NAMA :
HANIF RISA MUSTAFA
NIM : 12/338345/PSA/07221
MAKUL :
HISTIRIOGRAFI
“Dekolonisasi
Metodologi”
Oleh. Tuhiwai
Smith
Pandangan
penjajah terhadap bangsa terjajah merupakan hal yang sangat bertolak belakang
sekali terhadap bangsa terjajah. Kerap kali pandangan penjajah tersebut
menyusup ke dalam pikiran-pikiran orang luas yang tidak mengetahui secara pasti
orang-orang yang terjajah, sehingga menumbuhkan pemikiran-pemikiran yang
negatif dan tidak beradab. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah suku maori
yang dianggap oleh bangsa Eropa adalah suku yang tidak beradab karena
kanibalisme-nya. Secara signifikan anggapan tersebut muncul akibat dari
kesalahpahaman bangsa eropa sebagai penjajah datang ke New Zealand. Bangsa Eropa hanya melihat dari sisi luar saja
tanpa harus menyelami lebih dalam suku maori, akibat hal tersebut terjadilah
pergesekan yang memunculkan suatu pandangan negatif. Dalam karangan Linda Tuhiwai Smith - Dekolonisasi
Metodologi, mengajak untuk menyelami sebuah penelitian dengan sudut
pandang orang-orang terjajah dengan sisi dinamika kolonialisme dan imperalisme.
Dewasa ini,
cara pandang imperialisme diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan. Namun cara
pandang tersebut seakan-akan memojokkan bangsa terjajah, seperti contoh kasus
yang telah dijelaskan diawal. Para peneliti Eropa mengklaim budaya dan
kehidupan sosial hanya dengan melukiskan sebuah gambaran tentang bangsa terjajah dengan
pandangan mereka, dengan memperumpamakan serta membandingan peradaban mereka tanpa harus menyelami lebih
jauh esensi dari peradaban bangsa terjajah. Cara pandang inilah yang menjadikan
bangsa terjajah terpojokkan dan dianggap sebagai bangsa barbarism. Bagi bangsa terjajah ini
merupakan hal yang sangat menyakitkan, begitu juga dimata dunia yang sudah
terkonstruk dengan pemikiran-pemikiran cara pandang Eropa melihat bangsa
terjajah sebagai bangsa yang tersisihkan dan terbelakang. Ini menjadikan bangsa
terjajah berkeinginan untuk membuat sejarah bagi bangsanya sendiri, agar apa
yang terkonstruk dalam pemikiran dunia tidak hanya memandang bangsa terjajah
sebagai bangsa barbarism.
Namun untuk mencapai
keinginan tersebut mendatangkan sebuah kesulitan yang dihadapi oleh peneliti dari
bangsa terjajah. Para peneliti dari bangsa terjajah terjebak dalam dua
komunitas yang berbeda. Pertama bekerja sebagai orang dalam (insider) dan kedua bekerja sebagai orang
luar (outsider). Karena peneliti
mengenyam pendidikan barat serta belajar melewati batas-batas klan, suku,
lingustik, usia dan gender. Peneliti bisa menjadi insider yang dianggap sebagai
peneliti yang bekerja kepada orang eropa dengan tujuan kepentingan orang-orang
eropa. Disisi lain peneliti bisa sebagai outsider yang terpinggirkan dan
dipandang sebagai wakil dari kelompok minoritas atau kelompok orang-orang
terjajah.
Imperalisme telah berhasil
membingkai serta menuliskan cerita mengenai bangsa terjajah. Esensinya
imperalisme –seperti yang dikatakan oleh J.A. Hobson- merupakan sebuah ekspansi
ekonomi bangsa Eropa untuk penanaman modal yang lebih besar. Sebagai pemegang
kendalinya adalah kolonialisme. Berbicara mengenai kolonisalisme menunjuk pada pengembangan
kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya,
seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan
pasar wilayah tersebut. Namun karena bingkai yang sudah terkonstruk dalam cara
pandang bangsa Eropa menjadikan kolonisalisme
adalah sebuah pembaharuan dan membawa pencerahan untuk bangsa yang terjajah.
Sebagai contoh kasusnya Christoper Colombus, dalam literature imperial Colombus
dianggap sebagai pahlawan, penemu dan petualang. Tetapi dalam literature bangsa
terjajah Colombus adalah sosok yang tidak terpuji. Dan juga James Cook yang
dianggap memberi pencerahan pada bangsa terjajah dengan membawa ide-ide politik
barat dan agama. Tetapi anggapan bangsa terjajah Cook adalah perusak peradaban
bangsanya dan juga paling menyakitkan, Cook dan awaknya membawa penyakit
menular. Dampak cara pandang bangsa barat ini, menjadi kritikan bagi bangsa
terjajah yang dianggap sebagai bangsa yang terbelaka. Perlu adanya definisi
khusus apa itu imperalisme agar tidak ada cara pandang yang negatif terhadap
bangsa terjajah. Pada awal abad kesembilanbelas di Eropa, imperialisme
dideskripsikan sebagai ekspansi ekonomi, sebagai penundukan others, sebagai sebuah gagasan, dan
sebagai satu bidang pengetahuan diskursif.
Sebagai pendudukan others, dimata bangsa terjajah
imperealisme merupakan hal yang tidak manusiawi, bangsa terjajah harus
menyerahkan sebagian tanahnya untuk ditempati oleh orang-orang penjajah.
Apabila tidak menyerahkan tanahnya dianggap sebagai pemberontak. Begitu pula
dengan imperalisme sebagai gagasan serta ilmu pengetahuan, seakan-akan tidak
memanusiakan bangsa terjajah. Bangsa barat meneliti dan menulis bangsa terjajah
dengan kacamatanya sendiri, menganggap bangsa terjajah adalah bangsa yang baru
dan unik. Kemudian menyimpulkan bangsa terjajah dengan sebuah tulisan, tetapi
tidak secara implisit. Hal tersebut mengangap bangsa terjajah tidak dapat
menulis sejarahnya sendiri. Bangsa terjajah juga dapat menulis sejarahnya
sendiri, namun karena adanya hambatan, sejarah bangsa terjajah hanya sebatas
sejarah oral yang turun temurun.
Bagi bangsa terjajah, sejarah
itu sangat penting sekali, sejarah digunakan sebagai legilatas dan untuk menunjukkan
bahwa bangsa terjajah bukanlah bangsa tetinggal, bangsa terjajah memiliki
peradaban yang tinggi bukan seperti yang telah terkonstruksi sesuai dengan cara
pandang bangsa eropa. Begitu pula bangsa eropa menulis sejarah adalah sebagai
legitimasi kekuasaannya. Jika saling dikaitkan antara bangsa penjajah dan
bangsa terjajah, sama-sama memperebutkan masalah legitimasi, namun apa sebenarnya
esensi dan tujuan khusus legitimasi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar