua analisis mengenai teoritis dan metateoritis
tidak ada yang berasal dari Dunia Ketiga, namun banyak juga karya empiris yang dihasilkan
oleh Dunia Ketiga, karya-karya tersebut mengambil petunjuk dan panduan dari
agenda riset, prespektif, dan metode teoritis dari Barat. Dimensi kedua merujuk
pada dimensi media gagasan, yaitu buku, jurnal ilmiah, proseding konferensi,
kertas kerja, dan berbagai jenis publikasi elektronik. Dalam hal ini kepemilikan
dan kontrol terhadap penerbitan buku, jurnal dan sebagainya mengambi peranan
penting. Sebagai contoh, penerbitan jurnal ilmiah, yang diterbitkan oleh Amerika
Serikat, lebih dari 80% artikel dalam jurnal tersebut adalah karya dari ilmuwan
di Negara-negara tersebut. Dimensi yang ketiga merujuk pada teknologi
pendidikan, materi pendidikan dan laboratorium yang diimpor dari Barat karena
kurangnya inovasi dan penciptaan kurikulum dan materi pendidikan di Dunia
Ketiga. Dimensi keempat inilah yang menurut saya sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang serius dari pemerintahan bangsa Asia. Berbagai
organisasi pemerintah, maupun yayasan social Barat berlomba-lomba memberikan beasiswa
pada ilmuwan Dunia Ketiga untuk menimba ilmu di Barat. Dalam hal ini Amerika adalah
salah satu Negara teraktif dalam pemberian beasiswa untuk pendidikan. Dimensi
selanjutnya merujuk pada investasi langsung institusi peendidikan Barat di
Dunia Ketiga. Misalnya program gelar yang ditawarkan oleh
universitas-universitas Amerika Utara, Inggris, ustralia yang ada di Asia. Dimensi
yang keenam mengenai kebergantungan ilmuwan pada permintaan Barat akan ketrampilan mereka, Barat
menggunakan pikiran dan sumber daya para ilmuwan Dunia Ketiga sebagai mitra dalam
proyek yang disusun Barat.
Klaim bahwa neokolonialisme akademis
merupakan sebuah fenomena yang mendefinisikan relasi diantara komunitas
akademis Dunia Pertama dan Dunia Ketiga memperlihatkan adanya relasi
ketidaksetaraan antara ilmu social Barat pada satu sisi dan ilmu social Dunia
Ketiga di sisi lain. Pembagian kerja tersebut memiliki tiga cirri yaitu: (1)
pembagian antara kerja intelektual empiris dan kerja intelektual teoritis, (2) pembagian
antara telaah Negara lain dan telaah Negara sendiri, (3) Pembagian antara studi
kasus tunggal dan studi kasus perbandingan.
Dari keterangan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa Dunia Ketiga kurang dalam hal penelitian terhadap teori,
mereka hanya berkutata pada penelitian disekitarnya, sehingga mengalami
ketertinggalan. Namun, sesungguhnya perabadan Barat tak aka nada tanpa sumbangan
dari peradaban timur, seperti sumbangan islam terhadap ilmu pengetahuan Barat. Selain
itu perlunya Negara-negara Dunia Ketiga untuk bangkit, bahwa mereka juga
mempunyai potensi untuk berdiri sendri seperti yang disebutkan diatas (Amerika)
yang mendirikan ilmu otonom sehingga dapat diikuti oleh Negara-negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar