PESPEKTIF BARU PENULISAN
SEJARAH INDONESIA
H. G.. Schulte
Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari
Roger Kembuan
BAB 13
ACEH : NARASI FOTO (1873-1930)
Peralihan dari bentuk gambar
(drawing atau sketches) pada bentuk fotografis memingkinkan sejarawan
melihat perbandingan dan perbedaan melalui sumber visual yang digunakan. Sumber
berupa “images” membuka pendekatan baru yang disebut “emotional approach to
historian”. Seorang sejarawan seperti masuk ke dalam peristiwa melalui gambar
yang ada.
Tulisan taylor ini mencoba melihat perpektif sejarah dari dokumentasi-dokumentasi
fotografis dan foto sebagai sumber dalam historiografi. Pendekatan yang diambil
tidak hanya menggunakan foto yang biasanya digunakan sebagai lampiran atau
bahkan “pemanis” dalam sebuah Historiografi, namun foto sebagai “primary
sources”. Taylor menggabungkan
antara kajian sejarah Aceh dengan kajian
foto-foto Aceh di arsip KITLV.
Dokumentasi perang Aceh
Dari perang-perang kolonial yang terjadi selama abad ke 19 dan awal abad
ke 20, perang Aceh adalah perang yang paling banyak memiliki dokumentasi
fotografis. Ada 1.049 foto yang dimiliki KITLV dan hampir seluruhnya berkaitan
dengan aktifitas militer.
Aceh jarang ditampilkan dalam dimensi-dimensi yang lain selain dimensi
perang. Sejarah perang membayangi kehidupan orang Aceh pada masa lalu, dan
tampaknya Aceh seolah-olah berperan untuk mengingatkan orang Indonesia pada
perlawana dan penaklukan yang terjadi di jaman kolonial. Bagi pemerintah
kolonial Aceh ditampilkan dalam ranah pengetahuan tentang konflik, yang
implikasinya pilihan yang diambil untuk menggambarkannya misalnya gambar
serdadu, benteng dan mayat-mayat bergelimpangan.
Jika dibandingkan dengan foto yang diambil juru foto resmi yang
mengikuti serdadu kolonial ke bali dan Lombok dalam kolensi KITLV pada tahun
1906 hanya sedikit menggambarkan perang puputan. Namun bali digambarkan dengan
objek-objek bali seperti kecantikan wanita, penari, pemusik, kuil-kuil,
kecentikan eksotis, pemandangan pedesaan yang sentosa dan penduduk yang tenang
dan hal-hal yang estetis. Padahal dalam konteks peristiwa dan waktu kiranya itu
bisa disamakan dengan Aceh di masa perang kolonial.
Jawaban yang diberikan oleh J. G Taylor dalam artikelnya ialah koleksi
lukisan dan foto adalah hasil pilihan-pilihan penulisnya; ada ratusan ribu foto
mengenai Indonesia, namun ketika diterbitkan dalam bentuk buku dan koleksi
album, mereka hanya memilih beberapa foto saja yang dianggap representatif
menggambarkan lokasi dan kejadian. Kumpulan gambar yang “mewakili”, pengetahuan
dan ide yang sudah tertanam mengenai suatu wilayah menjadi ideologi yang umum
untuk merepresentasikan sebuah wilayah. Ia juga menambahkan bahwa Aceh
sebenarnya bisa digambarkan dalam sisi yang berbeda, misalnya dalam konteks
seni dan perubahan yang terjadi dimasyarakatnya.
J.G. Taylor dalam tulisan ini, kemudian menggunakan bahan arsip KITLV
yang diseleksinya sendiri dengan wajah yang berbeda. Walaupun dokumentasinya
tentang perang, namun gambar yang dipilih olehnya kebanyakan mengenai
pemandangan kota dan pedesaan Aceh, orang-orang Aceh, perkenalan orang Aceh
dengan orang barat, pengaruh dan kebiasaan barat yang dilakukan di Aceh,
foto-foto keluarga.
“Narasi yang lain”/Interpretasi baru dari Narasi Foto Aceh
Ada istilah “sebuah foto dapat bercerita lebih banyak dari pada
tulisan”. Dalam sebuah foto, ada banyak aspek yang bisa digali, tidak hanya apa
yang hendak disampaikan oleh juru foto, namun ada banyak hal yang dapat dilihat
untuk menggambarkan sebuah kisah. Disini peran sejarawan dalam
menginterpretasikan makna-manka yang lain yang ada didalam foto menjadi
krusial. Taylor menurut saya dalam bagian tengah dan akhir tulisan ini berusaha
untuk menggamabrkan narasi Aceh yang berbeda, walaupun sumber yang diambil
adalah foto-foto masa perang.
Ada beberapa contoh menarik yang diambil Taylor dalam menggambarkan Acehmisalnya
yang terjadi pada Ekspedisi untuk mencari Istana Raja. Dalam ekspedisi pertama,
Belanda tidak berhasil menemukan Istana raja. Nanti pada ekspedisi yang kedua, barulah
belanda menenukan istana tersebut. hal yang sangat menarik dari Istana tersebut
yaitu ternyata bangunannya tertutup dengan semak belukar yang lebat dengan
keadaan yang tidak terawat, terbuat dari kayu dan beratap ijuk dengan jumlah
orang yang sedikit, rawa-rawa disekeliling keratin dan tanah kosong serta
kuburan yang terlantar. Hal yang sangat
tidak sesuai dengan gambaran dibenak orang Belanda mengenai raja Aceh dan
kekuasaannya ketika kisah-kisah Eropa dan Aceh mengenai kerajaan Aceh pada abad
ke 17-18. Taylor menggaris bawahi bahwa Pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636)
yang digambarkan sebagai “zaman keemasan”
Aceh justru pada saat itulah Aceh
mengalami kemuduran, ekpansi yang dilakukan, ternyata menguras ekonomi Aceh
terutama pada biaya perlengkapan prajurit, kapal, perbekalan dan senjata untuk
mengepung Portugis di Malaka.
Foto berikutnya menggambarkan persekutuan orang Aceh dengan Belanda yang
diwakili oleh foto perwira KNIL dengan prajurit Aceh di Lhoksumawe. Taylor
mengingatkan bahwa Aceh pada abad ke 19 adalah Aceh yang sudah terpecah menjadi
kejaraan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh uleebalang dan ulama. Akibatnya ketika
belanda menyerbu Aceh mereka terperangkap pada konflik-konflik lokal.
Beberapa foto berikutnya menggambarkan hal yang berbeda, ketika sebuah
foto yang menggambarkan kediaman Gubernur di Kotaraja. Interpretasi oleh Taylor
secara umum adalah seara tidak langsung pemerintah kolonial mulai menanamkan
pengertian kepada orang Aceh bahwa Belanda adalah penguasa baru mereka, namun
disisi lain mereka juga menerapkan arsitektur yang berkarakter lokal dalam bangunan-bangunan yang dibangun pada masa
itu. Dalam soal penataan administrasi, dapat dilihat dalam foto yang
menggambarkan para uleebalang yang memihak belanda dan para pejabat pemerintah
kolonial saat berfoto bersama. Taylor melihatnya dalam kacamata berbeda, ketika
foto tersebut diambil disebuah tempat terbuka dan tanpa lokasi pengenal
dibelakang mereka. Ini menjunjukan bahwa administrasi kolonial belum berakar di
Aceh pada saat itu.
Foto yang berikutnya menggambarkan para tentara KNIL yang berasal dari Ambon,
Manado, Jawa, Madura dan bahkan Afrika Barat. Foto yang mengambarkan
tentara-tentara tersebut tidak hanya dilihat sebagai sebuah dokumentasi militer
saja, namun dibalik hal itu ada penyebaran kebudayaan dan teknologi di Aceh
pada saat itu, contohnya dalam hal pembangunan Infrastruktur seperti Jembatan,
kereta api, musik dan kesenian.
Foto berikutnya mengenai Masjid yang menjadi focus dalam perhatian juru
foto eropa pada masa tersebut, Masjid Baiturahman adalah sebuah masjid yang
dibangun pemerintah kolonial dengan menyewa seorang arsitek italia untuk
merancangnya. Masjid yang dibangun tidak meniru model yang ada di asia tenggara
namun menggunakan kubah-kubah bergaya indo-saracen sebagai model yang tepat
bagi masjid yang “ideal”. Namun pada awalnya, oleh beberapa sumber rakyat Aceh
enggan menggunakan masjid itu karena modelnya “aneh” bagi mereka saat itu.
Sangat kontras dengan masa –masa selanjutnya, dimana masjid tersebut menjadi
simbol islam di tanah Aceh.
Hal yang menarik yang terakhir adalah soal mode pakaian. Orang Aceh yang
digambarkan dalam foto-foto pada masa kolonial . gambaran umum yang didapatkan
pada masa itu adalah perubahan pakaian wanita Aceh pada masa kolonial.
Foto-foto awal digambarkan wanita Acehyang mengenakan pakaian adat Aceh, namun
pada tahun-tahun berikutnya pakaian yang dominan adalah pakaian Islam modern
(menggunakan jilbab).
Simpulan
Simpulan yang bisa ditarik dari tulisan ini adalah, sebuah foto ternyata
bisa menjadi sumber yang sangat penting dalam menggambarkan perubahan yang
terjadi di sebuah masyarakat. Seorang sejarawan yang jeli dapat memanfaatkan
narasi foto yang mengenai perang ke dalam sebuah narasi yang interpretasinya
sangat berbeda yang menghasilkan Historiografi yang lebih mendekati realitas. Makna
lain yang muncul dibelakang sebuah foto menjadi sesuatu yang sangat kaya untuk
dikaji.
Namun ada hal yang harus dicermati dalam kritik sumber. Mengutip Tuchman
“the primary duty of the historian is to stay within the evidence”. Kritik
terhadap sumber tertulis berkenaan dengan keandalan (reliability) dan kesahian
(validity). Pada bagian lain tentang sumber lisan adalah metode penciptaan atas
usaha rekonstruksi dalam tuturan pengisah, sedangkan penggunaan sumber visual
berkenaan dengan persoalan falsification (pemalsuan). Oleh karenanya dalam
penggunaan sumber visual, aspek ini harus sangat diperhatikan oleh sejarawan.
Dalam bagian penutupnya, Taylor
memberikan statement yang sangat menarik yaitu “arsip visual dapat dijadikan
alat penting untuk memahami kedudukan Aceh dalam sejarah Indonesia; arsip foto
menawarkan ide-ide untuk menulis sejarah sosial yang mengimbangi sejarah
politik yang sudah ada. Sedangkan aspek yang mungkin belum dikaji dalam tulisan
Taylor ini adalah pertanyaan mengenai apakah narasi foto dapat berdiri sendiri
tanpa ada dokumen lainnya yang mendukungnya? Dan pertanyaan lain diluar konteks
tulisan ini, apakah kemudian sumber fotografi bisa dijadikan bahan kajian utama
dalam penulisan tesis di program studi S2 UGM?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar