Nama : Wahyu Setyaningsih NIM
: 12/339547/PSA/07317
Prodi
: Ilmu Sejarah Mata
Kuliah : Historiografi
Dalam
buku yang berjudul Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia pada
bagian keenam Gerry van Klinken menjelakan mengenai penulisan sejarah Indonesia
pada masa Orde Baru (Orba). Gerry mengatakan bahwa penulisan sejarah Orba
adalah penulisan biografi dari tokoh-tokoh yang mempunyai taring pada waktu
itu. Gerry yang notabene seorang Barat melihat penulisan biografi Indonesia
yang sangat bertolak belakang dengan gaya Barat. Jika kita tenggok kembali
sejarah Orba, dalam mainstream kita
pasti akan mengatakan kedidaktoran dan otoriter, yang tidak kalah kuat dalam
ingatan adalah sosok Soeharto, sang presiden yang berkuasa selama 32 tahun. Yang
manarik dalam pandangan Gerry adalah kultur Indonesia yang tidak suka
menonjolkan dirinya sendiri, tetapi berbagai penulisan pada masa Orba justru
penonjolan-penonjolan diri semakin mendominasi dalam tataran buku-buku yang
beredar. Inilah salat satu alasan mengapa Gerry melakukan penelitian tentang
penulisan sejarah pada masa Orba.
Gerry memberikan penjelasan yang
sistematis dalam artikelnya yang ia susun, mulai dari pembahasan mengenai perkembangan
penerbitan buku biografi selama setengah abad terakhir, kemudian diberikan
beberapa pendekatan-pendekatan buku biografi, dan kemudian saran-saran dan
penerapan pendekatan lain diberikan. Gerry memberikan sebuah sajian analisis
historiografi pada masa Orba yang menempatkan “aku”. Dalam interpretasi saya
kata “aku” berarti tokoh-tokoh yang berperan dalam masa Orba. Bukan hanya
seorang tokoh sentral saja, tetapi tokoh-tokoh yang berada di belakangnya. Yang
menarik bagi saya adalah ketika Gerry memberikan data-data satatistik mengenai
jumlah penerbitan buku pada masa Orba. Menggelitik sekali ketika ia sajikan
dalam bentuk perbandingan dengan novel, seakan biografi yang ada masa Orba
adalah sebuah karya sastra fiksi saja. Inilah yang menjadikan pikiran saya
tiba-tiba kembali pada historiografi tradisional yang penuh dengan mitos. Lalu,
benarkah pemitosan itu masih tetap saja, meskipun dalam kemasan yang lebih
modern? Jika memang benar demikian, apakah kekuasaan itulah yang telah menutup
kebenaran sejarah yang sebenarnya terjadi?
Jika kita mengamati pada tahun 1970-an,
di mana penulisan biografi itu sangat kecil sekali, hal ini berbanding terbalik
pasca-tahun 1970, terutama tahun 1995 ke atas, justru biografi jauh lebih
banyak dari pada novel. Gerry memberikan tiga kesimpulan berkaitan hal ini,
yaitu: 1) judul yang tersimpan di KVLT pada tahun 1980-an mencapai sekitar lima
persen dari produksi total buku yang bukan buku pelajaran dan buku terjemahan;
2) buku biografi tidak pernah tertinggal jauh di belakang novel; 3) jumlah
kedua jenis buku ini mengalami kenaikan yang besar dari awal 1990-an karena era
keterbukaan. Buku biografi adalah dokumen masa kini pada saat ia juga merupakan
dokumen sejarah. Namun, biografi pada zaman Orba perlu kita kritisi lebih dalam
karena zaman Orba kental sekali dengan intrik-intrik politik yang dominan
sehingga sampai ada istilah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Maka, dikenalkah
biografi pesanan (authorised biography). Kita kenal tokoh penulis
biografi pada masa Orba yang terkenal, yaitu Soebagijo I.N dengan menghasilkan
21 buku dari 1976-1987; Rosihan Anwar yang menghasilkan 21 buku; dan Ramadhan
K.H. yang telah menuliskan biografi orang nomor satu pada waktu itu. Buku-buku
ini bercerita seputar penambahan gelar kemiliteran atau keagamaan pada
masing-masing tokoh, tokoh bintang hiburan yang menjadi idola (ketika itu Nike
Ardila yang meninggal akibat kecelakaan), dan melalui penokohan yang mempunyai
taring di dunia industri (misalnya Nitisemito), maupun dunia militer (contohnya
Amirmachmud).
Biografi di Indonesia dengan Barat
terdapat beberapa perbedaan, antara lain biografi Indonesia selalu
mengedepankan tokoh selalu menjadi peran utama, selalu aktif dan berusaha
mengikuti teladan para tokoh pahlawan; di Barat subyek paling populer dalam
penulisan biografi adalah penulis sastra, sedangkan di Indonesia adalah
pahlawan nasional. Maka, tidak heran ketika tahun 1983 Departemen Pendidikan
menerbitkan 164 judul buku tentang biografi sehingga lahirlah 75 orang yang
dianggap rezmi menjadi pahlawan nasional. Penelitian Degel menemukan bahwa
biografi dalam historiografi Indonesia sebagian besar berperan sebagai bagian
dari sejarah ideologi dan pembangunan bangsa yang disusun oleh Orba. Kemunculan
penulisan biografi pahlawan nasional semakin banyak ketika Orba telah berakhir
sehingga orang-orang besar menjadi naik daun, genre perjuangan yang menempatkan
nasionalisme menjadi daya tarik yang lebih kuat daripada di Barat.
Pencitraan tokoh menjadi hal utama
dalam historiografi pada masa Orba. Tokoh-tokoh sentral dianggap sebagai aktor
dalam penulisan sejarah Indonesia. Salah satu keistimewaan dari buku biografi
Indonesia adalah berorientasi tindakan, karena menolak menyingkap kehidupan
batin sang tokoh. Bagaimana cara kita mengungkap kebenaran dari historiografi
pada masa Orba sehingga mampu mendapatkan evident
(bukti) dari sebuah biografi? Di sinilah Gerry memberikan beberapa contoh pendekatan
baru. Psikoanalisis ditawarkan oleh Angus McIntyre. Contohnya ketika Angus
menggambarkan Soekarno melalui pendekatan ini, yang terlihat adalah sosok
politisi-seniman, berlatar belakang asitektur dan seorang pencinta lukisan. Berbeda
lagi dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Wilhem Dilthey dengan verstehennya. Etienne Naveau mengatakan
bahwa kunci untuk memahami autobiografi Indonesia adalah tulisan itu bukan
upaya untuk menyelami diri sendiri, tetapi untuk menghadirkan citra yang
diinginkan mengenai diri itu ke dunia
luar. Oleh karena itu, Bourdieu menawarkan sebuah pendekatan untuk mengkaji
biografi Indonesia dengan konsep habitus
dan field. Habitus adalah paham permainan yang ada, artinya bahwa kehidupan
sosial adalah permainan persaingan. Habitus ini dibentuk oleh asal-usul kelas. Oleh
karena itu dalam memahami tulisan biografi, diperlukan kontekstualisasi
radikal. Namun, habitus itu terbentur oleh adanya field (wilayah pengaruhnya).
Beberapa buku biografi yang ada pada
masa Orba dari masing-masing tokoh, contohnya buku biografi Soeharto yang tidak
menunjukan kepribadian yang nyata, hanya seputar pemikirannya, anjuran moral
dan dirinya sendiri. Titik puncak Orde Baru ditandai dengan produksi buku-buku
‘pahlawan nasional’ yang pesat dan sebagian adalah resmi. Genre yang populer digunakan adalah biografi keagamaan. Lalu adakah
motif dibalik penggunaan kata pahlawan? Pahlawan merupakan simbol dalam aliran
politik dalam kacamata Greetz. Sudut pandang Keeler bahwa pahlawan adalah
politik kekuatan dalam, sedangkan Bourieu, sebagai mobilisasi modal simbolis
dalam ‘field’ yang kompetitif.
Dengan demikian yang saya dapat
simpulkan dari tulisan Gerry bahwa ‘Aku’ yang berjuang adalah sebuah ungkapan
yang secara terus terang ingin mengatakan bahwa sosok sentral yang tegas, terutama
dari kalangan elit yang berkuasa secara penuh, tidak ada kekuasaan lain yang
mampu menandinginya menjadi tokoh utama dalam historiografi masa Orba yang bisa
menuliskan sejarahnya sendiri sehingga timbul pencitraan positif terhadapnya.
Maka, historiografi pada masa Orba cenderung menampilkan kelas-kelas elit yang digunakan
sebagai simbolisasi guna memperoleh popularitas melalui sisi-sisi kepahlawanan
sebagai pencintraan diri yang tertuang dalam buku biografi-biografi yang terbit
pada masa Orba. Maka, dalam mengkritisinya kita perlu menggunakan beberapa
pendekatan yang relevan dalam menemukan sebuah evident dari informasi biografi, terutama biografi pesanan,
sehingga kita tidak terjebak dalam penjara politisasi, terutama peran militer
pada masa itu, hasilnya subyektifitas dapat ditekan guna memperoleh kebenaran
sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar